BMKG Prediksi Puncak Kemarau Kering Bakal Terjadi Agustus-September Ini
Saat ini kekeringan sudah mulai dan akan terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia. Indeks El Nino terpantau semakin menguat dan sudah memasuki tahapan moderat.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puncak kemarau kering yang terjadi bersamaan dengan El Nino akan terjadi pada Agustus hingga September mendatang. Puncak El Nino di Indonesia baru akan terjadi pada Oktober-November depan. Puncak El Nino diprediksi tidak akan terlalu kering karena musim hujan sudah mulai terjadi ketika puncak El Nino berlangsung di Indonesia.
”Jadi, puncak El Nino itu nanti akan kalah dengan hujan, tetapi sekarang kemaraunya bersamaan El Nino jadi kemarau kering,” ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (9/8/2023).
Saat ini kekeringan sudah mulai dan akan terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia. Indeks El Nino terpantau semakin menguat dan sudah memasuki tahapan moderat. ”Kami prediksi puncak musim kemarau yang kering ini akan terjadi di minggu terakhir Agustus, bahkan sekarang pertengahan Agustus,” tambah Dwikorita.
Pada pertengahan Agustus, beberapa wilayah sudah mulai mengalami puncak kemarau kering. Namun, puncak kemarau kering ini tidak terjadi secara serentak, tetapi berangsung-angsur disusul wilayah-wilayah lain. Kemarau kering dimulai dari wilayah Indonesia bagian selatan, dari Sumatra Tengah sampai selatan. Selanjutnya, diikuti Pulau Jawa, kemudian Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian Papua.
Kami prediksi puncak musim kemarau yang kering ini akan terjadi di minggu terakhir Agustus, bahkan sekarang pertengahan Agustus.
Wilayah lain akan memasuki puncak kemarau kering pada September. ”Kalimantan, Sulawesi ini akan terdampak. Di Nusa tenggara diprediksi efek atau dampaknya ini akan bisa berlangsung sampai Desember,” ucap Dwikorita.
Dampak kemarau kering ini sudah tampak nyata di lapangan. Bantaran sungai, misalnya, mulai mengering. Meski demikian, intensitas level El Nino di Indonesia relatif paling rendah dibanding wilayah lain di dunia. Indonesia diuntungkan karena masih punya laut. Sebagai fenomoena global, El Nino juga berdampak di negara lain, seperti India, Thailand, dan Vietnam.
”Dasarnya menghitung anomali suhu muka air laut lalu dihitung dalam indeks atau anomali. Di Indonesia ini relatif paling lemah. Negara-negara lain ini levelnya lebih tinggi, seperti itu. Nah, kalau membayangkan Indonesia akan seperti apa, kurang lebih akan seperti kekeringan di tahun 2019,” kata Dwikorita.
Kekeringan tahun 2019 dinilai tergolong lebih ringan dibanding musim kering tahun 2015. Pada 2015, titik potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sangat luas. Tahun ini, potensi karhutla tetap masih ada. Namun, potensi karhutla sudah mulai diantisipasi sejak Desember lalu. Teknologi modifikasi cuaca juga sudah dimulai sejak Februari.
”Kalau memulainya mendadak, sudah di saatnya itu akan lebih sulit. Insya Allah meski secara alamiah potensinya kurang lebih seperti tahun 2019, tetapi semoga dengan kesiapan yang lebih semoga tidak separah 2019,” ucap Dwikorita.
Papua Tengah
Terkait kekeringan yang terjadi di Papua Tengah, Dwikorita menambahkan, Papua Tengah memang menjadi salah satu wilayah terdampak kekeringan. ”Memang secara alamiah seperti itu. Tapi bagaimana meresponsnya itu, kesiapannya itu,” kata Dwikorita.
Memang secara alamiah seperti itu. Tapi bagaimana meresponsnya itu, kesiapannya itu.
Dwikorita menyebut modifikasi cuaca tidak bisa dilakukan untuk mengatasi kekeringan di Papua Tengah. Modifikasi cuaca hanya bisa dilakukan jika masih ada awan hujan. ”Kalau awan tipis seperti itu sudah enggak bisa, kurang lebih kelembaban mencapai 70 persen atau lebih. Jadi, ya, mendung lah,” kata Dwikorita
Puncak kekeringan di Papua Tengah masih akan terjadi hingga September. ”Kalau trennya semakin ke pertengahan Agustus, akhir Agustus hingga September, keringnya semakin meningkat, semakin puncak keringnya. Nanti setelah masuk Oktober mulai berkurang, mulai berkurang tapi masih kering. Nah, diprediksi hujan ini November,” jelasnya.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Selasa (8/8/2023), di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta mengatakan bahwa masalah kekeringan di Kabupaten Puncak Provinsi Papua Tengah sudah teratasi. ”Jadi suplai logistik sudah lancar dan juga sudah bisa landing di Lembah Agandugume, yang kemarin belum dimungkinkan sekarang sudah mulai bisa landing di sana walaupun belum maksimal, tetapi insya Allah sudah teratasi,” ujarnya.
Menurut Muhadjir, kelaparan akibat cuaca ekstrem ini sudah beberapa kali melanda sejumlah distrik di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. Pemerintah segera membangun gudang logistik untuk mengantisipasi kelaparan. Selain itu, pemerintah menggandeng perguruan tinggi untuk mencari varietas umbi-umbian yang cocok dengan cuaca ekstrem.
”Karena memang itu sudah rutin. Itu tiap tahun terjadi yaitu kalau Mei nanti ada hujan es, kemudian akan dikuti dengan embun salju, nah itu iklim seperti itu menumbuhkan bakteri yang kemudian bakteri itu menyerang umbi-umbian yang menjadi makanan pokok mereka. Yang akibatnya busuk kalau nanti dipaksa dimakan itu jadi diare,” tambah Muhadjir.