Berkaca dari Kasus Mayor Dedi, TNI Didorong Lakukan Evaluasi Internal
Sejumlah anggota Komisi I DPR dan masyarakat sipil mendukung langkah Panglima TNI yang memerintahkan pemeriksaan terhadap Mayor Dedi Hasibuan terkait peristiwa di Polrestabes Medan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, NIKSON SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peristiwa puluhan prajurit TNI mendatangi Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan, Sumatera Utara, menambah catatan arogansi prajurit terhadap kalangan sipil. Dewan Perwakilan Rakyat mendukung langkah Panglima TNI Laksamana Yudo Margono untuk segera memeriksa dan menghukum prajurit yang terindikasi melanggar peraturan karena tindakan yang arogan. Evaluasi internal untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali juga dibutuhkan.
Pemeriksaan terhadap sejumlah prajurit Kodam I Bukit Barisan yang mendatangi Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan, Sumatera Utara, akhir pekan lalu, tengah berjalan.
Komandan Puspom TNI Marsekal Muda R Agung Handoko mengatakan, untuk menindaklanjuti perintah Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, pihaknya memanggil Mayor Dedi Hasibuan. Meski Dedi didampingi sejumlah prajurit lain saat mendatangi Polrestabes Medan, saat ini pemanggilan hanya ditujukan kepada dirinya. ”Yang bersangkutan akan kami panggil,” kata Agung.
Ia tidak memungkiri, pemanggilan dilakukan karena dalam peristiwa yang melibatkan Dedi dan sejumlah prajurit lainnya ada indikasi intervensi terhadap proses hukum yang tengah berjalan. Kendati demikian, Puspom TNI akan mendengarkan penjelasan dari terperiksa terlebih dahulu sebelum menyimpulkan apa yang terjadi. ”Setelah ada penjelasan dari yang bersangkutan, baru kami bisa menentukan arah permasalahan,” kata Agung.
Pada Sabtu (5/8/2023), puluhan prajurit TNI mendatangi ruang penyidik Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Medan dengan dipimpin Mayor Dedi, dari Kumdam I BB. Dalam video yang beredar di media sosial, Dedi tampak berdebat dengan Kepala Satuan Reskrim Polrestabes Medan Komisaris Fathir Mustafa. Dedi meminta seorang tersangka berinisial ARH yang merupakan keluarganya ditangguhkan penahanannya. ARH ditahan terkait kasus dugaan pemalsuan tanda tangan terkait pengurusan sertifikat tanah. ARH ditangguhkan penahanannya Sabtu malam.
Kepala Penerangan Kodam I Bukit Barisan Kolonel Rico Julyanto Siagian mengatakan, Mayor Dedi sudah di Jakarta untuk diperiksa Puspom TNI. Sebanyak 13 anggota Kesatuan Hukum Kodam I BB juga diperiksa di Polisi Militer Kodam I BB di Medan. Anggota lain yang diduga ikut mendatangi Polrestabes Medan akan diperiksa secara bertahap.
Secara terpisah, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, peristiwa di Polrestabes Medan menambah daftar arogansi militer terhadap kalangan sipil. Berdasarkan pantauan Kontras sepanjang Oktober 2021-September 2022, ada 61 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota TNI. Angka tersebut meningkat dari pantauan tahun sebelumnya, yakni 54 peristiwa.
”Berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM ini utamanya menyasar warga sipil yang memiliki interaksi dengan anggota di lapangan. Kami juga menemukan anggota polisi pamong praja, lurah, jurnalis, hingga anggota Polri tak luput menjadi korban dari arogansi serta unjuk kekuatan anggota TNI di lapangan,” kata Andi.
Ia meyakini, sejumlah peristiwa yang tercatat itu tidak menggambarkan kejadian secara utuh. Sebab, tidak jarang kasus kekerasan yang melibatkan prajurit TNI diselesaikan dengan jalur nonhukum dan tidak terungkap oleh media lokal dan nasional.
Dukung Panglima
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan Irvan Saputra mengapresiasi sikap tegas Panglima TNI yang meminta Mayor Dedi diperiksa di Puspom TNI. ”Ini adalah langkah serius untuk pemeriksaan yang lebih obyektif,” kata Irvan.
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, melihat, tindakan yang dilakukan oleh Dedi tidak terpuji dan dapat mencederai nama baik TNI. Menurut dia, langkah yang dilakukan Dedi meminta penangguhan penahanan seorang tersangka yang masih berhubungan keluarga dengan dirinya itu bertentangan dengan prosedur hukum. ”Prosedur hukumnya seperti apa, carilah pengacara untuk mengajukan penangguhan atau melakukan upaya hukum lainnya, tidak datang sendiri apalagi membawa pasukan dengan cara kekerasan verbal,” ujarnya.
Hasanuddin juga mendukung langkah Panglima TNI yang segera memerintahkan pemeriksaan terhadap Dedi. Namun, lebih dari itu, menurut dia, TNI juga perlu melakukan evaluasi dan langkah perbaikan secara institusi. Salah satunya dengan memperdalam pengetahuan prajurit mengenai prosedur hukum dan tata cara berhubungan dengan aparat penegak hukum.
”Jangan mentang-mentang punya senjata pakai baju loreng, kemudian melakukan intimidasi, ya tidak bisalah. Polisi itu, kan, aparatur negara juga,” kata mantan Sekretaris Militer di era Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Menurut Hasanuddin, tanpa pembenahan secara serius, nama baik TNI akan dipertaruhkan. Padahal, selama beberapa tahun terakhir TNI merupakan institusi negara yang paling dipercaya publik. Tak hanya itu, peristiwa di Polrestabes Medan juga bisa memicu konflik antarinstitusi. ”Kalau terus dilakukan, itu bisa masuk tindak kekerasan, bisa bentrok antarinstitusi,” katanya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Syarif Hasan, menyesalkan peristiwa di Polrestabes Medan. Sebab, TNI semestinya berperan sebagai pelindung rakyat. Ia meyakini, Panglima TNI akan mengambil langkah tepat untuk menertibkan prajurit yang terindikasi melanggar peraturan. Pengawasan terhadap tindakan anggota TNI juga harus terus dilakukan.