Peristiwa Puluhan Prajurit Datangi Polrestabes Medan, Panglima TNI: Kurang Etis
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memerintahkan bawahannya mengusut kasus puluhan prajurit TNI yang mendatangi markas Polrestabes Medan. Jika ditemukan pelanggaran, harus ditindak.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedatangan sejumlah prajurit Tentara Nasional Indonesia atau TNI ke markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan, Sumatera Utara, yang terindikasi mengintervensi proses hukum yang tengah berjalan kembali menunjukkan arogansi militer di tengah masyarakat. Tindakan tersebut tak hanya berpotensi menyalahi aturan yang terkait dengan sistem peradilan, tetapi juga perintah harian Panglima TNI. Pemeriksaan internal kini tengah berjalan.
Tindakan sejumlah prajurit Kodam I Bukit Barisan yang mendatangi ruang penyidik Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan, Sumatera Utara, Sabtu (5/8/2023), berujung pemeriksaan di internal TNI. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memerintahkan Panglima Kodam I Bukit Barisan Mayor Jenderal Mochammad Hasan dan Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda R Agung Handoko untuk menggali permasalahan yang melatarbelakangi tindakan sejumlah prajurit yang berasal dari Satuan Hukum Kodam (Kumdam) I Bukit Barisan tersebut.
”Kemarin, kan, sudah (video) sebagai bukti awal mereka melakukan seperti itu. Saya kira kurang etis prajurit TNI seperti itu,” kata Yudo di Jakarta, Senin (7/8/2023).
Ia pun membenarkan bahwa para prajurit terindikasi melanggar peraturan internal, yakni perintah harian Panglima TNI. Dalam tujuh poin perintah harian itu, salah satunya berbunyi, stop aksi arogansi prajurit TNI; tegas, tetapi tetap humanis dan disegani. ”Jadi, ada hal yang seperti itu kita langsung. Tidak ada impunitas, tidak ada menutup-nutupi, tidak ada. Saya sudah sampaikan, kita tegas kalau ada prajurit-prajurit yang melakukan pelanggaran,” ujar Yudo.
Sebelumnya, sejumlah prajurit yang dipimpin Mayor Dedi Hasibuan, penasihat hukum dari Kumdam I Bukit Barisan, mendatangi Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Medan Komisaris Fathir Mustafa. Mereka datang mendampingi Dedi yang meminta penangguhan penahanan seorang tersangka, yang tidak lain adalah kerabatnya. Permintaan penangguhan sempat diiringi dengan perdebatan dan pembicaraan dengan nada tinggi. Peristiwa itu terkuak melalui sebuah video yang viral di media sosial.
Kredibilitas TNI
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, kejadian ini harus menjadi atensi Panglima TNI. Tak hanya memberikan contoh yang tidak baik, tindakan para prajurit itu juga dapat menurunkan kredibilitas TNI di hadapan publik. Padahal, berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, TNI merupakan institusi yang selalu meraih tingkat kepercayaan publik tertinggi dibandingkan dengan lembaga negara lainnya.
Arsul menambahkan, upaya menangguhkan penahanan seorang tersangka merupakan hal yang sah, tetapi ada prosedur yang harus diikuti. Berdasarkan kronologi peristiwa yang terlihat dalam video yang viral, terkesan bahwa prajurit TNI tidak mengikuti prosedur baku.
”Apalagi, ketika masalahnya menyangkut warga sipil, kemudian ada perwira TNI aktif yang turun bertindak seolah-olah sebagai penasihat hukumya. Supaya hal seperti ini tidak terulang lagi, Panglima TNI perlu memberikan atensi untuk menertibkannya,” tutur Arsul.
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafidz mengaku prihatin atas peristiwa yang terjadi di daerah pemilihannya. Menurut dia, tindakan yang dilakukan prajurit TNI di Polrestabes Medan tidak benar dan harus dievaluasi. Tanpa evaluasi dan perbaikan, persoalan ini bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap TNI.
Arogansi militer
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melihat peristiwa di Polrestabes Medan menunjukkan arogansi militer terhadap sipil. Bahkan, menurut dia, ada kecenderungan militer kembali menunjukkan watak lamanya, yakni menempatkan diri di atas hukum. Padahal, di negara hukum, tidak boleh ada institusi yang merasa di atas hukum karena negara memerlukan kontrol dan keseimbangan.
Tak hanya melanggar perintah harian Panglima TNI, anggota Dewan Pakar Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) itu menambahkan, prajurit yang meminta penangguhan penahanan seorang tersangka juga terindikasi melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 3 UU Advokat menyebutkan, advokat tidak boleh berstatus pegawai negeri atau pejabat negara. Adapun yang termasuk pegawai negeri, sebagaimana disebutkan dalam bagian penjelasan pasal itu, adalah pegawai negeri sipil, anggota TNI, dan anggota Polri.
”Tindakan itu, selain bertentangan dengan UU Advokat, juga menunjukkan semakin menyimpang dari agenda reformasi militer, terutama jika dikaitkan dengan sistem peradilan nasional. Anggota TNI aktif disumpah sebagai prajurit untuk hanya melakukan tugas-tugas di sektor pertahanan negara. Bukan untuk kepentingan pribadi, apalagi yang sedang tersangkut perkara hukum,” papar Usman.
Menurut dia, permintaan penangguhan penahanan tersangka itu pun lemah. Sebab, tersangka semestinya didampingi advokat atau keluarga jika ada alasan kemanusiaan atau alasan lain yang dibenarkan oleh hukum. Ia pun mempertanyakan, mengapa alih-alih menempuh jalan yang disediakan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni mengajukan praperadilan, tersangka justru didampingi prajurit TNI yang seolah-olah bertindak sebagai advokat.
”Ini kuat sekali kesan intimidasi sekaligus memberi kesan kuat adanya kepentingan,” ujar Usman.