Kasus Dugaan Korupsi di Basarnas, Presiden: Hormati Proses Hukum
Presiden Joko Widodo menyampaikan perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa untuk mencegah korupsi sudah dilakukan. Jika masih ada yang korupsi, Presiden meminta siapa pun menghormati proses hukum yang diambil.
Oleh
NINA SUSILO
·2 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengatakan, perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa di semua kementerian/lembaga terus dilakukan. Namun, jika masih ada yang korupsi, proses hukum harus ditempuh.
Presiden menanggapi kasus korupsi yang membelit Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dengan mengatakan, sistem pengadaan barang/jasa terus diperbaiki. Perbaikan sistem ini dilakukan dengan memasukkan semua jenis barang/jasa yang diperlukan pemerintah dalam e-katalog. Dengan demikian, diharapkan sistem pengadaan barang/jasa bisa lebih transparan dan adil.
”Misalnya e-katalog, sekarang (data barang/jasa) yang masuk mungkin sudah lebih dari 4 juta produk yang sebelumnya 40.000. Artinya, itu perbaikan sistem,” ujar Presiden kepada wartawan di Lapangan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (27/7/2023) pagi, sebelum berangkat kunjungan kerja ke Chengdu, China.
Jika sistem diperbaiki dan masih ada yang melanggar hukum, menurut Presiden, siapa pun harus diproses hukum. ”Kalau memang ada yang melompati sistem dan mengambil sesuatu dari situ ya, kalau terkena OTT, ya hormati proses hukum yang ada,” tambahnya.
Pada Rabu (26/7/2023), Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan lima tersangka atas dugaan suap proyek pengadaan barang atau jasa di Basarnas dengan dua di antaranya pejabat Basarnas.
Dalam kurun waktu 2021-2023, Marsdya Henri bersama dan melalui Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto diduga menerima sekitar Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor proyek.
Adapun tiga tersangka lainnya adalah rekanan Basarnas–Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya, dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, penetapan tersangka ini adalah tindak lanjut dari operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Basarnas dan sejumlah pihak di Cilangkap, Jakarta Timur, dan Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (25/7/2023). Dalam OTT, diduga ada penyerahan sejumlah uang tunai dari Marilya kepada Afri sebagai perwakilan Henri di salah satu tempat parkir bank di Cilangkap. Dari OTT, tim penyidik mengamankan uang tunai Rp 999,7 juta di goodie bag yang disimpan dalam bagasi mobil.
Alex menambahkan, sepanjang 2023, Basarnas membuka proyek tender untuk pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp 9,9 miliar, pengadaan public safety diving equipment dengan nilai kontrak Rp 17,4 miliar, dan pengadaan remotely operated vehicle (ROV) untuk KN SAR Ganesha (multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak Rp 89,9 miliar. Dari rekanan yang akan menjadi pemenang tiga proyek tersebut, Henri meminta imbalan sebesar 10 persen dari nilai kontrak.
Untuk itu, dilakukan pengondisian supaya Mulsunadi, Marilya, dan Roni mengontak langsung pejabat pembuat komitmen (PPK) satuan kerja terkait dan mengatur penawaran yang dimasukkan. Dengan pengondisian ini, hampir semua mendekati nilai harga perkiraan sendiri (HPS).
Henri mulai menjabat sebagai Kepala Basarnas 4 Februari 2021. Henri menggantikan Marsdya Bagus Puruhito yang memasuki masa pensiun saat itu.
Karena Henri dan Afri adalah anggota TNI aktif, KPK menyerahkan penegakan hukum kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) Mabes TNI. Namun, Alex memastikan proses hukum akan diselesaikan tim gabungan penyidik KPK dan tim penyidik Puspom Mabes TNI sesuai kewenangan yang diatur dalam undang-undang.