Asal Muasal Uang 1,8 Juta Dollar AS di Kasus BTS 4G Masih Gelap
Handika Hogowongso, advokat penerima uang 1,8 juta dollar AS yang diduga terkait proyek pembangunan menara BTS 4G, masih bungkam saat ditanya asal muasal uang tersebut.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asal muasal uang 1,8 juta dollar AS yang diduga terkait dengan proyek pembangunan menara base transceiver station atau BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika belum juga terungkap. Kejaksaan Agung masih terus menelisik uang senilai Rp 27 miliar tersebut, sementara pihak penerima juga masih bungkam, tidak bersedia mengungkapkan kepada publik.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, pihaknya masih mendalami dana 1,8 juta dollar atau Rp 27 miliar yang diterima oleh Maqdir Ismail, kuasa hukum dua terdakwa perkara dugaan korupsi proyek pembangunan BTS 4G Kemenkominfo, Irwan Hermawan dan Galumbang Menak Simanjuntak. Saat ini, penyidik Kejagung juga masih terus memanggil dan memeriksa sejumlah saksi untuk menelusuri tentang dugaan aliran dana terkait proyek BTS 4G tersebut.
Meski sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai uang 1,8 juta dollar AS itu, Ketut memastikan bahwa penyidik akan segera menentukan status hukum dari uang tersebut dalam waktu dekat. ”Mungkin dalam waktu dekat, dalam satu minggu ke depan teman-teman (penyidik) akan menetapkan status (uang),” ujar Ketut, Kamis (20/7/2023).
Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan base transceiver station program (BTS) Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) 2020-2022 Irwan Hermawan, Maqdir Ismail (berjas), membawa uang sebesar Rp 27 miliar ke Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Sebelumnya, setelah sidang pembacaan dakwaan pada Selasa (4/7/2023), Maqdir Ismail mengatakan, pada pagi harinya ada orang tidak dikenal yang membawa uang dalam pecahan dollar AS yang nilainya setara Rp 27 miliar. Saat itu, Maqdir menyebut bahwa yang menerima adalah salah seorang staf di kantornya.
Sepekan kemudian, Maqdir bersama koleganya, Handika Hogowongso, menyerahkan uang sekaligus memberikan keterangan kepada Kejagung. Handika merupakan penerima uang 1,8 juta dollar AS. Pada kesempatan itu, Maqdir menegaskan tidak terlalu memedulikan identitas atau sosok yang menyerahkan uang sepanjang pemberian itu dimaksudkan untuk membantu kliennya, Irwan Hermawan.
Ditemui seusai sidang pembacaan tanggapan eksepsi kliennya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis kemarin, Handika bungkam. Ia mengelak ketika ditanya tentang sosok orang yang menyerahkan uang 1,8 juta dollar AS. Handika terus menghindar ketika ditanya tentang detail peristiwa penyerahan uang tersebut. Antara lain tentang waktu penyerahan uang, jumlah orang yang menyerahkan, serta gambaran dari sosok orang yang menyerahkan. ”Apa, sih, ini. Nanti, ya, saya ketemu Pak Maqdir dulu,” katanya.
Mungkin dalam waktu dekat, dalam satu minggu ke depan teman-teman (penyidik) akan menetapkan status (uang).
Demikian pula ketika ditanya tentang sosok ”S” yang disebut-sebut mengetahui tentang asal muasal uang tersebut, Handika hanya tersenyum. Sembari berseloroh, Handika menyebut ”S” itu sebagai sontoloyo.
Pencucian uang
Ketut mengungkapkan, hari Kamis ini penyidik Kejagung memeriksa tujuh saksi terkait dengan penyidikan kasus korupsi menara base transceiver station (BTS) 4G. Mereka diperiksa terkait dengan perkara korupsi terhadap tersangka M Yusrizki dan perkara tindak pidana pencucian uang atas nama tersangka Windi Purnama.
Mereka adalah S, selaku Direktur PT Indo Electric Instruments; W, selaku Direktur PT Excelsia Mitraniaga Mandiri; Y, selaku karyawan PT Sansaine Exindo; DPF, selaku Bagian Keuangan Project PT LEN Telekomunikasi Indonesia; S, selaku karyawan PT Sansaine Exindo; B, selaku karyawan PT Sansaine Exindo; dan GTHS, selaku Project Director Consultant Office.
Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, meyakini, kemampuan dan kapasitas penyidik Kejaksaan Agung untuk menelusuri dan membongkar pihak yang menerima dan mengembalikan uang 1,8 juta US dollar AS tersebut. Uang tersebut diduga terkait dengan upaya untuk mengamankan pihak tertentu dalam kasus korupsi pembangunan menara BTS 4G.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, dalam diskusi publik Mencari sosok Hakim Adhoc Tipikor yang Berintegritas yang diselenggarakan Transparency International Indonesia secara daring, Rabu (2/3/2022).
”Di sekitar lokasi pasti banyak CCTV (kamera pengawas). Selain itu komunikasi para pihak juga meninggalkan jejak digital. Seharusnya bukan hal sulit untuk mengungkapnya,” kata Zaenur.
Untuk itu, menurut Zaenur, penyidik diharapkan sungguh-sungguh dalam memeriksa para advokat yang menerima uang tersebut. Mereka pun diharapkan bersikap kooperatif dengan penyidik dan tidak bersembunyi dengan alasan hak impunitas karena mereka diperiksa sebagai saksi, bukan dalam konteks membela kliennya.
Zaenur pun berharap agar penyidik juga menelaah kemungkinan aliran uang tersebut sudah sampai diterima aparat penegak hukum atau belum. Jika diduga aliran uang itu sampai ke aparat penegak hukum, Zaenur menyarankan agar penyidik Kejagung melibatkan institusi lain, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk menjamin penyidikan tetap obyektif.
Tanggapan atas eksepsi
Di dalam sidang dengan agenda pembacaan tanggapan atas eksepsi kuasa hukum, jaksa penuntut umum menganggap bahwa eksepsi yang diajukan kuasa hukum terdakwa Irwan Hermawan, Galumbang Menak Simanjuntak, maupun Mukti Ali telah masuk ke pokok perkara. Sebaliknya, jaksa menilai bahwa surat dakwaan terhadap para terdakwa telah diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap.
Pernyataan jaksa tentang surat dakwaan yang sudah cermat, jelas, dan lengkap itu diungkapkan untuk menanggapi keberatan kuasa hukum yang menilai bahwa dakwaan merupakan perkara perdata, dakwaan didasarkan pada peraturan yang telah dicabut, hingga kekeliruan dalam menghitung keuntungan yang diterima terdakwa.
”Menyatakan bahwa pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk mengadili dan memeriksa perkara ini,” kata jaksa Feraldy Abraham Harahap.
Pada kesempatan itu, Handika menyampaikan bahwa kliennya, Irwan Hermawan, sedang sakit gigi. Untuk itu, pihaknya mengajukan surat ketetapan dari majelis hakim agar Irwan diberi izin.