Soal Rumusan Revisi UU Desa, Pemerintah Menunggu Usulan DPR
”Aku belum lihat, nanti lihat ya,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ditanya soal usulan rumusan perubahan UU Desa dari DPR.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah masih menunggu usulan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas rumusan perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Terlepas dari itu, pemerintah telah membuat kajian atas rencana perubahan undang-undang tersebut.
Proses perumusan usulan perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh Panitia Kerja (Panja) Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa di Badan Legislasi (Baleg) DPR telah tuntas dalam waktu dua minggu sejak 19 Juni lalu hingga Senin (3/7/2023). Panja menyepakati 19 poin perubahan, di antaranya perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun serta kenaikan alokasi dana desa menjadi 20 persen dari total dana transfer daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/7/2023), enggan mengomentari usulan substansi RUU Desa tersebut, secara khusus mengenai usulan kenaikan alokasi dana desa. Ia juga enggan berkomentar banyak karena pemerintah sampai saat ini juga belum mendapati rumusan RUU tersebut. ”Aku belum lihat, nanti lihat ya,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menyampaikan, kementeriannya telah menyiapkan kajian terkait RUU Desa, salah satunya terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa. Kajian tersebut secara resmi akan disampaikan ke DPR setelah mendapat perintah dari Presiden Joko Widodo.
Abdul Halim menegaskan, RUU Desa tidak sekadar membahas masa jabatan kepala desa dan dana desa. Menurut dia, banyak hal akan dibahas di dalam RUU tersebut agar masyarakat desa semakin mandiri.
Selain itu, ia pun meyakini, semua substansi yang dibahas di DPR saat ini tidak akan mungkin diimplementasikan pada tahun 2023. ”Artinya, bahwa apa yang dilakukan DPR sama sekali tidak ada tendensi politik sedikit pun,” tegasnya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, berpandangan, dari sisi proses pembuatan legislasi, rasanya mudah untuk melihat motif DPR yang asal kebut dalam pembahasan RUU Desa. Apalagi, sebagaimana diketahui, RUU Desa tak masuk dalam daftar 39 RUU Prioritas 2023.
”RUU Desa muncul secara mendadak dan dikebut pula. Padahal, masih ada 39 RUU Prioritas 2023 yang belum tuntas dibahas DPR, tentu termasuk RUU Perampasan Aset yang sudah ditunggu-tunggu tetapi didiamkan oleh DPR,” ujar Lucius.
Lebih dari dua bulan setelah pemerintah mengirimkan surat presiden (surpres) berisi usul pembahasan RUU tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, DPR belum juga memutuskan untuk memprosesnya. Hingga rapat paripurna pada Selasa ini, DPR juga belum membacakan surpres tersebut.
”Jika RUU Desa dikebut, harusnya ada urgensi yang sangat kritis. Ada krisis yang membuat DPR mendadak membahasnya. Ada alasan krusial yang membuat RUU Desa ini dianggap lebih mendesak ketimbang RUU Prioritas lain, termasuk RUU Perampasan Aset,” ucap Lucius.
Melihat substansi RUU, yang mana salah satunya adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa, Lucius menilai, tidak ada yang mendesak dari RUU ini. Apalagi, tahun depan proses revisi juga bisa dilakukan karena tak mengganggu masa jabatan kepala desa yang sekarang.
”Tampaknya ini bukan kebutuhan mendesak para kades. Yang menganggap ini penting tampaknya cuma DPR dan partai politik di Parlemen saja. Dan, kemendesakan versi DPR dan partai politik itu tampaknya tak ada urusan dengan kepentingan desa secara keseluruhan,” tutur Lucius.
Satu-satunya hal yang mendesak bagi DPR sekarang adalah Pemilu 2024. Untuk itu, menurut Lucius, diharapkan RUU Desa bisa menjawab keinginan DPR untuk meraih simpati dan dukungan pemilih desa yang nantinya dikoordinasi para kepala desa. ”Untuk itulah revisi dilakukan sekarang dan fokus pada hal yang paling menyenangkan kepala desa, yaitu perpanjangan masa jabatan,” katanya.
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi menegaskan, perlu dibedakan antara pembahasan RUU Perampasan Aset dan RUU Desa. RUU Perampasan Aset merupakan usul pemerintah dan saat ini surpres berada di pimpinan DPR. Adapun Baleg DPR tidak mengetahui sama sekali mengenai kelanjutan proses itu.
Sementara terkait RUU Desa, ini merupakan usul inisiatif DPR. RUU tersebut pun masih dalam proses penyusunan dan belum mulai dibahas bersama pemerintah. Karena itu, prosesnya masih panjang. Baleg tidak akan tergesa-gesa dalam memprosesnya dan memastikan akan melibatkan banyak pihak dalam pembahasannya.
Di samping itu, Baidowi menyampaikan bahwa RUU Desa masuk dalam daftar RUU kumulatif terbuka dengan alasan menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara uji materi UU No 6/2014 pada Maret 2023. Dalam putusan itu, MK berpandangan UUD 1945 hanya mengatur pembatasan masa jabatan untuk beberapa jabatan publik saja. Masa jabatan kepala desa tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi diatur di undang-undang.
”Jadi, kapan pun DPR boleh mengusulkan RUU itu dan kami menyusun dan belum membahas. Ini baru menjadi RUU Desa urusan Baleg DPR,” kata Baidowi.