Dalam Rapat Paripurna DPR terdekat, yakni sebelum akhir masa sidang pada 14 Juli, usulan revisi UU Desa akan dimintakan persetujuan agar menjadi RUU inisiatif DPR.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses perumusan usulan perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh Panitia Kerja Penyusunan Rancangan Undang-Undang Desa di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat tuntas dalam waktu dua minggu. Tak hanya menyepakati usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun, DPR juga sepakat mengusulkan kenaikan alokasi dana desa menjadi 20 persen dari total dana transfer daerah. Revisi yang diusulkan di tengah tahapan Pemilu 2024 itu dinilai lebih sarat kepentingan politis ketimbang upaya pemberdayaan desa.
Usul revisi Undang-Undang No 6/2014 tentang Desa disepakati di tingkat Panitia Kerja (Panja) Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa, Badan Legislasi (Baleg) DPR, pada rapat pleno di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/7/2023). Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi didampingi Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan M Nurdin, Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Wahid, dan Ketua Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas itu, sembilan fraksi sepakat membawa usulan perubahan UU Desa ke rapat paripurna terdekat, sebelum berakhirnya masa sidang kali ini, Jumat (14/7/2023).
Pada rapat paripurna, usulan revisi UU Desa itu akan dimintakan persetujuan agar menjadi RUU usul inisiatif DPR. Namun, pembahasan revisi UU Desa masih harus menunggu respons dari pemerintah dalam bentuk surat presiden yang menyatakan persetujuan untuk membahasnya bersama DPR.
Setelah membacakan keputusan membawa usul revisi UU Desa ke rapat paripurna, Baidowi mempersilakan seluruh anggota Baleg memperkenalkan diri dan daerah pemilihannya kepada para kepala desa. Selama rapat pleno, para kepala desa memadati balkon ruang rapat Baleg DPR. Mereka menyimak seluruh pembahasan sambil mendokumentasikannya dengan ponsel serta merespons perkenalan anggota Baleg dengan sorak sorai, seperti ”hidup, lanjutkan”.
Ditemui seusai rapat, Baidowi menjelaskan, meski masih pada tahap usulan, Baleg berupaya menampilkan seluruh proses secara terbuka. Hal ini diklaim penting agar seluruh masyarakat bisa mengetahui proses pembahasan itu.
Substansi usulan revisi UU Desa dibahas di empat kali rapat panja dalam rentang waktu dua pekan sejak 19 Juni lalu hingga Senin siang. Panja Penyusunan RUU Desa menyepakati 19 poin perubahan, di antaranya terkait penambahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun jadi sembilan tahun, paling banyak dua kali masa jabatan, berturut-turut atau tidak berturut-turut. Dalam ketentuan peralihan, disebutkan pula kepala desa yang telah menjabat selama dua periode berkesempatan mencalonkan diri untuk satu periode lagi. Ketentuan itu langsung berlaku saat UU Desa disahkan.
Menurut Baidowi, penambahan masa jabatan dibutuhkan untuk memberi waktu konsolidasi kepada para kepala desa. Sebab, pemilihan kepala desa umumnya berdampak konflik sosial berkepanjangan di kalangan warga. Masa jabatan enam tahun disebut hanya cukup bagi para kepala desa untuk menyelesaikan ketegangan, tetapi belum melaksanakan program pembangunan.
Panja juga sepakat mengusulkan alokasi dana desa ditingkatkan jadi 20 persen dari total dana transfer daerah. Meski seluruh fraksi sepakat untuk mengusulkan kenaikan, sempat terjadi perdebatan menentukan besarannya. Kesepakatan menentukan besaran dana desa melalui proporsi 20 persen dari total dana transfer daerah diambil dari mekanisme suara terbanyak. Supratman Andi Agtas mengatakan, proporsi 20 persen itu yang paling memungkinkan agar setiap desa mendapat dana Rp 2 miliar per tahun atau dua kali lipat dari jumlah yang kini didapatkan. Saat ini, rata-rata dana desa mencapai 8,3 persen dari total dana transfer daerah atau sekitar Rp 1 miliar.
Baidowi menjelaskan, kenaikan dana desa diharapkan bisa mendorong pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di tingkat desa. Ia meyakini, kenaikan itu realistis karena akan diambil dari dana transfer daerah dari pemerintah pusat. Adapun dana transfer daerah terdiri atas enam komponen, yakni dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana perimbangan, dana otonomi khusus, dana keistimewaan, dan dana desa.
Nuansa politis
Inisiator Forum Desa Nusantara Budhi Hermanto melihat, nuansa politis dalam perubahan UU Desa yang diusulkan DPR lebih kuat ketimbang intensi penguatan desa. Sejak awal terlibat dalam penyusunan UU Desa, menurut dia, isu terpenting yang belum dipenuhi adalah soal kemandirian desa dengan pemberian kewenangan kuat pada kepala desa untuk mengelola wilayah. Dalam hal penggunaan dana desa, misalnya, kepala desa masih harus mengikuti program yang diatur Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta bupati.
Sementara itu, substansi revisi UU Desa yang bakal diajukan, seperti penambahan masa jabatan dan peningkatan dana desa, tak terkait langsung dengan kemandirian kepala desa. Hal itu, menurut dia, justru mengindikasikan adanya transaksi kepentingan elektoral para politisi jelang Pemilu 2024 yang ditukar dengan kepentingan para kepala desa yang sebelumnya menuntut perpanjangan masa jabatan. ”Revisi UU Desa hari ini terlihat menjadi komoditas politik, ini justru bisa mengebiri semangat UU Desa yang berupaya memberi kewenangan kepada desa sebagai ujung tombak pembangunan,” ujarnya.
Apalagi, desa berpotensi memberikan suara besar di Pemilu 2024. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, hingga 2022 di Indonesia terdapat 74.961 desa, jauh lebih banyak daripada kelurahan yang berjumlah 8.506 unit.
Menurut Budhi, belum ada kajian akademik yang bisa memberikan alasan kuat urgensi penambahan masa jabatan kepala desa. Sementara itu, penambahan alokasi dana desa juga tak berperan signifikan jika kepala desa belum mandiri dalam penggunaannya.
Ketua Kepala Desa Indonesia Bersatu yang juga Kepala Desa Tegalharjo, Pati, Jawa Tengah, Pandoyo, mengatakan, spekulasi mengenai transaksi politik di balik revisi UU Desa terlalu tendensius. Para kepala desa berupaya mengusulkan revisi sejak 2019 karena ada hak-hak desa yang belum didapatkan selama ini. ”Dengan revisi UU Desa ini, kami berharap desa semakin kuat secara kelembagaan, pemerintahan, pendanaan, dan pemberdayaan masyarakat,” ujarnya.
Pandoyo menegaskan, setiap kepala desa memiliki hak politik masing-masing. Terkait dengan para anggota Baleg yang memperkenalkan diri setelah menyepakati untuk mengusulkan revisi UU Desa, ia menilai itu adalah hal yang wajar. ”Kalau sekadar memperkenalkan diri, why not,” katanya.