Komnas HAM Prihatin atas Penghancuran Rumah Geudong
Penghancuran Rumah Geudong di Pidie, Aceh, dinilai sama dengan menghilangkan alat bukti dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang diselidiki oleh Komnas HAM.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA,KOMPAS - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyatakan keprihatinannya atas perataan dengan tanah rumah geudong, di Pidie, Aceh. Komnas HAM menyesalkan tindakan pemerintah daerah setempat yang dinilai tidak memiliki sensivitas terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu yang terjadi di lokasi tersebut.
”Kita sangat prihatin dengan kebijakan sepihak tersebut. Kita berharap rumah geudong itu sebenarnya menjadi memorialisasi terhadap pernah terjadinya pelanggaran HAM di Aceh,” kata Putu Elvina, Komisioner Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, dalam jumpa pers Senin (26/6/2023).
Seperti diketahui, Rumah Geudong yang dihancurkan pada 19-21 Juni 2023, hingga saat ini sudah rata dengan tanah. Dugaan pelanggaran HAM berat di Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya terjadi saat Aceh masih dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998, saat pemerintah melalui Panglima ABRI melakukan Operasi Jaring Merah (Jamer).
Mariana Amiruddin dari Komnas Perempuan mengatakan, penghancuran Rumah Geudong sama saja dengan menghilangkan alat bukti dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang diselidiki oleh Komnas HAM.
Baginya, penghancuran rumah yang menjadi saksi bisu tempat terjadinya pelanggaran HAM tersebut sebagai sebuah tindakan kejahatan terhadap usaha untuk mengungkap kebenaran.
Senada dengan Mariana, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengkritik penghancuran Rumah Geudong yang menjadi salah satu alat bukti kuat dugaan pelanggaran HAM berat yang ditetapkan oleh Komnas HAM. Penghancuran alat bukti tersebut merupakan kejahatan obstruction of justice dalam bentuk mencegah, merintangi atau menggagalkan proses hukum yang telah selesai di tahap penyelidikan oleh Komnas HAM.
”Ini kejahatan baru yang dilakukan negara untuk menutupi kejahatan lama. Oleh karena itu, Komnas HAM harus memeriksa kejahatan baru, penghancuran Rumah Geudong, bahkan berkoordinasi dengan Kepolisian RI untuk mengusut tuntas,” kata Julius Ibrani dari PBHI dalam siaran persnya.
Ada implikasi serius terhadap penghancuran Rumah Geudong tersebut. Yaitu, selain ketiadaan keadilan bagi korban, tindakan tersebut juga menghilangkan memori kolektif korban dalam bentuk memorabilia. Hal itu juga menegaskan bahwa pelaku tidak akan diadili, institusi pelaku tidak akan direformasi.
Berkaitan dengan upaya pemulihan melalui jalur non-yudisial dengan diberikannya janji penyelesaian dengan mendahulukan pemilihan melalui fasilitas, hal tersebut dinilai sebagai upaya pembohongan publik khususnya korban pelanggaran HAM berat.
Bagi Julius, tidak mungkin ada istilah korban ataupun pemulihan korban yang disebutkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD sebagai (penyelesaian) non-yudisial tanpa pengungkapan kebenaran. Pengungkapan kebenaran yang dimaksud adalah terkait apa peristi dan perbuatannya, siapa pelakunya, siapa korbannya, serta apa hak korban yang terlanggar.
”Terminologi ‘penyelesaian’ juga pembohongan publik karena tidak mungkin selesai jika tidak ada ajudikasi (peradilan) dan reformasi institusional pelaku sebagai jaminan tidak ada impunitas dan ketidakberulangan pelanggaran HAM berat,” ujar Julius dalam siaran persnya.