Polri Evaluasi Ujian Praktik SIM, Terutama Ujian Berkendara Zig-zag
Polri akan mengevaluasi ujian praktik berkendara zig-zag dan pola angka delapan untuk memperoleh SIM C. Untuk menghindari perjokian, pengenal wajah juga akan diterapkan pada ujian SIM.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menindaklanjuti arahan Kepala Polri, Korps Lalu Lintas Polri akan mengevaluasi ujian praktik untuk mendapatkan surat izin mengemudi atau SIM, khususnya ujian berkendara zig-zag dan berkendara mengikuti pola angka delapan yang selama ini diterapkan untuk penerbitan SIM C. Evaluasi dilakukan untuk melihat relevansi ujian praktik tersebut tanpa mengabaikan aspek keselamatan berlalu lintas.
Hal itu disampaikan Direktur Registrasi dan Identifikasi Korps Lalu Lintas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Yusri Yunus dalam jumpa pers, Kamis (22/6/2023), di Mabes Polri, Jakarta. Yusri mengatakan, Kapolri telah meminta agar ujian praktik untuk memperoleh SIM yang dianggap masyarakat tidak relevan dievaluasi kembali.
”Apa yang disampaikan Pak Kapolri akan kami laksanakan. Nanti akan kami evaluasi bentuk ujian-ujian praktik, khususnya di angka delapan sama zig-zag, apakah masih relevan atau tidak,” kata Yusri.
Sebelumnya, ketika memberikan pengarahan dalam upacara penutupan pendidikan dan wisuda sarjana ilmu kepolisian di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Lemdiklat Polri, Rabu, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menyampaikan keluhan masyarakat tentang pembuatan SIM yang sulit. Sejauh ini perbaikan terus diupayakan melalui digitalisasi.
”Saya minta Kakor (Kakorlantas), tolong untuk lakukan perbaikan. Yang namanya angka delapan itu masih sesuai atau tidak, yang melewati zig-zag itu sesuai atau tidak. Kalau sudah tidak relevan tolong diperbaiki,” kata Listyo.
Ia mengingatkan bahwa ujian praktik untuk mendapatkan SIM terkesan hanya untuk mempersulit pemohon SIM yang akhirnya berujung pada penyimpangan. Padahal, di sisi lain, belum tentu semua anggota kepolisian mampu melakukannya dengan baik.
Menurut Listyo, yang penting dari seorang pengendara adalah etika dalam menghargai keselamatan para pengguna jalan dan keterampilan saat mengendarai kendaraan. Oleh karena itu, tujuan utama ujian praktik SIM seharusnya tetap dapat tercapai tanpa mengharuskan masyarakat melakukan hal yang sulit.
Terhadap perintah Kapolri tersebut, menurut Yusri, pihaknya akan mengkaji kembali ujian praktik tersebut berdasarkan situasi saat ini. Pesan Kapolri bertujuan agar masyarakat dimudahkan, tetapi tanpa mengabaikan aspek keselamatan dengan tetap memiliki kompetensi dan keterampilan berkendara.
Listyo mengingatkan bahwa ujian praktik untuk mendapatkan SIM terkesan hanya untuk mempersulit pemohon SIM yang akhirnya berujung pada penyimpangan.
Untuk mengkaji hal itu, kata Yusri, pihaknya akan membentuk tim atau kelompok kerja dengan melibatkan para pemangku kepentingan terkait, antara lain Kementerian Perhubungan dan para ahli lalu lintas. Salah satu yang akan dikaji adalah anggapan bahwa ujian praktik tersebut terlalu sulit, semisal tentang jarak dalam angka delapan yang dinilai terlalu sempit.
Selain kajian dan evaluasi, lanjutnya, jika diperlukan akan dilakukan studi banding ke negara lain. Studi banding ini untuk melihat apakah praktik serupa masih digunakan di negara lain atau sudah ditinggalkan karena dianggap tidak relevan.
”(Target) Secepatnya. Tapi, kami tidak ingin terburu-buru kalau hasilnya sama saja. Kapolri menyampaikan, jangan lari dari keselamatan,” ujar Yusri.
Terkait hal itu, ia menyampaikan tentang penerapan teknologi informasi dalam memproses perpanjangan SIM melalui aplikasi Sinar atau SIM Nasional Presisi. Melalui aplikasi tersebut, pemohon dapat melakukan perpanjangan SIM secara daring. Dengan semakin minimnya pertemuan langsung antara petugas dan masyarakat, diharapkan potensi penyelewengan akan hilang.
Demikian pula untuk pemohon SIM baru, dibangun sistem dan mekanisme agar masyarakat bisa mempelajari soal yang akan diujikan dalam ujian teori dengan mencetak buku panduan. Selanjutnya, dalam ujian praktik, Korlantas juga sudah menerapkan teknologi pengenalan wajah untuk memastikan orang yang mengikuti ujian praktik tidak diwakili oleh orang lain atau joki.
”Ini kami bikin soalnya yang aplikatif dihadapi (pengendara) di lapangan, tapi dalam bentuk animasi, kartun. Tinggal (jawab) ya atau tidak, boleh atau tidak. Jadi, soalnya pilihan ganda,” kata Yusri.
Masih terkait dengan SIM, saat ini Korlantas masih mengkaji peraturan kepolisian yang mensyaratkan kewajiban sertifikasi mengemudi bagi calon pemegang SIM. Sertifikasi tersebut diperoleh dari sekolah mengemudi yang berbadan hukum dan tersertifikasi.
”Belum dilaksanakan karena kami masih mengkaji. Akan dibuatkan aturan pelaksanaan di bawah. Jadi, belum dilaksanakan, tunggu saja, meski aturannya sudah ada,” pungkasnya.
Secara terpisah, pegiat antikorupsi yang juga Direktur Visi Integritas, Emerson Yuntho, berpandangan, upaya kepolisian untuk terus mengevaluasi dan menerapkan teknologi informasi dalam pengurusan SIM patut diapresiasi. Demikian pula pernyataan Kapolri bahwa belum tentu semua anggota kepolisian mampu melewati ujian praktik dengan baik memperlihatkan bahwa mekanisme itu memang sudah seharusnya dievaluasi.
”Materi yang seharusnya ditekankan adalah etika berkendara di jalan raya. Mungkin metodenya diganti, tidak hanya ujian teori, tapi juga pengarahan bagaimana berkendara dengan baik, bagaimana mematuhi lalu lintas,” tutur Emerson.
Sulitnya melewati ujian teori ataupun ujian praktik telah menimbulkan praktik koruptif, seperti pungutan liar.
Menurut dia, sulitnya melewati ujian teori ataupun ujian praktik telah menimbulkan praktik koruptif, seperti pungutan liar. Sebagian orang memilih jalan pintas dengan membayar lebih besar karena yakin bahwa dia tidak akan mampu melewati ujian tersebut. Sementara sebagian lain akhirnya memilih jalan pintas karena gagal berkali-kali dalam ujian SIM.
Melalui digitalisasi yang membuat interaksi langsung berkurang, ia meyakini praktik suap akan semakin sedikit, bahkan hilang. Namun, tantangannya adalah terus-menerus memastikan agar teknologi tersebut dapat berjalan dengan prima. Praktik koruptif diyakini juga akan semakin surut jika transaksi tunai diganti menjadi nontunai.