MA Diminta Cepat Memutus Uji Materi Pasal Pencalonan Mantan Terpidana
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mendaftarkan permohonan uji materi ke MA atas dua peraturan KPU, yang memuat pengaturan pencalonan mantan terpidana pada Pemilu 2024.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU terkait dengan pencalonan pada Pemilu 2024 kembali diuji materi ke Mahkamah Agung. Pada Senin (12/6/2023), dua PKPU yang memuat pengaturan pencalonan mantan terpidana, yakni PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta PKPU No 11/2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), diuji materi.
Uji materi PKPU tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch, bersama dua mantan unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang dan Abraham Samad, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih. Para pemohon meminta MA bisa memutus cepat uji materi kedua peraturan tersebut.
Mereka menguji Pasal 11 Ayat (6) PKPU No 10/2023 yang mengatur, pemberlakuan masa jeda lima tahun tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik. Norma yang sama ada dalam Pasal 18 Ayat (2) PKPU No 11/2023 tentang Pencalonan DPD.
Norma tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu dan juga dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga dinilai mengakibatkan ketidakpastian hukum.
”Kami berharap bahwa ini segera diputus secepat mungkin agar ada kepastian bagaimana pelaksanaan pesta demokrasi itu jika dikaitkan dengan adanya beberapa orang yang bermasalah di waktu lalu. (Diharapkan) bisa menciptakan pemilu berintegritas seperti yang selama ini kita kenal dan kita promosikan di KPK,” kata Saut seusai mendaftarkan perkara uji materi ke MA.
Saut didampingi kuasa hukumnya, Fadli Ramadhanil, Kurnia Ramadhana, dan anggota tim kuasa hukum lainnya.
Sebelum uji materi PKPU terkait pencalonan mantan terpidana, Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan juga mengajukan uji materi PKPU No 10/2023 ke MA, Senin (5/6/2023). Lewat uji materi itu, Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan mempersoalkan Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 tentang Pencalonan DPR dan DPRD. Pasal itu memuat penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan yang menghasilkan angka pecahan dibulatkan ke atas.
Putusan MK
Menurut Kurnia, pengaturan pencalonan napi terpidana dalam PKPU No 10/2023 dan PKPU No 11/2023 bertentangan dengan putusan MK, terutama terkait dengan pengecualian syarat bagi mantan terpidana yang akan maju sebagai caleg pada Pemilu 2024. Mengacu pada putusan MK, para terpidana itu harus melewati masa jeda lima tahun setelah masa pemidanaan apabila ingin mencalonkan diri sebagai caleg.
Namun, kedua PKPU itu memberi pengecualian bagi para terpidana yang memperoleh hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. ”Jadi, kalau ada terpidana dicabut hak politiknya satu tahun, maka pada tahun kedua bisa maju sebagai caleg. Bagi kami, itu jelas sekali terang benderang bertentangan dengan putusan MK,” ujar Kurnia.
Dalam berkas permohonan disebutkan pengujian kedua PKPU itu masih dalam tenggat yang ditentukan UU Pemilu. Pasal 76 UU Pemilu menyebutkan, batas waktu pengujian PKPU ke MA adalah 30 hari sejak diundangkan. Adapun kedua PKPU tersebut diundangkan pada 18 April 2023 dan tenggat pengujian jatuh pada 13 Juni 2023.
Dua PKPU tersebut dilengkapi dengan simulasi yang diuraikan dalam Keputusan KPU No 352/2023. Disebutkan, bagi terpidana yang dikenai pidana pencabutan hak politik tiga tahun, apabila yang bersangkutan bebas murni pada 1 Januari 2020, maka hanya berlaku pencabutan hak politik tersebut meski ada putusan MK harus ada jeda waktu lima tahun. Yang bersangkutan telah memiliki hak untuk dipilih per 1 Januari 2023, terhitung tiga tahun sejak bebas. KPU mengklaim hal itu sejalan dengan pertimbangan putusan MK No 87/PUU-XX/ 2022.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih, ketentuan di dalam dua PKPU itu beserta keputusan KPU tersebut membuat mantan terpidana yang mendapat pidana tambahan pencabutan hak politik dapat mencalonkan dalam pemilu legislatif tanpa melewati masa tunggu lima tahun.
Padahal, dua putusan MK terakhir (87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023) merupakan upaya MK menyelaraskan semangat terhadap norma Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU No 10/2016 yang juga telah dimaknai dalam putusan no 56/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tahun 2019 itu, MK menegaskan perlunya ada penerapan masa jeda selama lima tahun bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri dalam pilkada.
Menanggapi permohonan uji materi tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, pihaknya mengacu pada putusan MK dalam merumuskan norma dalam dua PKPU tersebut.
Dalam pertimbangannya, MK mengutip dari putusan sebelumnya bahwa terhadap orang yang pernah dipidana penjara dan kemudian dikenai sanksi tambahan berupa pencabutan hak politik dikecualikan dari kewajiban masa jeda lima tahun. Ini dilakukan sebab MK menghormati putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap di lingkungan MA.
Selain itu, menurut Hasyim, dalam merumuskan draf PKPU, pihaknya juga sudah melakukan berbagai diskusi, uji publik, serta konsultasi ke pembentuk undang-undang. Dua PKPU yang mengatur pengecualian penerapan masa tunggu lima tahun bagi terpidana yang dicabut hak politiknya oleh pengadilan itu juga sudah diharmonisasi dengan aturan lain di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
”Jadi, ketika merumuskan hal ini, KPU sudah mempertimbangkan banyak hal dan sampai pada keyakinan rumusan norma yang diyakini KPU benar sebagaimana yang dituangkan dalam PKPU tersebut,” kata Hasyim.
Akses Silon terbatas
Badan Pengawas Pemilu mengeluhkan keterbatasan akses Sistem Informasi Pencalonan (Silon) yang diberikan KPU. Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, akses Silon yang diberikan KPU pada akhir Mei lalu dinilai masih sangat terbatas. Bawaslu tidak bisa mengakses dokumen persyaratan bakal caleg, seperti fotokopi ijazah yang dilegalisasi serta surat keterangan jasmani dan rohani. Bawaslu hanya bisa melihat bahwa dokumen persyaratan bakal caleg itu telah diunggah ke Silon.
Padahal, menurut Bagja, Bawaslu membutuhkan akses yang lebih luas agar dapat mengawasi keabsahan dokumen yang diunggah di Silon. Sebab, tak tertutup kemungkinan ada sengketa pemilu yang mengharuskan Bawaslu mengecek dokumen itu.
Bawaslu juga hanya diberi akses untuk melihat dokumen di lokasi verifikasi administrasi selama 15 menit dalam empat sesi per hari. ”Dokumen yang diperlihatkan di Silon juga tidak boleh difoto. Padahal, Silon seharusnya terbuka,” ujar Bagja, Senin (12/6/2023), di Jakarta.
Keterbatasan akses tersebut, menurut Bagja, berpotensi menghambat kerja Bawaslu mengawasi tahapan verifikasi administrasi bakal caleg. Bahkan, jika ada sengketa pemilu, Bawaslu akan kesulitan mencari dan menelusuri alat bukti karena sebagian dokumen tidak bisa diakses. Demikian pula jika ada laporan masyarakat, Bawaslu tidak bisa mengecek alat bukti.
”Misalnya ada indikasi ijazah palsu, kami hanya bisa melihat di layar Silon. Bagaimana nantinya alat bukti yang mau disampaikan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Bawaslu meminta KPU memberikan akses terhadap dokumen pendaftaran bakal caleg di Silon. Bawaslu tidak akan mempermasalahkan jika sebagian data yang termasuk data pribadi dan data yang dikecualikan tidak dibagikan asalkan bisa mengakses dokumen secara memadai. Terlebih, Bawaslu juga bagian dari penyelenggara pemilu.
”Tolonglah buka kerja sama dengan kami agar kami bisa mengawasi dengan baik. Kami ini pengawas, bukan pemantau,” katanya.
Hasyim Asy’ari mengatakan, tidak semua berkas bisa diakses Bawaslu. Sebab, ada informasi yang dikecualikan, seperti ijazah dan rekam medis yang sifatnya pribadi. Namun, Bawaslu tetap bisa mengecek dokumen secara langsung dengan mendatangi lokasi verifikasi administrasi.
Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Aji Pangestu mengatakan, Bawaslu harus bekerja sama dengan pihak terkait yang menerbitkan dokumen-dokumen persyaratan bakal caleg tersebut. Hal itu bisa menjadi solusi mengecek keabsahan dokumen bakal caleg yang tidak bisa diakses melalui Silon. Dengan demikian, Bawaslu tetap bisa mengecek dokumen yang keabsahannya diragukan.