Heboh Aturan Poligami PNS, antara Sosialisasi dan Cek Ombak
BKN tiba-tiba menyosialisasikan kembali regulasi tentang izin perkawinan dan perceraian PNS yang dibuat pada 1983. Regulasi yang sudah diterapkan 40 tahun ini salah satunya membahas syarat PNS pria berpoligami.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
Beberapa hari terakhir, publik dihebohkan dengan kabar tentang aturan diperbolehkannya pegawai negeri sipil atau PNS beristri lebih dari satu atau berpoligami serta larangan PNS perempuan menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat. Publik dibuat penasaran karena tiba-tiba pada akhir Mei lalu, Badan Kepegawaian Nasional menyosialisasikan aturan PNS berpoligami.
Banyak yang mengira ketentuan itu merupakan aturan baru. Sontak, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menjadi sorotan. Tak sedikit publik yang penasaran terhadap aturan izin perkawinan dan perceraian PNS tersebut. Berdasarkan data Google Trends, kata kunci ”PNS Poligami” banyak dicari di mesin pencari Google sejak aturan sosialisasi itu digelar 25 Mei lalu. Pencarian dengan kata kunci ”PNS Poligami” itu mencapai titik tertinggi pada Kamis (1/6/2023) dengan 100 poin (skala 0-100) dalam rentang sepekan terakhir pada 26 Mei-2 Juni 2023. Pencarian terbanyak berasal dari Yogyakarta (100 poin), diikuti Kalimantan Selatan (88 poin) dan Kalimantan Barat (82 poin).
Namun rupanya, ketentuan tentang PNS pria boleh berpoligami itu bukanlah aturan baru. Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama BKN Iswinarto Setiaji menegaskan, ketentuan diperbolehkannya PNS laki-laki beristri lebih dari seorang, begitu pula PNS perempuan dilarang jadi istri kedua, ketiga, atau keempat telah diterbitkan sejak lama. Regulasi tersebut juga bukan diterbitkan oleh BKN.
”Aturan ini sudah diterbitkan sejak 40 tahun yang lalu dan bukan kebijakan yang dikeluarkan oleh BKN, tetapi sudah lama diatur di dalam regulasi mengenai Izin Perkawinan dan Perceraian PNS,” ujar Iswinarto melalui keterangan tertulis, Jumat (2/6/2023).
Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 yang telah telah diubah menjadi PP No 45/1990. Regulasi itu telah menjadi acuan para PNS untuk berpoligami. Iswinarto menjelaskan, PP No 10/1983 itu di antaranya mengatur syarat alternatif dan kumulatif PNS laki-laki berpoligami. Selain itu juga mengatur pejabat yang berwenang mengeluarkan izin, yakni pejabat pembina kepegawaian di tiap-tiap instansi.
Untuk dapat memperistri lebih dari satu perempuan, PNS laki-laki wajib memenuhi salah satu syarat alternatif. Syarat itu adalah istri tak dapat menjalankan kewajibannya, cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan, atau istri tak dapat melahirkan keturunan. Syarat itu harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter pemerintah.
Aturan ini sudah diterbitkan sejak 40 tahun lalu dan bukan kebijakan yang dikeluarkan oleh BKN, melainkan sudah lama diatur di dalam regulasi mengenai Izin Perkawinan dan Perceraian PNS.
Sementara itu, syarat kumulatif harus terpenuhi seluruhnya. Persyaratan itu berupa persetujuan tertulis dari istri, PNS laki-laki berpenghasilan cukup yang dibuktikan dengan surat keterangan Pajak Penghasilan, serta ada jaminan tertulis bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
”Menurut regulasi tersebut, PNS pria memang diperbolehkan untuk beristri lebih dari seorang. Namun, harus memenuhi berbagai macam persyaratan serta mendapatkan persetujuan dari pejabat berwenang sehingga prosesnya cukup panjang dan selektif,” ujar Iswinarto.
Jika PNS laki-laki boleh berpoligami dengan syarat tertentu, PNS perempuan dilarang menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat. Sanksi pemberhentian disiapkan untuk para PNS perempuan yang melanggar.
Izin perkawinan dan perceraian bagi PNS diatur dengan tujuan utama agar setiap pegawai pemerintah dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai abdi negara. Mereka juga tak terganggu masalah-masalah dalam keluarganya.
Pakar kebijakan publik Universitas Padjadjaran, Mudiyati Rahmatunnisa, menilai, peraturan mengenai izin perkawinan dan perceraian PNS diadakan untuk menjaga performa kinerja PNS agar tak menurun karena urusan rumah tangga. ”Jadi enggak seenaknya (PNS memutuskan). Negara pada akhirnya ada intervensi dalam konteks menjaga performance PNS-nya sendiri,” tuturnya.
Regulasi pemerintah tentang izin perkawinan dan perceraian PNS disorot karena dianggap telah masuk ke dalam ranah pribadi. Namun, menurut Mudiyati, regulasi itu sebenarnya terkait dengan performa kerja bagi PNS sehingga bukan lagi ranah pribadi. Sebagai pelayan masyarakat, para PNS memang untuk bekerja secara profesional. ”Negara ikut campur karena ada tugas besar yang melekat pada PNS untuk bisa berkinerja baik,” tuturnya.
Meski demikian, Mudiyati tetap mengkritisi regulasi izin perkawinan dan perceraian PNS. Menurut dia, pembuat kebijakan harus bertanggung jawab sekaligus mengevaluasi regulasi tersebut. Pemerintah juga perlu menyampaikan penjelasan untuk memberikan pemahaman kepada publik bahwa tujuan regulasi itu dibuat tak sekadar untuk mengatur izin kawin dan cerai PNS.
Kebijakan viral
Kepala Pusat Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo mempertanyakan motif BKN memunculkan isu soal izin kawin dan cerai PNS saat ini. Sebab, aturan itu diterbitkan pada masa Orde Baru dengan kondisi politik yang berbeda. Kala itu, istri Presiden kedua Indonesia, Siti Hartinah, amat menentang poligami sehingga dibuatlah aturan agar PNS pria tak mudah berpoligami.
Tindakan BKN ini meruakan bagian dari pembuatan kebijakan berdasarkan cuitan viral (viral tweet policy making). Dalam penelitian Kunto, pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak 2019 hingga saat ini, ada 33 kebijakan yang viral. Salah satunya mengenai tarif wisata kunjungan ke Pulau Komodo dan Candi Borobudur.
”Saya melihatnya, pemerintah memang coba menggunakan media sosial ini semacam bagian opini publik tertentu tentang sebuah policy, kemudian testing the water apakah ini diterima dengan baik atau bagaimana arah opini publik,” tuturnya.
Sejauh ini, menurut Kunto, pemerintah cenderung merespons persoalan berdasarkan opini publik walau beberapa regulasi tak berubah. Salah satunya UU Cipta Kerja.
Ia memperkirakan kebijakan poligami akan diperketat atau tak dibolehkan sama sekali. Alhasil, saat ini isu tersebut memang dengan sengaja dilempar ke publik.