Menko Polhukam: Strategi Perang Berantas TPPO Segera Dirumuskan
Ada dua strategi yang disiapkan, yakni strategi jangka pendek dan panjang. Seperti apa detailnya?
SIKKA, KOMPAS — Sebagai provinsi dengan angka tindak pidana perdagangan orang yang cukup besar, Nusa Tenggara Timur akan meningkatkan koordinasi, terutama dalam hal penegakan hukum dengan pemerintah pusat. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan merumuskan strategi jangka pendek dan menengah untuk perang melawan situasi darurat itu.
Sebelumnya diberitakan, Indonesia sudah masuk situasi darurat perdagangan orang. Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dalam tiga tahun terakhir, per hari rata-rata dua jenazah pekerja migran dikembalikan ke Tanah Air dan rata-rata empat pekerja migran pulang dalam kondisi sakit, depresi, hilang ingatan, atau cacat (Kompas, 31/5/2023).
Dalam rapat internal kabinet di Istana Negara, Selasa (30/5/2023), Presiden Joko Widodo meminta restrukturisasi Satuan Tugas TPPO. Presiden juga meminta ada langkah cepat dalam satu bulan ini. Upaya itu untuk menunjukkan kepada publik bahwa Polri, TNI, dan aparat pemerintah yang lain hadir serta bertindak cepat menangani persoalan itu.
Ditemui di sela-sela kegiatan di Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, Rabu, Mahfud MD mengatakan, pemerintah pusat akan melakukan langkah khusus untuk NTT dan daerah lain yang menjadi basis TPPO. Presiden Joko Widodo sudah memimpin rapat kabinet dan memberikan perintah agar dibuat strategi jangka pendek dan menengah untuk memerangi TPPO yang masuk dalam kejahatan sangat luar biasa.
Baca juga: Dua Jenazah Pekerja Migran Tiba di Tanah Air Setiap Hari
”Jangka pendeknya, dalam bulan Juni ini sudah harus permintaan dan tahapan langkah yang akan diambil untuk menindak pelaku-pelaku TPPO ini. Bulan Juni, Presiden mengatakan menteri-menteri akan dipanggil lagi dan anggota-anggota Satgas TPPO,” kata Mahfud.
Adapun untuk strategi jangka panjangnya, menurut Mahfud, Presiden Jokowi akan memperbarui Peraturan Presiden (Perpres) tentang Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan mengubah struktur atau restrukturisasi Satgas TPPO. Sebelumnya, Satgas TPPO dipimpin oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Setelah restrukturisasi, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menjadi Ketua Harian Satgas TPPO. Artinya, dimensi penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan akan semakin diefektifkan.
”(Situasinya) sangat darurat (sekarang). Kalau dari laporan kemarin, sejak tahun 2020-2022 jumlahnya ada 1.900-an mayat pulang ke Indonesia. Yang paling banyak memang NTT. Pemerintah tidak boleh diam,” kata Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menambahkan, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Labuan Bajo awal Mei lalu, semua negara anggota ASEAN diminta melakukan kerja sama yang lebih ketat untuk memberantas TPPO karena level kejahatan sudah berada di tingkat darurat. Apalagi, TPPO termasuk kejahatan kerah putih atau kejahatan luar biasa karena pelakunya adalah orang pintar yang menipu warga untuk dipekerjaan dalam prostitusi daring dan modus perdagangan manusia lainnya.
Modus lainnya, paspor dari korban TPPO ini ke luar negerinya tidak terbit dari daerah asal. Banyak korban yang aslinya dari NTT, tetapi paspornya dikeluarkan dari Pontianak, Kalimantan Barat, hingga Blitar, Jawa Timur, sehingga dia memastikan bahwa pelakunya adalah jaringan sindikat.
”Ada juga perbudakan di sini. Perbudakan artinya orang tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi diperas tenaganya, tidak digaji, kalau sakit dibiarkan sampai akhirnya banyak yang dipulangkan,” imbuhnya.
Terpisah, di Tangerang, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengatakan, sebagai Ketua Harian Satgas TPPO, dirinya memerintahkan Divisi Hubungan Internasional Polri bekerja sama dengan negara-negara lain untuk mencari tahu kelompok-kelompok sindikat yang ada dan mungkin bisa bekerja sama dengan kelompok di Indonesia.
Kerja sama diharapkan agar saat melakukan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan, bisa lebih efektif. Ia menyebut dari data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), ada sekitar 9 juta masyarakat yang bekerja ke luar negeri. Namun, lebih dari separuh pegawai itu yaitu sekitar 5 juta orang berangkat dengan cara ilegal.
Baca juga: Tindak Pidana Perdagangan Orang yang Terus Berulang di NTB
"Tentunya, hak-hak mereka harus kita lindungi. Peran kepolisian di luar negeri khususnya di wilayah yang menjadi tujuan masyarakat yang bekerja di dalamnya ada indikasi sebagian adalah korban dari TPPO bisa diberikan perlindungan saat terjadi masalah," katanya.
Para korban TPPO pun diminta untuk segera menghubungi kepolisian atau perwakilan polisi di luar negeri untuk mengambil langkah-langkah dan bekerja sama baik dengan negara setempat maupun segera menghubungi perwakilan yang ada di Indonesia. Dengan demikian, seluruh pemangku kepentingan yang ada baik Kementerian Luar Negeri, bisa membantu menyelamatkan korban yang terkait dengan TPPO.
"Kemarin baru saja kepolisian diberikan tugas oleh Presiden menjadi pelaksana harian terkait dengan Satgas TPPO, yang sebelumnya diwakili oleh Kemenetrian PPA. Ini segera kami tindak lanjuti untuk mengambil langkah-langkah penegakan hukum," imbuh Listyo.
Dia juga mengatakan, Polri saat ini sedang memetakan siapa saja pelaku yang dituding memiliki backingan aparat penegak hukum. Jika pemetaan sudah selesai, tentunya Polri akan segera mengambil langkah sesuai dengan komitmen bersama yaitu menindak tegas siapapun yang terlibat di dalamnya. Tim saat ini sedang mempersiapkan diri untuk mulai bekerja.
Sinkronisasi kebijakan
Menurut Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Yosef Nae Soi, sebenarnya saat ini Provinsi NTT sudah menerapkan kebijakan moratorium untuk mengirim tenaga kerja non skill dan non prosedural.
Namun, menurutnya NTT memang sangat rentan dalam hal perdagangan orang karena makelar dalam kasus tersebut sangat hebat dalam membuat modus. Dia sendiri pernah ke Medan, Sumatera Utara dan Batam, Kepulauan Riau untuk menangkap sindikat perdagangan orang dan membawa pulang korban dari tangan makelar. Tahun ini sudah ada 90 orang yang pelaku yang ditangkap dari NTT.
"Modusnya itu adalah begitu ada pesta atau kegiatan dari masyarakat makelar itu akan datang. Tahu sendiri adat orang Flores kalau ada kesusahan bawa babi, sapi, padahal kemampuan sangat terbatas. Pada saat itulah, mereka menawarkan anaknya untuk bekerja di luar kota atau luar negeri," papar Yosef.
Modus lainnya, kata Yosef adalah para korban ini tidak membawa paspor asli dari NTT. Mereka membawa paspor dari Jawa. Setelah mengetahui modus itu, Pemprov NTT kemudian menerakan moratorium dan mengatakan kepada calo untuk menyetop mengirim tenaga kerja dari NTT.
"Sekarang, saya minta ke pengusaha kalau Anda mau minta tenaga kerja ke NTT bisa langsung dari NTT, latih juga di NTT. Gajinya taruh di Bank NTT supaya punya uang dan bisa berbakti untuk orangtua di NTT. Itu sudah kami lakukan," jelasnya.
Dengan adanya kebijakan baru dari Presiden Joko Widodo yang memerintahkan Menko Polhukam memberantas mafia TPPO, dia berharap kolaborasi dan sinkronisasi kebijakan ke depannya bisa lebih baik lagi.
Dia mengklaim beberapa orang pelaku sudah ditangkap. Namun, itu belum bisa mengurangi tingkat kejahatan karena modus makelar lebih canggih untuk mengelabui aparat penegak hukum. Misalnya, mereka pura-pura pergi dari Kupang, satu per satu. Kemudian, mereka membuat paspor dari luar kota. Korban yang memiliki nama asli Flores Agatha misalnya, sampai ke lokasi kerja namanya berubah menjadi Mutmainah.
”Ini yang sulit dideteksi. Kami harapkan kolaborasi bisa lebih efektif ketika ada kebijakan dari Pak Menko Polhukam. Kolaborasi dengan pentahelix, termasuk tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat juga tak kalah penting," jelasnya.
Baca juga: Semua Pihak Harus Berkolaborasi untuk Cegah TPPO
Yosef menambahkan, dirinya juga sudah berpesan kepada kepala desa untuk meningkatkan pengawasan terhadap warganya yang pergi bekerja ke luar kota maupun ke luar negeri. Dia juga meminta apabila ada tanah adat yang belum dipakai agar diserahkan kepada pemerintah. Dengan demikian, tanah bisa dikelola oleh masyarakat agar mencegah mereka tidak pergi ke luar negeri.
”Di Malaysia, mereka itu hanya bekerja sebagai buruk torek karet dan kelapa sawit. Gajinya tidak seberapa. Padahal, kalau mereka di sini bisa tanam jagung atau pelihara babi, sapi, hasilnya lebih besar,” ungkapnya.