Pendiri bangsa menyatakan Indonesia harus menjadi milik semua, bukan segelintir orang. Di forum Gagas RI, Haedar Nashir mengingatkan gagasan itu, melihat praktik politik yang dikuasai kelompok tertentu.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan sosial merupakan masalah yang tidak boleh dibiarkan atau dipandang sebagai masalah pinggiran. Nyatanya, ketiga masalah itu turut berdampingan dengan pragmatisme politik yang melahirkan oligarki, transaksi politik sesaat, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Negara dan Pemerintah Indonesia diingatkan agar benar-benar berdaulat, termasuk dari hegemoni politik oligarki.
Demikian sebagian isi pidato Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir di forum Gagas RI yang diselenggarakan KG Media di Menara Kompas, Jakarta, Senin (29/5/2023) malam. Dengan mengangkat judul ”Ekonomi, Keadilan, dan Kemanusiaan”, Haedar merefleksikan keadaan Bangsa Indonesia yang saat ini masih jauh dari nilai Pancasila, agama, dan nilai-nilai luhur bangsa.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Haedar kemudian mengajak pengunjung yang hadir untuk merenungkan kembali gagasan dan ide para pendiri bangsa. Haedar mengingatkan, Indonesia yang sudah berusia 77 tahun dan tiga bulan lagi akan berusia 78 tahun merdeka harus menjadi milik semua, bukan milik segelintir orang atau kelompok tertentu.
Di forum itu, Haedar hadir bersama tiga panelis sebagai penanggap, yakni ekonom senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Hendri Saparini, sosiolog organisasi dan pembangunan Meuthia Ganie, dan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta.
Indonesia sebagai milik semua, kata Haedar, sudah dinyatakan oleh pendiri bangsa bahwa Indonesia bukan negara oligarki yang dikuasai dan dikendalikan oleh salah satu golongan. Isi pidato Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 dengan tegas menolak Indonesia dimiliki oleh sekelompok kecil pihak. Negara untuk semua, bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, melainkan semua buat semua.
Namun, Haedar menilai, praktik politik Indonesia justru telah dikuasai oleh oligarki baik yang berbasis partai politik maupun kekuatan ekonomi. Menurut Haedar, politik liberal yang transaksional dan semata-mata berorientasi kekuasaan itu telah menjadikan kehidupan bangsa kehilangan jiwa, rasa, etika, dan kehormatan. Ia berharap, kontestasi politik agar tidak semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan.
”Sikap kenegarawanan sangat penting bagi tegaknya politik berkeadaban untuk membangun Indonesia yang telah dicita-citakan para pendiri bangsa. Namun, saat ini nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan Nusantara hanya menjadi narasi retorika yang diproduksi sekadar untuk membangun citra diri, minus aktualisasi yang berbanding lurus antara idelisme dan kenyataan,” kata Haedar.
Politik liberal yang transaksional dan semata-mata berorientasi kekuasaan itu telah menjadikan kehidupan bangsa kehilangan jiwa, rasa, etika, dan kehormatan. (Haedar Nashir)
Wujudkan keadilan
Menurut pandangan Haedar, pascareformasi kesenjangan sosial terus terjadi. Mayoritas rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan sementara ada sekelompok lainnya yang hidup berkecukupan dan berlebihan. Haedar mengatakan, bahwa satu persen penduduk Indonesia menguasai 55-70 persen aset negara. Ini menunjukkan keadilan sosial belum terwujud.
Merujuk data Badan Pusat Statistik pada September 2022, tingkat kemiskinan sebesar 9,57 persen, lebih tinggi dibandingkan pada Maret 2022 yakni 9,54 persen. Jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang atau naik 0,20 juta orang dibandingkan Maret 2022.
”Indonesia harus bebas dari kesenjangan ekonomi dan negara tidak boleh dikuasai oleh segelintir pihak. Negara harus benar-benar mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutur Haedar.
Kesenjangan ekonomi dan kemiskinan itu turut dibarengi dengan korupsi dan utang negara. Kasus korupsi, dari tahun ke tahun terus meningkat baik jumlah kasus, tersangka, maupun potensi kerugian negara. Sementara, usaha pemberantasan korupsi jauh dari harapan. Lembaga antirasuah, yakni KPK, dinilai lemah posisi dan langkahnya.
”Sementara masalah utang negara yang diperkirakan mencapai Rp 8.000 triliun ini juga penting untuk menjadi konsensus politik baru (kebijakan pemerintah pasca-Pemilu 2024) yang mengatur bagaimana mengurangi (utang negara) dan menyelesaikannya secara tepat serta transparan. Ini agar tidak jadi beban nasional berkepanjangan,” kata Haedar.
Dalam situasi demikian, Haedar mempertanyakan, masalah ekonomi dan masalah nasional lainnya itu apakah dapat diletakkan atau dipandang secara sektoral atau subsektor saja. Padahal, masalah itu kian mencekam leher para generasi muda di masa depan. Oleh karena itu, dibutuhkan cara pandang yang lebih komprehensif dan menyeluruh.
Dibutuhkan keberpihakan
Menanggapi pidato Haedar, Ekonom Senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Hendri Saparini, mengatakan, saat ini tingkat pendidikan rendah masyarakat masih mendominasi di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah dalam membangun konsep perekonomian hendaknya mengacu pada struktur masyarakat. Jika sebagian besar masyarakat masih tamatan sekolah dasar dan bertani, yang harus diutamakan yakni sektor pertanian.
Hendri berpandangan, kesenjangan sosial yang terjadi akibat kebijakan ekonomi sangat liberal sehingga sumber daya alam dikuasai oleh segelintir kelompok saja. Padahal, konstitusi telah mengamanatkan bahwa negara harus memastikan kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran pejabat negara atau penyelenggara negara.
”Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam tetapi hanya dimiliki segelintir orang. Seharusnya sumber daya alam itu dikuasai oleh negara karena berkewajiban untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat,” katanya.
Sementara itu, sosiolog organisasi dan pembangunan, Meuthia Ganie, menyampaikan, pemerintah perlu menyiapkan ekosistem agar masyarakat dapat membangun dirinya sendiri. Solusi yang ditawarkan pendekatan manajemen publik seperti memperbaiki kesehatan dan pendidikan, serta pendekatan resiko dalam pembangunan.
”Ada 40 persen penduduk Indonesia masuk dalam kerentanan atau kemiskinan berdasarkan Bank Dunia. Itu menunjukkan persoalan bangsa sudah dalam taraf yang berat. Penyelesaiannya tak bisa dilakukan hanya mengambil sisi sisi tertentu saja. Negara harus hadir mengambil peran besar,” tutur Meuthia.
Dari gagasan Bung Hatta yang dikenal Ekonomi Terpimpin artinya pemerintah harus bertindak serta dalam mencapai penghidupan sosial yang lebih baik itu juga harus berdasarkan keadilan.
Oleh karena itu, Haedar kembali mengingatkan, pemerintah wajib hadir membela kepentingan mayoritas rakyat yang tidak beruntung nasibnya itu untuk diberdayakan dan dimajukan kehidupan ekonominya. Dari gagasan Bung Hatta yang dikenal Ekonomi Terpimpin, kata Haedar, artinya pemerintah harus bertindak serta dalam mencapai penghidupan sosial yang lebih baik itu juga harus berdasarkan keadilan.
”Negara atau pemerintah harus hadir menegakkan keadilan sosial melalui kebijakan yang bersifat prorakyat. Kebijakan yang menyejahterakan dan memajukan rakyat agar mereka menjadi tuan di negerinya sendiri,” ujar Haedar.
Jika Indonesia mampu mengatasi kesenjangan sosial, kata Haedar, itu dapat menjadi modal terbesar memajukan kehidupan bangsa. Dengan demikian, sangat penting mewujudkan ekonomi berkeadilan sosial sesuai sila kelima Pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
”Yang terjadi justru sila lelima itu nasibnya paling telantar karena kesenjangan sosial dan ekonomi. Kita harus menemukan solusi yang adil dan menyeluruh agar dapat memecahkan masalah kesenjangan dan ketimpangan sosial di negeri ini,” katanya.