Penambahan Masa Jabatan Pimpinan KPK 5 Tahun Tunggu Putusan MK
Penambahan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun kini berada di tangan sembilan hakim konstitusi untuk memutuskannya.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 menyapa para jurnalis sebelum membacakan sumpah jabatan dengan disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Kelima pemimpin KPK yang dipilih pemerintah bersama DPR itu adalah (dari kiri ke kanan) Firli Bahuri, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Alexander Marwata. Dalam sumpah jabatan, mereka berjanji menjaga independensi, menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga. Mereka berjanji akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang yang diamanatkan Undang-Undang.
JAKARTA, KOMPAS — Masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 selama empat tahun saat ini tengah dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi. Penambahan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun kini berada di tangan sembilan hakim konstitusi untuk memutuskannya.
”Saat ini, kami sedang menunggu pembacaan keputusan. Kami tidak tahu kapan putusan akan dibacakan, masih menunggu jadwal dari kepaniteraan MK,” kata Nurul Ghufron, Selasa (16/5/2023).
Nurul Ghufron mempersoalkan dua pasal di dalam UU KPK, yaitu Pasal 29 Huruf e yang mengatur tentang syarat minimal untuk menjadi pimpinan KPK, yaitu 50 tahun dan Pasal 34 yang mengatur masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun, ke MK. Terkait dengan usia minimal untuk mengikuti proses seleksi pimpinan KPK, pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) mengubahnya pada saat merevisi UU KPK tahun 2019. Semula usia minimal calon pimpinan KPK adalah 40 tahun.
Menurut Nurul Ghufron, pihaknya meminta keadilan seperti yang dijamin Pasal 27 dan 28D UUD 1945 agar masa jabatan pimpinan KPK disamakan dengan 12 lembaga nonkementerian lainnya. Seperti diketahui, pimpinan lembaga-lembaga nonkementerian, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman RI, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu, memiliki masa jabatan lima tahun. Dengan demikian, pengaturan masa jabatan yang berbeda untuk pimpinan KPK tersebut bagi Ghufron melanggar prinsip keadilan.
”Saat ini, kami sedang menunggu pembacaan keputusan. Kami tidak tahu kapan putusan akan dibacakan, masih menunggu jadwal dari Kepaniteraan MK. ”
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Wakil Ketua Nurul Ghufron saat memberikan keterangan kepada wartawan terkait peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (09/12/2021).
Selain itu, menurut Ghufron, masa jabatan empat tahun juga tidak sinkron dengan pengaturan di dalam UU No 25/2024 terkait Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) lima tahunan dan juga Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJN) 25 tahun. Ketidaksinkronan tersebut mengandung konsekuensi pada perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan di bidang pemberantasan korupsi.
Adapun aturan mengenai batas usia minimal calon pimpinan KPK yang dinaikkan menjadi 50 tahun oleh pemerintah dan DPR juga dinilainya inkonstitusional. Sebab, perubahan ketentuan di dalam UU No 19/2019 (yang diubah dari UU No 30/2002) itu membuat dirinya yang sudah secara administratif dinyatakan dewasa/cakap menduduki jabatan pimpinan KPK pada seleksi periode lalu menjadi tidak dapat mengikuti seleksi akibat ketentuan UU yang membuatnya menjadi tidak dewasa/cakap untuk menjadi pimpinan KPK.
”Maka tidak logis dan bertentangan dengan hukum jika orang yang telah dinyatakan dewasa pada waktu lalu, maka selanjutnya iya harus dinyatakan tetap dewasa kecuali ada perubahan signifikan misalnya gila dan lain-lain. ”
”Maka, tidak logis dan bertentangan dengan hukum jika orang yang telah dinyatakan dewasa pada waktu lalu, maka selanjutnya iya harus dinyatakan tetap dewasa kecuali ada perubahan signifikan misalnya gila dan lain-lain,” ujarnya.
Sejauh ini MK telah menggelar tujuh kali sidang untuk memeriksa perkara yang teregister dengan nomor 112/PUU-XX/2022 tersebut. Keterangan dari berbagai pihak, termasuk DPR, pemerintah, KPK, dan pengamat, telah didengarkan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020). Saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. RUU tersebut merupakan revisi terhadap UU MK. Salah satu hal yang banyak mendapat sorotan dalam RUU MK, yaitu soal perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun atau maksimal pensiun pada usia 70 tahun.
”Open legal policy”
Anggota Komisi III DPR, Supriansa, mengungkapkan, pengaturan mengenai batas usia minimal ataupun maksimal calon pimpinan KPK dan masa jabatan merupakan kebijakan hukum yang terbuka atau open legal policy yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang untuk mengaturnya. Perubahan pengaturan usia minimal pada UU No 30/2002 dengan UU No 19/2019 dilakukan pembentuk undang-undang dengan mempertimbangkan aspek dan kondisi pada saat undang-undang tersebut dibentuk.
”Pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan lembaga nonkementerian lain bersifat diskriminatif. Sebab, sesuatu pengaturan dinyatakan diskriminatif jika ada pembatasan atau pengecualian yang didasarkan pada perbedaan agama, ras, golongan, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. ”
Ia juga membantah bahwa pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan lembaga nonkementerian lain bersifat diskriminatif. Sebab, sesuatu pengaturan dinyatakan diskriminatif jika ada pembatasan atau pengecualian yang didasarkan pada perbedaan agama, ras, golongan, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.
DPR pun tak sependapat jika perbedaan pengaturan masa jabatan tersebut disebut akan menimbulkan permasalahan hukum terkait status, kedudukan, dan derajat lembaga KPK dalam struktur kelembagaan di Indonesia. Menurut Supriansa, status, kedudukan, dan derajat suatu lembaga lebih ditentukan oleh kriteria hierarki (yakni sumber normatif yang menentukan kewenangannya) dan kualitas fungsi lembaga yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Status, kedudukan, dan derajat suatu lembaga tidak ditentukan batasan masa jabatan ataupun usia pimpinan lembaganya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi selaku wakil pemerintah mengungkapkan, pengaturan syarat usia terendah ataupun tertinggi bukan masalah konstitusionalisme. Persoalan tersebut terkait dengan pilihan kebijakan yang dapat diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk UU. Pengubahannya tentu berdasarkan kebutuhan hukum atau kebutuhan masyarakat atau hal-hal yang memang perlu diatur dalam syarat usia menjadi pimpinan KPK.
Terkait masa jabatan, pemerintah beranggapan bahwa masa jabatan pimpinan KPK memang tidak dapat disamakan dengan lembaga-lembaga lain. Pembentuk undang-undang memiliki alasan yang berbeda dalam menentukan masa jabatan antara satu lembaga dan lembaga lain.
Tak hanya pemerintah dan DPR yang memberikan keterangan dalam persoalan batas minimal usia calon pimpinan KPK dan masa jabatan pimpinan lembaga antirasuah tersebut. KPK sendiri melalui Kepala Biro Hukumnya Ahmad Burhanuddin mengatakan, pengaturan dua hal tersebut merupakan kebijakan hukum yang terbuka dari DPR dan pemerintah. KPK menyerahkannya kepada pembentuk UU untuk mengatur persoalan itu dan kepada MK untuk memutuskan perkara pengujian itu.
”Dan KPK dipimpin pimpinan secara kolektif kolegial yang secara kelembagaan tidak memiliki kewenangan menentukan syarat usia dan masa jabatan pimpinan KPK,” ungkapnya.