Sejumlah politisi mencalonkan diri sebagai anggota DPR di Pemilu 2024 melalui partai politik yang berbeda dari partai politik asalnya. Fenomena ini diakui terjadi oleh sejumlah pimpinan partai politik.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena politisi lompat atau berpindah partai politik yang mewarnai pemilu terdahulu masih terjadi di Pemilu 2024. Sejumlah tokoh senior partai politik mencalonkan diri dari partai politik berbeda. Fenomena ini dikritisi peneliti politik yang menilai hal ini menunjukkan pragmatisme partai politik dan tidak baik bagi politik representasi.
Perpindahan kader partai politik (parpol) terlihat selama pendaftaran bakal calon anggota legislatif (caleg) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepekan terakhir. Sejumlah politisi tercatat meninggalkan partai asalnya untuk mencalonkan diri dari partai lain.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Misalnya, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Eva Sundari, yang didaftarkan sebagai caleg dari Partai Nasdem. Eva merupakan politisi dan akademisi yang pernah menjadi anggota DPR terpilih dari PDI-P pada periode 2004-2009 dan 2009-2014. ”Benar, Eva Sundari maju dari Nasdem,” kata Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya seusai mendaftarkan bakal caleg DPR dari Nasdem di Kantor KPU, Jakarta, Kamis (11/5/2023).
Kemarin, empat partai mendaftarkan caleg ke KPU. Selain Nasdem, juga ada PDI-P, Partai Garuda, dan Partai Ummat.
Willy membenarkan, Eva bukan satu-satunya kader parpol lain yang pindah jadi bakal caleg dari Nasdem. Masih ada sejumlah tokoh yang tidak ia sebutkan namanya. Namun, dibandingkan Pemilu 2019, jumlahnya diklaim lebih sedikit. ”Ini momentum Nasdem tidak banyak lagi (menerima) transferan. Kami sudah mulai solid, tidak lebih dari 10 orang yang pindah ke Nasdem,” katanya.
Menurutnya, setelah dua kali mengikuti pemilu, sistem pengkaderan Nasdem sudah semakin matang. Para kader disiapkan untuk menjadi bacaleg yang benar-benar bisa memproduksi legislasi yang berkualitas saat terpilih nanti. Selain itu, sikap Nasdem untuk mendukung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden juga dinilai berpengaruh dalam meningkatkan antusiasme publik untuk menjadi bacaleg dari partai tersebut.
”Kita lebih banyak proses kualitatif, (ibarat klub sepak bola) kita (saat ini) lebih seperti Barcelona, bukan Paris Saint German atau Manchester City, La Masia-nya sudah matang,” klaim Willy.
Merujuk studi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pada Pemilu 2019 terdapat 31 anggota DPR yang memutuskan pindah parpol. Sebanyak 20 orang di antaranya pindah ke Partai Nasdem. Adapun sebelas lainnya tersebar ke Golkar, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Berkarya.
Saat itu, beberapa anggota DPR mengakui didekati elite Nasdem untuk menjadi caleg Nasdem di Pemilu 2019. Bahkan, sempat berembus kabar ada biaya tertentu yang diberikan kepada anggota DPR yang bersedia pindah. Hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa pembajakan anggota DPR dari parpol lain merupakan strategi untuk mendulang suara dan kursi di pemilu. Namun, hal itu dibantah oleh Willy (Kompas, 19/7/2018).
Selain Nasdem, jelang Pemilu 2024 perpindahan kader parpol juga terjadi di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuziy mengakui, ada sejumlah kader senior dari partai-partai parlemen yang bergabung menjadi bacaleg PPP. Namun ia tak menyebutkan nama dan parpol asal sejumlah tokoh dimaksud. “Kami juga menerima 106 kader dari Partai Hanura yang diserahkan oleh Pak Wiranto (mantan Ketua Umum Partai Hanura),” ujarnya.
Namun, tak hanya di partai parlemen, perpindahan juga terjadi pada partai nonparlemen. Wakil Ketua Umum Partai Ummat Nazaruddin mengatakan, pihaknya menerima sejumlah politisi, bahkan petahana anggota legislatif dari partai parlemen yang maju sebagai caleg dari Ummat. Sebagai parpol yang didirikan oleh sejumlah tokoh mantan petinggi PAN, Ummat menerima politisi yang semula berasal dari PAN. Salah satunya adalah anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta dari Fraksi PAN, Hanum Salsabiela Rais.
”Hanum Salsabiela Rais maju sebagai caleg DPR RI dari Partai Ummat untuk Dapil (daerah pemilihan) DIY. Di Jawa Barat juga ada beberapa yang menjadi caleg DPR kami, salah satunya mantan Bendahara Umum DPD (Dewan Perwakilan Daerah) Gerindra Jawa Barat,” ujar Nazaruddin.
Pragmatisme
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah melihat bahwa pembajakan kader parpol jelang pemilu menunjukkan adanya pragmatisme parpol yang hanya berorientasi pada pemenangan pemilu. Demi kemenangan, parpol merekrut sosok-sosok yang memiliki potensi kemenangan paling besar, sekalipun itu berasal dari parpol lain.
Hurriyah menambahkan, pragmatisme itu juga memperlihatkan lemahnya rekrutmen kader parpol secara ideologis. Akibatnya, para politisi juga menjelma sebagai sosok yang pragmatis. Alih-alih memperjuangkan ideologi partai, mereka justru berpindah-pindah untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. ”Jadi, pragmatisme itu bukan hanya di parpol, melainkan juga para politisinya. Ketika para politisi merasa tidak mendapatkan insentif yang sesuai, mereka akan mudah saja berpindah parpol,” kata dia.
Oleh karena itu, menurut Hurriyah, ke depan diperlukan penguatan kelembagaan, sistem rekrutmen, dan juga kaderisasi partai. Penguatan kelembagaan itu bisa jadi kunci menyelesaikan persoalan berulang parpol, yakni kesulitan mencari caleg yang berimbas pada sejumlah upaya seperti membajak kader parpol lain.
”Tanpa perbaikan itu, kita hanya punya parpol sebagai syarat demokrasi tetapi kita tak akan pernah punya representasi. Parpol itu kan esensinya representasi masyarakat, nilai, kelompok, ideologi. Hari ini parpol tidak melakukan itu, hanya menghadirkan orang-orang yang bisa mendapatkan suara untuk menduduki kursi DPR atau DPRD,” ujarnya.