Satgas TPPU Terbentuk dan Segera Bekerja Usut Transaksi Janggal Rp 349 Triliun
Satgas Tindak Pidana Pencucian Uang sudah dibentuk dengan melibatkan pihak eksternal. Satgas diberi waktu bekerja hingga 31 Desember 2023 untuk menuntaskan 300 laporan PPATK.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Supervisi dan Evaluasi Penanganan Laporan Hasil Analisis, Laporan Hasil Pemeriksaan, dan Informasi Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang atau Satgas TPPU dibentuk, Rabu (3/5/2023). Tim tidak hanya terdiri dari pihak internal pemerintah dan aparat penegak hukum, tetapi juga unsur eksternal sebagai tenaga ahli. Keberadaan unsur masyarakat sipil sebagai tim eksternal itu diharapkan dapat memperkuat mekanisme checks and balances.
Pembentukan Satgas TPPU itu menggunakan dasar hukum Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Nomor 49 Tahun 2023 tentang Satgas TPPU. Menko Polhukam Mahfud MD dalam keterangan kepada wartawan, Rabu, mengungkapkan, pembentukan Satgas TPPU sesuai dengan keputusan hasil rapat Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Komite TPPU) pada 10 April lalu. Hasil rapat itu, lanjutnya, juga sudah disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi III DPR pada tanggal 11 April 2023.
”Maka, pemerintah membentuk Satgas TPPU yang terdiri atas tim pengarah, tim pelaksana, dan kelompok kerja,” ujarnya.
Tim pengarah terdiri atas tiga orang yang masuk dalam pimpinan Komite TPPU, yaitu Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.
Tim pelaksana diketuai oleh Deputi III Bidang Hukum dan HAM Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo. Wakil ketua berasal dari Deputi Bidang Koordinasi Masyarakat dan Ketertiban Masyarakat Kemenko Polhukam dan sekretaris dari Direktur Analisis dan Pemeriksaan I PPATK.
Adapun anggota tim pelaksana terdiri dari unsur internal pemerintah yaitu Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu, Inspektur Jenderal Kemenkeu, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Deputi Bidang Kontra Intelijen Badan Intelijen Negara (BIN), serta Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK.
Tugas utama Satgas TPPU adalah menangani 200 laporan hasil analisis (LHA), laporan pemeriksaan, serta informasi dan dokumen yang diterima dan ditangani oleh Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak, dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu. Selain itu, juga ada 100 laporan hasil analisis, laporan hasil pemeriksaan, dan informasi serta dokumen terkait yang diterima dan ditangani oleh Kepolisian Negara RI, Kejagung, dan lembaga lain yang telah disampaikan PPATK.
Mahfud juga sempat menyinggung banyaknya pertanyaan dari anggota DPR terkait masuknya Kemenkeu dalam struktur organisasi satgas itu. Keberadaan Kemenkeu dikhawatirkan bisa membuat supervisi penanganan transaksi janggal yang terkait dengan kewenangan mereka menjadi bias dan rawan konflik kepentingan. Namun, menurut Mahfud, secara hukum penyidik masalah perpajakan dan bea cukai memang Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.
”Jadi, (mereka) tidak bisa dikeluarkan. Karena dia nanti yang akan menindaklanjuti dan memiliki kewenangan proyustisia,” ujarnya.
Di luar tim internal pemerintah, Mahfud juga menggandeng masyarakat sipil yang masuk sebagai tenaga ahli di bidang tindak pidana pencucian uang, korupsi, perekonomian, kepabeanan, cukai, dan perpajakan. Tenaga ahli yang tergabung dalam kelompok kerja Satgas TPPU itu terdiri atas 12 orang dan akan ikut menangani dugaan TPPU. Mereka tidak akan masuk kasus per kasus, tetapi hanya akan memberikan masukan pada masalah yang menjadi perhatian utama.
Mereka, di antaranya, adalah dua mantan kepala PPATK, Yunus Husein dan Muhammad Yusuf; pengajar Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo; pengajar UGM, Wuri Handayani; mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Laode M Syarif dan Gunadi; Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko; ekonom Faisal Basri; Meuthia Gani Rochman; Mas Achmad Santosa; dan Ningrum Natasya Sirait.
Satgas diberi waktu bekerja hingga 31 Desember 2023 untuk menuntaskan 300 laporan PPATK. Jika belum selesai, terbuka kemungkinan SK akan diperpanjang.
Dilibatkan langsung
Laode M Syarif, salah seorang figur eksternal yang masuk sebagai tenaga ahli Satgas TPPU, berharap tim pokja dilibatkan dalam gelar perkara pengusutan kasus. Berdasarkan pengalamannya saat menjadi komisioner KPK, tak sulit untuk menindaklanjuti laporan PPATK. Ada LHA yang kerap disebut oleh aparat penegak hukum sebagai low hanging fruit atau laporan yang mudah untuk ditindaklanjuti.
”Ada LHA yang sulit ditindaklanjuti karena transaksinya sampai ke luar negeri, tetapi ada juga yang gampang. Menurut saya, tim harus fokus pada low hanging fruit itu tadi. Buah-buah yang mudah dipetik dan pembuktiannya gampang,” katanya.
Dia juga berharap Satgas TPPU bisa bekerja secara terbuka sehingga satgas bisa bekerja dengan cepat untuk mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan aparat penegak hukum. Selain itu, harapannya unsur eksternal dari masyarakat diberi kewenangan yang cukup untuk ikut terlibat, misalnya untuk menghadiri gelar perkara dugaan TPPU. Dengan begitu, pokja bisa memberikan masukan langsung terhadap investigasi yang sedang berlangsung. Dia mengusulkan agar ada evaluasi rutin kinerja satgas setiap dua pekan sekali sehingga target dan parameter yang akan dicapai lebih terukur.
”Selain itu, yang terpenting harus ada komitmen sungguh-sungguh dari semua pihak baik yang ada dugaan transaksi janggal atau aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini. Dukungan Presiden penting agar ada satu komando perintah yang sama untuk menyelesaikan transaksi janggal tersebut. Jangan sampai ada perintah berbeda,” tuturnya.
Sebelumnya, mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, juga mengapresiasi masuknya nama-nama unsur masyarakat sipil dengan figur berintegritas dalam komposisi satgas. Menurut dia, selain bisa meningkatkan kepercayaan publik, keberadaan masyarakat sipil juga bisa menjadi mekanisme checks and balances bagi kinerja dari unsur internal pemerintah.
”Selain mengusut tuntas transaksi janggal Rp 349 triliun, pemerintah, kan, juga harus mengembalikan kepercayaan publik. Jadi, sudah tepat jika yang dipilih adalah sosok-sosok yang berintegritas dan mewakili unsur masyarakat sipil,” katanya.