Penjualan Senjata oleh Oknum TNI di Papua Meningkat Drastis
Panglima TNI Yudo Margono meminta agar oknum TNI yang menjual senjata, apalagi kepada musuh, harus dijerat dengan pasal pidana berlapis, dengan ancaman hukuman maksimal. Ini penting untuk melahirkan efek jera.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah oknum TNI yang menjual senjata api dan amunisi di Papua meningkat dari 1 kasus pada 2021 menjadi 27 kasus selama 2022. Para pelaku penyalahgunaan senjata api dan amunisi harus mendapat hukuman setimpal karena menjadi pengkhianat bangsa.
Hal tersebut disampaikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono saat memberikan pengarahan kepada aparat penegak hukum di lingkungan TNI, bertempat di Aula Gatot Subroto Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (3/5/2023). ”Prajurit sejati tidak akan menangis karena kematian, tapi dia hanya menderita melihat pengkhianatan dan ketidaksetiaan,” katanya tegas.
Yudo mengingatkan, prajurit TNI telah bersumpah mengabdi untuk negeri, berjuang demi NKRI, dan bersumpah setia kepada Pancasila. Namun, Yudo menyoroti perkembangan belakangan di TNI di mana jumlah pelanggaran hukum terus meningkat. Ia menyoroti khususnya jumlah perkara penyalahgunaan senjata api dan amunisi. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, ada peningkatan drastis hingga pada tahun 2022 ada 45 perkara penyalahgunaan senjata api dan amunisi.
Penyalahgunaan terbesar ada di Kodam XVII/Cendrawasih di Papua. Jumlahnya mencapai 27 perkara atau meningkat dari setahun sebelumnya hanya satu perkara. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi, penjualan senjata kepada musuh ini terjadi di daerah rawan.
”Secara tidak langsung telah membunuh kawannya sendiri dan rakyat. Harus diberikan hukuman yang setimpal bagi anggota TNI karena telah menjadi seorang pengkhianat bangsa,” kata Yudo.
Belajar dari banyaknya kasus penyalahgunaan senjata api dan amunisi, TNI perlu mengevaluasi. Masih adanya disparitas atau perbedaan hukuman terhadap pelaku penyalahgunaan amunisi, khususnya yang terjadi di daerah operasi, hal ini berdampak pada tidak adanya efek jera akibat hukuman yang relatif ringan.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021 tentang penjualan senjata atau amunisi kepada musuh, disebutkan prajurit TNI yang menjual senjata api atau amunisi kepada pihak musuh dianggap sebagai pengkhianat militer. Ia patut diduga berhubungan dengan musuh sehingga dapat dijerat dengan Pasal 64 Ayat 1 KUHP sebagai pengkhianat militer dan diancam hukuman mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun.
”Pegang teguh rahasia jabatan, hindari laporan kegiatan disebarluaskan melalui social media. Khusus bagi pelaku penjual senpi dan amunisi agar dijerat dengan pasal pidana berlapis dengan ancaman hukuman maksimal berupa hukuman mati untuk memberikan efek jera dan laksanakan koordinasi dan komunikasi dengan baik kepada sesama aparat penegak hukum lainnya,” tegasnya.
Di akhir pengarahan, Panglima TNI memberikan penekanan untuk deteksi dan cegah dini, terlebih lagi terkait dengan penyalahgunaan senjata api dan amunisi. Ia meminta para penegak hukum di internal TNI mengembangkan teknik dan mekanisme pre-emptive serta jangan pasif dan menjadi pemadam kebakaran semata.
”Tindak lanjuti cepat dan tepat terhadap kasus-kasus menonjol. Jangan menunggu viral baru diproses. Aparat gakkum jika melanggar harus mendapat sanksi yang lebih berat. Tingkatkan komunikasi dan koordinasi antara aparat,” kata Yudo.
Secara terpisah, Ambrosius Marimbut dari Lembaga Swadaya Masyarakat Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka) meminta agar ada evaluasi komprehensif pada operasi militer di Papua. Menurut dia, semakin banyak operasi militer dilakukan di Papua justru semakin tinggi tingkat kekerasan yang terjadi. Kekerasan itu tidak hanya terjadi antara aparat TNI/Polri dan Tentara Nasional Pembebasan Papua (TNPP), tetapi juga dilakukan TNI/Polri dan TNPP masing-masing terhadap rakyat sipil.
”Yang terbaru, ada ibu korban penembakan, saat mau dibawa aparat ke rumah sakit, tapi disergap OPM. Beberapa hari kemudian ibu itu ditemukan tanpa kepala dan telanjang,” kata Ambrosius.
Ia juga mempertanyakan pengiriman militer nonorganik yang dilakukan TNI saat ini karena operasi tersebut ilegal. Alasannya, sesuai dengan UU TNI, operasi militer dilakukan berdasarkan keputusan politik negara dan harus mendapat persetujuan dari DPR. Ada banyak satgas yang dibuat TNI, tetapi orang Papua malah tambah banyak yang tewas. Kalau memang KKB dianggap sebagai kriminal, seharusnya Polri saja yang dikirim.
”Apakah pernah ada persetujuan dari DPR soal operasi militer di Papua. Selama ini, kan, tidak. Ini berarti DPR tidak melakukan tugasnya,” katanya.
Dalam diskusi publik bertajuk ”Laporan Pelanggaran HAM dan Situasi Keamanan di Tanah Papua” yang digelar Pusaka, Rabu, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, Komnas HAM menjadikan Papua sebagai isu prioritas. Selain karena persoalan di Papua yang sangat kompleks, juga karena konflik yang tak kunjung berhenti dan banyaknya pengungsi.