Kuasa Hukum Sebut Dakwaan atas Fatia-Haris Cacat Formil
Kuasa hukum Fatia dan Haris menyebut dakwaan terhadap keduanya cacat formil sehingga memohon majelis hakim menyatakan surat dakwaan batal demi hukum.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim kuasa hukum terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menyebut dakwaan atas kasus pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan merupakan tindakan hukum melawan partisipasi publik. Mediasi disebut tidak pernah terjadi antara Fatia, Haris, dan Luhut, sehingga dakwaan dinilai cacat formil.
Hal ini terungkap dalam sidang dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan dari tim Haris Azhar selaku Direktur Lokataru dan Fatia Maulidiyanti selaku Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, yang berlangsung terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (17/4/2023).
Sidang dipimpin hakim ketua Cokorda Gede Arthana didampingi Muhammad Djohar Arifin dan Agam Syarief Baharudin selaku hakim anggota, serta dihadiri jaksa penuntut umum (JPU) dan tim kuasa hukum Fatia dan Haris dengan menghadirkan Haris terlebih dahulu.
Sebelumnya, Fatia dan Haris didakwa atas dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan lewat konten Youtube Haris yang berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! Ngehantam”.
Saat sidang dakwaan, jaksa mengatakan, Luhut sakit hati sebab nama baik dan kehormatannya diserang. Fatia dan Haris didakwa melanggar, pertama, Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau, kedua, Pasal 14 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 310 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP (Kompas.id, 3/4/2023).
Saat hakim memasuki ruang sidang, aktivis sejumlah organisasi masyarakat sipil serta pendukung Fatia dan Haris menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” sambil berdiri. Selama sidang berlangsung, mereka juga bersorak dan bertepuk tangan saat tim kuasa hukum membacakan eksepsi. Sambil membawa poster merah bertuliskan pelindungan terhadap pembela hak asasi manusia (HAM), mereka menyerukan dukungan terhadap kedua terdakwa.
Dalam eksepsinya, kuasa hukum Haris Azhar, Alghiffari Aqsa, menilai surat dakwaan JPU cacat formil karena sarat akan pelanggaran prosedur hukum saat pelaksanaan penyidikan dan penuntutan. Adapun kuasa hukum menyebut tidak pernah terjadi mediasi antara Fatia, Haris, dan Luhut. Namun, tim Fatia dan Haris menilai penyelidik dan penyidik kasus ini memutuskan secara sepihak bahwa mediasi telah gagal terlaksana.
Dalam eksepsi disebutkan, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri) Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo melalui Surat Edaran (SE) No SE/2/11/2021 pada huruf e menginstruksikan agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak, terutama korban, dan memfasilitasi serta memberikan ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk mediasi.
Penyidik pernah mengirim surat permintaan mediasi kepada terdakwa Fatia dan Haris melalui surat Nomor B/2579/X/RES.2.5./2021/Ditreskrimsus dan B/2580/X/RES.2.5./2021/Ditreskrimsus. Namun, setelah Fatia dan Haris menghadiri mediasi, pihak pelapor Luhut tidak hadir.
Pada 28 dan 29 Oktober 2021, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya kembali mengirim surat permintaan mediasi kepada terdakwa Fatia dan Haris. Namun, pelapor Luhut kembali tidak hadir dengan alasan pekerjaan.
Kemudian, pada 15 November 2021, acara mediasi kembali digelar dan dihadiri Luhut. Namun, terdakwa Fatia dan Haris berhalangan hadir. Pada hari yang sama, pihak Luhut, bersama penyelidik dan penyidik, secara sepihak menyatakan mediasi telah gagal terlaksana, padahal mediasi tidak satu kali pun pernah terlaksana.
”Penuntutan dan dakwaan terhadap terdakwa Haris Azhar merupakan bagian dari tindakan pelecehan terhadap lembaga yudisial. Selain itu, merupakan bagian dari strategic lawsuit against public participation (SLAPP) yang berarti tindakan hukum melawan partisipasi publik yang bertentangan pula dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” tambah Alghiffari.
Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum Fatia dan Haris juga menyebut, surat dakwaan tersebut prematur lantaran Luhut tidak pernah diperiksa dalam tahap penyelidikan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya sehingga tidak sesuai prosedur, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 6 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Lebih lanjut, surat dakwaan itu dinilai mengada-ada serta dibuat dengan itikad tidak baik. Tim kuasa hukum menilai dakwaan telah dibuat secara licik karena tidak berdasar atau malicious prosecution. Oleh karena itu, tim kuasa hukum Fatia ataupun Haris meminta hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pertama, menerima nota keberatan atau eksepsi dari penasihat hukum terdakwa. Kedua, menyatakan surat dakwaan JPU tidak memenuhi ketentuan syarat formil.
Ketiga, menyatakan surat dakwaan JPU tidak dapat dilanjutkan sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, mengenai perkara dugaan tindak pidana korupsi atas nama terlapor Luhut Binsar Pandjaitan.
Keempat, menyatakan surat dakwaan batal demi hukum. Kelima, menyatakan proses pemeriksaan perkara terhadap diri terdakwa ditunda hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap mengenai perkara dugaan tindak pidana korupsi atas nama terlapor Luhut Binsar Pandjaitan.
Keenam, menolak surat dakwaan penuntut umum atas terdakwa. Ketujuh, membebaskan terdakwa dari segala dakwaan. Kedelapan, memulihkan kemampuan, nama baik, harkat, dan martabat terdakwa ke dalam kedudukan semula. Kesembilan, membebankan semua ongkos atau biaya perkara kepada negara.