Sunaryati Hartono, Pemikir Pembangunan Hukum Nasional Itu Berpulang
Semasa hidupnya, Sunaryati Hartono menyumbangkan banyak karya dan pemikiran mengenai pembangunan negara hukum Indonesia.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
Negeri ini kehilangan salah satu pemikir tentang pembangunan hukum nasional yang penting dan banyak berkontribusi bagi pembangunan hukum di Indonesia. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Sunaryati Hartono-Sunario berpulang di usianya ke-91 pada awal pekan ini, tepatnya Senin (3/4/2023) pukul 17.07, di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang, Banten.
Perempuan kelahiran Medan, Sumatera Utara, 7 Juni 1931, telah menyumbangkan banyak karya dan pemikiran sejak mengabdikan hidupnya di bidang hukum sejak 1968. Karyanya bertebaran dan menjadi referensi hukum bagi para mahasiswa, praktisi, dan akademisi.
Tidak hanya sebagai akademisi, Sunaryati juga merupakan seorang pernah menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (1989-1996) dan Wakil Ketua Ombudsman Nasional pada 20 Maret 2000, masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, Sunaryati juga menjadi pengacara Landraad dan Hoog Gerechtshof di Makassar, Sulawesi Selatan.
Beliau salah satu tokoh terbaik di bidang hukum dan pembangunan. Kita kehilangan tokoh hukum nasional yang banyak sekali sumbangan pikirannya untuk pembangunan negara hukum Indonesia.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, pada zaman kepemimpinan Sunaryati, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menjadi tempat para sarjana untuk berkontribusi dalam pembangunan hukum nasional. ”Beliau salah satu tokoh terbaik di bidang hukum dan pembangunan. Kita kehilangan tokoh hukum nasional yang banyak sekali sumbangan pikirannya untuk pembangunan negara hukum Indonesia,” ujar Jimly, Rabu (5/4/2023).
Jimly masih ingat, semasa kepemimpinan Sunaryati, para ahli hukum bangga apabila diundang hadir di BPHN. ”Apalagi jadi pembicara di BPHN. Prestisius. Namun, sekarang agak tenggelam karena ada Baleg (Badan Legislasi) di DPR dan fungsi perancangan di DPR,” ungkap Jimly.
Adapun beberapa karya yang menjadi hasil pemikiran Sunaryati yang diterbitkan dalam bentuk buku, antara lain Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia; Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20; Bhinneka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan Hukum Nasional; Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional; Politik Hukum Menuju Pembangunan Ekonomi; dan Peranan Peradilan dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional.
Sunaryati juga beberapa kali menulis di berbagai media, termasuk Kompas. Buah pemikirannya yang kritis juga sering kali disampaikan kepada media dalam bentuk wawancara sehingga mewarnai perdebatan hukum di negeri ini. Beberapa pemikiran kritis Sunaryati terekam dalam sejumlah berita Kompas.
Misalnya ketika sudah tidak menjabat lagi sebagai Kepala BPHN, Sunaryati menyarankan agar lembaga tersebut ditingkatkan menjadi lembaga independen atau lembaga negara agar lebih kuat. Apabila masih tetap di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Sunaryati bahkan menyarankan agar BPHN ditutup saja karena tak memiliki kekuatan.
Pendapatnya itu disampaikan saat Sunaryati diwawancarai wartawan pada 7 September 2004 di sela-sela dialog nasional yang diselenggarakan BPHN. Menurut Sunaryati ketika itu, posisi BPHN di bawah kementerian membuat lembaga tersebut kurang dihargai. Ide BPHN sering kali tak digubris oleh instansi lain.
”Dengan posisi sekarang orang mengeluh, BPHN makin lama makin menurun. Kalau makin menurun, ya tutup saja. Buat penelitian tidak digubris, buat RUU tidak digubris orang, lalu ngapain. Cuma bikin seminar aja, orang lain juga bisa,” tutur Sunaryati ketika itu (Kompas, 9/9/2004).
Pandangannya tentang bagaimana situasi hukum di Indonesia satu dekade lalu juga terekam dalam pidatonya saat koleganya yang juga mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan meluncurkan buku pada 16 April 2010. Saat itu, Sunaryati menyampaikan unek-uneknya mengenai sistem hukum yang ada di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa sistem hukum di Indonesia sedang macet parah. Sebab, seluruh komponen dalam sistem tersebut mengalami gangguan dan tidak berjalan dengan semestinya.
Sunaryati mengibaratkan apa yang terjadi dalam sistem hukum di Indonesia dengan sebuah mobil Jaguar yang tidak diisi dengan bahan bakar super, tetapi justru diisi solar atau minyak tanah. Alhasil, mobil tersebut tidak akan berjalan mulus hanya karena salah satu unsurnya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, mobil Jaguar tersebut akan rusak total dan menjadi barang rongsokan.
Menurut Sunaryati, hampir semua komponen dalam sistem penegakan hukum ketika itu tak berjalan semestinya. Komponen yang dimaksud mencakup anggaran kegiatan hukum, rencana pengembangan pembinaan hukum, kesadaran hukum, tingkat dan mutu lembaga pendidikan hukum, sumber daya manusia, sarana dan prasarana hukum, serta lembaga penegak hukum. Hanya pendekatan sistemik dan pemeriksaan yang hati-hati serta pendekatan futurologis yang dapat menyelesaikan kemacetan tersebut.