Mengupas Teknologi dalam Bingkai Kemanusiaan
Pada zaman yang serba teknologi, manusia perlu tanggap, menyesuaikan diri dan memahami dampak teknologi bagi peradaban dan budaya manusia.
Kemajuan teknologi menunjukkan tingkat peradaban manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Namun, betapapun menimbulkan decak kagum, teknologi jangan sampai dilepaskan dari pijak kemanusiaannya.
Dalam pidatonya, astronom sekaligus filosof, Karlina Supelli, merefleksikan tema ”Teknologi, Peradaban dan Kemanusiaan”, dalam forum Gagas RI yang diselenggarakan KG Media, Senin (20/3/2023) malam.
Karlina mengajak penonton untuk mencecap kisah, mitos, dan menyelami pemikiran para tokoh besar dari berbagai zaman, termasuk kebijaksanaan masyarakat Sunda, untuk kemudian menukik ke dalam untuk menimbang nilai-nilai kemanusiaan di tengah kemajuan teknologi.
Masuk melalui renungan Walter Benjamin, seorang pemikir Jerman, tentang ironi kemajuan dan puisi Sutan Takdir Alisjahbana, Karlina memperlihatkan cara pandang universal dan obyektif sebagai perlambang ilmu dan teknologi. Karlina juga menuturkan kisah keramat di Tanah Sunda berjudul Lutung Kasarung tentang asal usul budaya berladang.
Senada dengan itu, dalam mitologi Sumeria, terdapat Dewa Enki yang memberikan kebijaksanaan kepada Dewi Inanna. Demikian pula mitologi Yunani tentang Prometheus yang dihukum karena mencuri api dari Kuil Zeus dan memberikannya kepada manusia.
Kisah-kisah tersebut, menurut Karlina, memperlihatkan upaya manusia mempelajari pengetahuan yang menghasilkan teknologi sehingga peradaban berkembang. Namun, berbeda dengan kebudayaan, peradaban mengandung penilaian yang menunjukkan perkembangan manusia, semisal peradaban primitif atau peradaban maju.
”Hubungan antara peradaban dan kebudayaan itu sangat rumit karena manusia ada di dalamnya. Dan pertanyaan tentang manusia sudah ada di jantung peradaban. Apakah manusia? Di mana dia harus bertindak di tengah konflik, tragedi, dan drama kehidupan?" tutur Karlina.
Pertanyaan semacam itu, lanjut Karlina, sudah ada sejak zaman Plato di tradisi Barat maupun Confusius di tradisi Timur. Kemudian, di Barat, puncak pemikiran tentang manusia dan kemanusiaan terjadi di masa Renaisans pada abad ke-16 sampai ke-17. Saat itu, sastra, sejarah, dan filsafat mendapatkan tempat penting sehingga ide tentang humanisme tumbuh dengan subur.
Seabad kemudian, terjadi revolusi industri yang menggaungkan ide tentang kemajuan. Kemudian, pada masa yang disebut abad pencerahan, kemajuan teknologi dimaknai sebagai sebuah alur yang lurus ke depan sebagaimana dipengaruhi agama Abrahamik.
Saat itu, seorang pemikir Inggris, Francis Bacon, memaknai kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa dalam kisah penciptaan sebagai kesempatan bagi manusia agar bekerja keras mengejar ilmu dan teknologi sehingga mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan material di dunia ini. Alih-alih mengejar keselamatan spiritual di akhir zaman yang berada di luar kendali manusia, Bacon menurunkan ide eskatologis tersebut menjadi ide tentang ilmu pengetahuan dan teknik rekayasa. Ide ini sekaligus menekankan bahwa kebaikan di masa depan jauh lebih menguntungkan
”Contohnya, pembangunan atas nama kebaikan terbanyak dan demi keuntungan di masa depan, maka disingkirkanlah situs-situs kebudayaan dan hutan adat,” kata Karlina.
Selain itu, terdapat pengandaian bahwa manusia bergerak pada kemajuan yang sama, padahal tidak. Sementara terdapat bahaya ketika melihat kemajuan hanya dari kejauhan, semisal orang Eropa dianggap maju, sementara yang lain primitif. Oleh karena itu, peradaban dan kebudayaan saling menjadi koreksi antara satu dan yang lain.
Meski demikian, lanjut Karlina, justru di Eropa, peradaban yang menyertai kemajuan teknologi justru retak dengan lahirnya Perang Dunia II. Rasionalitas teknologi justru menghasilkan irasionalitas dan kebangkrutan politik. Pembunuhan jutaan orang dalam ruang gas di kamp konsentrasi justru dirancang dan diciptakan secara sangat ilmiah dan rasional. Demikian pula saat diskursus tentang humanisme menggema di Eropa, sementara di belahan bumi lain terjadi kolonialisme dan perbudakan.
”Ketika humanisme yang begitu dibanggakan berubah wujud menjadi ideologi yang oleh segolongan orang merasa paling berhak memegangnya, terkuaklah potensi yang mengerikan. Jadi, kemanusiaan itu sangat licin,” tutur Karlina.
Meski begitu, hal itu tidak lantas mengecilkan peran teknologi bagi kemajuan manusia. Manusia perlu bangkit dengan kesadaran tentang kemanusiaan yang baru meski teknologi terus maju dan meninggalkan masa lalu.
Bagi Karlina, pada zaman yang serba teknologi, manusia perlu tanggap, menyesuaikan diri, dan memahami dampak teknologi bagi peradaban serta budaya manusia. Hal itu penting untuk membuat prioritas pilihan yang menyangkut faktor paling dasar bagi rakyat Indonesia di tengah pentingnya membicarakan kecerdasan buatan, data raya (big data) hingga masyarakat 5.0.
Ia mencontohkan, di satu sisi kecerdasan buatan dan data raya sangat penting. Namun, di sisi lain, 50 persen lebih tenaga kerja Indonesia adalah lulusan sekolah menengah pertama (SMP) ke bawah. Lainnya, hanya 14,4 persen generasi milenial Indonesia yang mengenyam pendidikan di tingkat sekolah menengah, hanya 0,38 persen yang memiliki gelar sarjana.
Bahkan, di DKI Jakarta, sekitar 25 persen laki-laki dan 38 persen perempuan berusia 20-34 tahun hanya memiliki ijazah SMP atau lebih rendah. Statistik pemuda Indonesia dari Badan Pusat Statistik tahun 2020 menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu mengeluarkan orang muda dari kemiskinan.
”Dan faktor paling pahit adalah angka kematian ibu yang termasuk tertinggi di Asia Tenggara sesudah Laos. Korupsi saja kita belum mampu untuk lawan. Ini semua persoalan klasik,” kata Karlina.
Dalam situasi demikian, Karlina mempertanyakan manusia seperti apa yang hendak dijadikan dalam kerangka revolusi industri 4.0. Hidup manusia yang lebih mudah dan lebih baik memang akan terjadi, tetapi itu dinilai hanya bagi mereka yang terlibat. Akibatnya, kesenjangan antara yang terlibat dan yang tidak, antara yang berpendidikan dan yang tidak akan semakin lebar. Padahal, meski teknologi sangat penting, tujuan dari teknologi berada di luar jangkauan teknologi.
Oleh karena itu, Karlina menggarisbawahi pentingnya humaniora, seni, budaya, sastra, filsafat, dan ajaran keluhuran yang semuanya membantu manusia menjadi lebih peka. Dengan kepekaan, manusia bisa mengembangkan imajinasi tentang keadaban, semisal hidup yang baik bersama orang lain.
”Kita bicara teknologi sangat tinggi, tapi mengatasi kematian ibu, kita belum bisa,” kata Karlina.
Menanggapi pidato Karlina, pakar teknologi informasi yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid mengatakan, setiap teknologi akan selalu membawa nilai yang dianut perancangnya. Jika dulu Mark Zuckerberg menciptakan Facebook dan melandasinya dengan nilai pertemanan, kini nilai yang disuntikkan sudah beragam, termasuk untuk mengintai orang lain.
Banyak teknologi yang kini digunakan untuk memata-matai orang lain demi menangguk keuntungan. Hal itu menunjukkan nilai dengan teknologi tidak selalu berjalan beriringan. Terkait dengan nilai, manusia harus memilih.
”Teknologi bisa kita diskusikan, tetapi nilai adalah soal dikotomi. Apa pun perkembangan teknologi yang muncul, tapi adab, nilai, tidak bisa kita lupakan,” tutur Fathul.
Sementara pengajar Fakultas Teknik Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, sekaligus Ketua Indonesia Artificial Intelligence Society Lukas mengatakan, teknologi merupakan usaha untuk membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dan nyaman. Ketika teknologi disebut akan menggantikan peran manusia dalam dunia kerja, menurut Lukas, hal itu mesti dipahami bahwa yang terjadi adalah integrasi ruang kerja.
Dalam konteks itu, pekerjaan tidak lagi dibatasi waktu sekaligus upah diberikan sejauh produktivitas yang dia berikan. Dalam dunia pendidikan, lanjut Lukas, kurikulum bukan tidak mungkin semakin melebur atau menyatu. Akibatnya, ke depan akan muncul budaya baru dalam dunia kerja berupa integrasi, semisal seorang insinyur yang juga menjadi penulis.
Menurut Karlina, dalam bidang apa pun, yang penting adalah setia dalam pencarian batin kemanusiaan. Sebab, bagi Karlina, menjadi manusia tidak sama dengan menjadi orang. Untuk itu, apa pun bidang yang digeluti haruslah dimanusiakan.