Eksaminasi Putusan Penundaan Pemilu, Usut Dugaan Penyalahgunaan Kewenangan Hakim
Eksaminasi putusan dapat menjadi ruang bagi publik untuk menilai apakah sebuah proses persidangan, pertimbangan hukum, dan putusannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan keadilan bagi masyarakat.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dorongan untuk menyelesaikan polemik putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu 2024 semakin menguat. Sejumlah partai politik meminta agar ada pemeriksaan, baik terhadap putusan maupun hakim yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur atau Prima, sehingga menghasilkan putusan penundaan pemilu tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 terus menuai respons publik. Setelah penolakan keras yang disampaikan berbagai kalangan, mulai dari akademisi, mantan hakim konstitusi, politisi, hingga Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, kritik terhadap putusan dan wacana tersebut masih berlanjut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ketua DPP Partai Nasdem Atang Irawan melalui keterangan tertulis, Senin (6/3/2023), mengatakan, putusan PN Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu 2024 perlu dieksaminasi. Pengujian atau pemeriksaan terhadap putusan pengadilan itu penting karena putusan dinilai telah menyimpang dari substansi dan proses hukum. Bahkan, telah menjadi kontroversi dalam konteks penerapan keadilan.
Ia menambahkan, eksaminasi putusan pengadilan dapat menjadi ruang bagi publik untuk menilai apakah sebuah proses persidangan, pertimbangan hukum, dan putusannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan/atau keadilan bagi masyarakat. Eksaminasi juga bukan hal baru karena telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1967 tentang Eksaminasi. ”Maka, (perlu) dibuka ruang bagi publik untuk menilai sebuah putusan hakim dengan tidak mengurangi status dan kedudukan putusan tersebut,” ujar Atang.
Ia sekaligus mengusulkan perubahan terhadap Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu menegaskan bahwa Komisi Yudisial (KY) hanya dapat mengeksaminasi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap untuk kepentingan mutasi hakim.
Menurutnya, kewenangan KY perlu diperluas sehingga eksaminasi putusan bisa dilakukan tanpa harus menunggu berkekuatan hukum tetap. Kewenangan dimaksud hanya terkait dengan pemeriksaan terhadap kapasitas dan kualitas hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, tetapi tidak membatalkan putusan. Namun, agar bisa mengemban tugas itu secara independen, penguatan KY juga diperlukan.
”Dengan demikian hakim akan berhati-hati menggunakan kebebasannya, bukan sebebas-bebasnya dalam rangka memeriksa dan memutus perkara sehingga akan terhindari dari orkestrasi yustisial yang dapat berakibat turbulensi dalam dunia peradilan,” ujar Atang.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto kembali menegaskan, partainya bersikap tegas dan berkomitmen untuk melawan pihak-pihak yang ingin menunda Pemilu 2024. Tak hanya itu, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekrnoputri pun memberikan instruksi langsung kepada seluruh kader PDI-P agar tetap tegak lurus pada aturan main pemilu yang tertera dalam konstitusi.
”Sikap PDI-P sangat jelas dan secara langsung Ibu Megawati memberikan arahan bahwa PDI-P kokoh pada jalan konstitusi, tidak menoleransi setiap upaya yang mau mencoba melakukan penundaan pemilu, baik menggunakan celah hukum maupun yang lain,” ujar Hasto.
Menurut dia, PN tidak memiliki kewenangan dalam menangani sengketa penetapan parpol peserta pemilu karena merupakan ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selain itu, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) sebagai penggugat juga tidak memiliki dasar hukum untuk mengajukan sengketa ke PN Jakarta Pusat. Apalagi, sampai menghasilkan putusan soal penundaan pemilu.
”Celah hukum yang dipakai oleh Partai Prima itu sama sekali tidak sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan tidak menghormati proses demokratisasi yang dijalankan secara terlembaga, yaitu proses pemilu yang dijalankan secara periodik,” kata Hasto.
Pekan lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai T Oyong dan hakim anggota H Bakri serta Dominggus Silaban memutuskan menerima seluruh gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Prima mengajukan gugatan karena tidak lolos dalam proses verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.
Majelis juga menyatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan perbuatan melawan hukum dan diperintahkan membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500 juta. Selain itu, KPU juga dihukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan pada 2 Maret 2022 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari.
Hasto juga menduga ada kejanggalan dan penyalahgunaan wewenang hakim PN Jakarta Pusat sehingga bisa mengeluarkan putusan yang di luar kewenangannya. Oleh karena itu, PDI-P meminta Komisi Yudisial untuk menginvestigasinya.
”Atas keanehan putusan tersebut, PDI-P juga meminta Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan investigasi terhadap adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan majelis hakim PN Jakarta Pusat yang menyidangkan perkara itu,” ujarnya.