Perlu Pengawasan Ekstra untuk ASN di Institusi Penegak Hukum
Dalam berbagai kasus, pegawai pengadilan memiliki peran penting, menjadi perantara praktik suap atau jual-beli perkara di pengadilan. Karena itu, penting untuk dirumuskan mekanisme pengawasan untuk ASN di pengadilan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu memikirkan secara serius model pengawasan terhadap aparatur sipil negara atau ASN yang bekerja di institusi penegak hukum. Sebab, berdasarkan pengalaman yang selama ini terjadi khususnya di pengadilan, ASN seperti pegawai pengadilan ataupun panitera memiliki peran penting dalam terjadinya praktik suap dan jual-beli perkara.
”Dalam banyak kasus, ini menjadi pola atau modus di pengadilan di tingkat mana pun. Hakim tidak akan secara langsung bertemu dengan pemberi suap, tetapi melalui proxy-nya apakah itu pegawai pengadilan atau panitera yang menjadi perantara. Menegosiasi antara keinginan hakim dan pihak berperkara,” ujar Lalola Easter, Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Senin (20/2/2023).
Dalam survei yang dilakukan Litbang Kompas pada 25 Januari hingga 4 Februari, ada peningkatan tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum dari yang semula 51,5 persen (Oktober 2022) menjadi 55,1 persen (Januari 2023). Namun, ada beberapa indikator yang perlu mendapat perhatian ketika tingkat kepuasan masyarakat masih kurang dari 50 persen, yaitu pemberantasan suap dan jual-beli kasus hukum (37 persen) dan memberantas KKN (48 persen).
Hakim tidak akan secara langsung bertemu dengan pemberi suap, tetapi melalui proxy-nya apakah itu pegawai pengadilan atau panitera yang menjadi perantara.
Instrumen pengawasan terhadap Lembaga peradilan sebenarnya sudah ada, baik internal (badan pengawasan Mahkamah Agung) maupun eksternal (Komisi Yudisial). Namun, pengawasan itu dilakukan hanya untuk hakim. ”Cuma memang yang masih menjadi permasalahan, yang masih luput dari pengawasan, ya, justru pegawai pengadilan. Tugas dan kewenangan mereka dianggap tidak sebesar penegak hukum, tapi karena justru secara teknis mereka mengurus administrasi (perkara), kadang mencari celah di situ,” katanya.
Untuk itu, ia mengusulkan perlunya pengetatan pengawasan terhadap ASN yang berada di instansi penegak hukum. Pengawasan terhadap orang-orang tersebut tidak boleh disamakan dengan ASN yang bekerja di kementerian dan lembaga. Mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap pengawasan itu, Lalola mengungkapkan hal tersebut perlu dibicarakan lebih lanjut.
Sementara itu, peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Charles Simabura mengungkapkan, kasus suap dan jual-beli perkara, serta kolusi korupsi dan nepotisme (KKN) merupakan praktik di bawah meja yang tidak muncul ke publik, tetapi dirasakan langsung oleh masyarakat yang berhadapan dengan hukum. Apabila ada kasus yang muncul ke permukaan, biasanya karena terjadi wanprestasi seperti sudah telanjur membayar sekian rupiah tetapi kasus berlanjut atau vonis tetap tinggi.
Ia mengakui bahwa untuk beberapa kasus khususnya yang viral di media sosial, penegak hukum bereaksi dengan cepat. Kasus Ferdy Sambo atau kasus-kasus lain, misalnya, yang menjadi perbincangan di media sosial.
Charles menilai, respons pemerintah terhadap masalah-masalah hukum bersifat sporadis dan temporer. Pada masalah pungli meruak di tengah masyarakat, pemerintah membentuk tim saber pungli yang kinerjanya sempat membuat masyarakat mengapresiasi. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlangsung lama karena beberapa waktu sesudahnya tim tersebut kurang kelihatan gaungnya kembali.
“Respons pemerintah terhadap penegakan hukum sporadis. Ketika terjadi Tragedi Kanjuruhan, membentuk tim gabungan (tim gabungan independen pencari fakta). Akan tetapi, ketika hasilnya sudah ada, ketika ditanya malah menghindar. Itu gambaran besar respons sporadis. Begitu publik tidak lagi memperhatikan, (perhatian) geser,” kata Charles. Ia menambahkan, pemerintah menjawab beragam permasalahan hukum dengan program yang seperti ”angin-anginan” atau temporer.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki instrumen yang cukup untuk memberangus suap, jual beli perkara, KKN, dan sebagainya. Ada rencana strategis nasional pemberantasan korupsi, misalnya, tetapi, menurut Charles, dokumen tersebut sebatas dokumen normatif tertulis dengan berbagai check list. ”Tapi, tidak ada perubahan perilaku, sejauh mana perilaku dan Budaya di sebuah instansi berubah,” ujarnya.
Solusi untuk persoalan tersebut, menurut Charles, adalah menghidupkan program-program yang bersifat jangka panjang; bukan sekadar suatu reaksi terhadap sebuah persoalan. Apabila program pemerintah sporadis, yang terjadi hanyalah menutup satu lubang sementara lubang akan muncul di tempat lain dan demikian seterusnya.
Optimisme
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengungkapkan, ada modal untuk menyikapi permasalahan tersebut secara lebih optimistis. Dalam paparannya di hadapan Komisi III, Komisi Pemberantasan Korupsi menguraikan tentang meningkatnya Indeks Perilaku Antikorupsi masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat terhadap sikap antikorupsi meningkat.
”Hal ini dapat menjadi modal optimism bahwa masyarakat tidak lagi permisif terhadap perilaku korupsi,” ungkapnya.
Namun, ada tantangan berat yang dihadapi pemerintah. Tantangan yang dimaksud adalah pemerintah harus mampu meyakinkan publik bahwa mereka serius dalam memperbaiki tata Kelola pemerintahan dan pencegahan korupsi. Menurut Taufik, salah satu hal yang harus menjadi perhatian adalah masih terbukanya peluang suap-menyuap di berbagai bidang. Padahal, sistem pencegahan telah dilakukan dengan cara penyederhanaan pengurusan administrasi—termasuk perizinan dan dibangunnya proses administrasi berbasis digital.
”Perlu dievaluasi apa yang menjadi penyebab praktik ini masih berpeluang terjadi meskipun sudah ada perbaikan sistem,” ujar Taufik.