Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin besok, akan menjatuhkan vonis bagi terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi. Diharapkan keadilan ditegakkan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023) besok, akan menjatuhkan vonis terhadap terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, yakni Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi. Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut diharapkan menepis segala bentuk intervensi baik dari pihak tertentu maupun dari publik serta hanya berpegang teguh pada rasa keadilan.
Fiat justitia ruat caelum. Hendaklah keadilan ditegakkan sekalipun langit akan runtuh. Kalimat tersebut, menurut mantan Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun, sangat relevan bagi majelis hakim dalam perkara Sambo. Sekalipun banyak pihak mencoba memengaruhi situasi, majelis hakim perkara Sambo mesti berpegang pada independensi dan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Hal senada diungkapkan Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting. Menurut dia, kata kunci yang tidak bisa dihilangkan dalam menangani kasus Sambo cs adalah kemandirian hakim dan peradilan. Oleh karena itu, prasyarat untuk hakim memutus perkara ini hanya berdasarkan fakta, hukum, dan keadilan.
”Tentu kita tidak masuk ke soal berat ringannya hukuman maupun pertimbangan putusan karena itu ranah kemandirian hakim. Yang dibutuhkan publik saat ini ialah putusan yang masuk akal, dalam arti ada alasan yang lengkap terhadap pertimbangan atas fakta, hukum, dan sense of justice,” tambahnya.
Tentu kita tidak masuk ke soal berat ringannya hukuman ataupun pertimbangan putusan karena itu ranah kemandirian hakim. Yang dibutuhkan publik saat ini ialah putusan yang masuk akal, dalam arti ada alasan yang lengkap terhadap pertimbangan atas fakta, hukum, dan sense of justice.
Seperti diketahui, Ferdy Sambo dituntut pidana seumur hidup oleh jaksa karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Jaksa menilai Sambo merencanakan perampasan nyawa Brigadir J secara sempurna, pelaksanaannya pun dilakukan secara sistematis. Hal tersebut dikemukakan dalam tuntutan tim jaksa penuntut umum yang dipimpin Sugeng Hariadi dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso, Senin (16/1/2023) lalu (Kompas.id, 16/1/2023).
Persidangan Sambo cs, menurut Miko, telah dipantau KY sejak awal, lembaga-lembaga lain dan masyarakat luas. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan terhadap perkara ini sudah terbentuk dalam bentuk perhatian publik yang meluas. Hal tersebut memang memberikan dilema tersendiri, yaitu ketika tuntutan publik terhadap peradilan saat ini adalah tidak hanya benar-benar adil.
”Tetapi juga terkesan adil. Namun, sekali lagi, kemandirian hakim perlu dijaga karena itu basis bagi hakim untuk mencapai keadilan itu,” ujarnya.
Gayus Lumbuun juga mengamini mengenai adanya tekanan dari berbagai lini terhadap majelis hakim dalam perkara Sambo cs. Tekanan tersebut salah satunya berasal dari publik dalam bentuk harapan dan juga pernyataan sebagai sahabat pengadilan atau amicus curiae dalam perkara ini.
Seperti diketahui, sebanyak 122 guru besar dan juga mantan hakim agung turun gunung dengan mengajukan diri sebagai amicus curiae dalam kasus Sambo cs. Salah satu hal yang dilontarkan oleh para guru besar tersebut adalah dukungan terhadap Brigadir Richard Eliezer agar bisa lepas dari tuntutan hukum. Eliezer dipandang sebagai alat yang digunakan oleh pelaku utama pembunuhan berencana (dalam hal ini adalah Sambo).
Salah satu hal yang dilontarkan oleh para guru besar tersebut adalah dukungan terhadap Brigadir Richard Eliezer agar bisa lepas dari tuntutan hukum.
Menurut Gayus, langkah 122 guru besar tersebut dapat dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi. Sebab, yang mereka suarakan telah memasuki ranah substansi perkara.
Namun, mantan Ketua Kamar Pidana MA Djoko Sarwoko yang menjadi bagian gerakan amicus curiae mengungkapkan, amicus curiae tersebut sudah sepatutnya tidak kontraproduktif sehingga dirasakan mengganggu independensi majelis hakim di dalam proses pengambilan keputusan.
Tiga kebenaran
Menurut Gayus, ada tiga hal penting yang selalu digunakan oleh hakim di semua tingkatan baik pengadilan tingkat pertama, banding, maupun kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang membuat putusannya dihormati, dikagumi, dan diterima masyarakat. Hal itu adalah hakim harus mempertimbangkan kebenaran yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Dalam kasus Sambo, disebutkan bahwa pembunuhan tersebut dipicu karena istri dilecehkan secara seksual sehingga yang bersangkutan meninggi emosinya. Akan tetapi, hal tersebut tidak ada di dakwaan dan penuntutan. Di penuntutan, justru dimuat tentang perselingkuhan yang seharusnya dibuktikan dahulu.
Kebenaran yuridis merupakan kebenaran yang sejati atau dalam bahasa hukum sering kali disebut sebagai kebenaran materiil. Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, hal tersebut berkaitan dengan apakah Ferdy Sambo melakukan pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 juncto Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta apa yang menjadi dasar perencanaannya. Dalam kasus Sambo disebutkan bahwa pembunuhan tersebut dipicu karena istri dilecehkan secara seksual sehingga yang bersangkutan meninggi emosinya. Akan tetapi, hal tersebut tidak ada di dakwaan dan penuntutan. Di penuntutan, justru dimuat tentang perselingkuhan yang seharusnya dibuktikan dahulu.
Karena itu, belum ada pembuktian mengenai dasar pembunuhan. Ada missing link. Tetapi, inilah kebenaran yuridis.
”Karena itu, belum ada pembuktian mengenai dasar pembunuhan. Ada missing link. Tetapi, inilah kebenaran yuridis,” ujar Gayus.
Kebenaran yuridis yang harus diungkap lainnya adalah perintah menembak dari Ferdy Sambo. Menurut dia, perintah tersebut harus clear apakah diberikan tanpa kewenangan sehingga perintah tersebut menjadi tidak sah atau betulkan bahwa perintah menembak tersebut merupakan perintah jabatan (Pasal 51 Ayat (1) dan (2) KUHP). Dalam kaitannya dengan hal ini, hakim juga perlu mempertimbangkan Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, khususnya Pasal 11 yang menyebutkan bahwa setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai atasan dilarang memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan.
Pertimbangan kedua yang harus digunakan oleh majelis hakim adalah kebenaran sosiologis. Kebenaran sosiologis tersebut, menurut Gayus, terkait dengan berbagai isu yang mencuat di masyarakat mengenai kasus tersebut.
”Ditambah lagi akhir-akhir ini tekanan masyarakat sangat tinggi. Misalnya, Sambo harus dihukum maksimal. Ini sama seperti mencampuri urusan independensi peradilan,” ujarnya.
Selain kebenaran yuridis dan sosilogis, Gayus juga mengungkapkan pentingnya majelis hakim memperhatikan kebenaran filosofis dalam kasus tersebut. Hakim diminta menggunakan nalar dalam menangani kasus tersebut. ”Tekanan sosial dalam bentuk apa pun, hakim harus kuat,” katanya.