Balada Para Pemberontak Kecil
Perlawanan terhadap indoktrinasi ideologi ekstrem yang dilakukan sejumlah anak narapidana terorisme menunjukkan upaya untuk kembali menjadi anak sesuai dengan kodratnya.
Sekelompok anak lelaki memandang dari kejauhan gerombolan anak lainnya yang tengah asyik bermain sepak bola di lapangan sebuah pondok pesantren di Banten, akhir 2020. Anak-anak yang baru tiba dari Poso, Sulawesi Tengah, itu hanya melintas di tepi lapangan sambil menunduk. Tak ada kata sapa yang keluar dari mulut mereka, apalagi permintaan untuk ikut serta bermain.
Beberapa hari berselang, anak-anak yang sudah lebih dulu menjadi santri di ponpes itu justru mengajak anak-anak yang berasal dari Poso itu untuk turun ke lapangan. Ajakan itu mereka terima. Mereka membentuk kesebelasan untuk menghadapi kesebelasan lawan, yang kebanyakan santri dari Pulau Jawa. ”Karena sudah diajak, ya, gaskeunlah,” ujar AY, salah satu santri asal Poso, saat ditemui di Banten, Sabtu (28/1/2023).
Lapangan yang berada di tengah kompleks ponpes jadi saksi pertandingan antara santri Poso dan Jawa. Namun, laga yang berlangsung sekitar 90 menit itu berakhir dengan pertengkaran. Bermula dari adu mulut karena tak terima kekalahan, hampir berakhir dengan baku hantam.
Di tengah keributan, sebagian anak berupaya melerai. Beberapa anak menduga pertengkaran terjadi karena mereka mengelompokkan diri berdasarkan suku. ”Sejak saat itu, kami buat kesepakatan, kalau main sepak bola lagi, kelompoknya tidak boleh Sulawesi dengan Sulawesi, Jawa dengan Jawa, semua seharusnya digabung,” ujar AY (18) menceritakan pengalaman beberapa tahun silam.
Bisa bermain sepak bola dengan para santri lama di ponpes tersebut bukan hal mudah bagi AY dan 90 anak asal Poso lainnya. Mereka adalah warga baru ponpes yang dibawa aparat negara dalam beberapa gelombang sejak Agustus 2020 untuk disekolahkan di Jawa. Kehidupan anak-anak itu berubah setelah orangtua mereka dipenjara karena terlibat jejaring terorisme, meledakkan bom buku di Jakarta, bahkan tewas dalam baku tembak dengan aparat keamanan di tengah operasi penegakan hukum yang dilaksanakan sejak 2007 hingga saat ini.
Di lingkungan baru, perbedaan latar belakang, suku, dan etnik dengan santri lain membuat anak-anak Poso awalnya sungkan bersosialisasi. Apalagi, para santri itu adalah pengamal kebiasaan yang selama ini dilarang orangtua dan guru-guru mereka, misalnya berziarah ke makam para ulama, serta mengadakan upacara dan menghormati bendera Merah Putih secara rutin di sekolah.
Keinginan untuk menendang bola dan tertawa bersama anak-anak sebaya di lapangan mendorong anak-anak Poso keluar dari belenggu pandangan ekstrem yang tertanam sejak mereka masih belia. Hal itu juga diperkuat dengan internalisasi nilai toleransi dan kebangsaan yang merupakan prinsip dasar pendidikan di ponpes tersebut. Sosok para guru yang menguasai berbagai pengetahuan keagamaan, tetapi tetap memberikan teladan kehalusan budi pekerti, juga membuat anak-anak menghormati dan bersedia menerima ajaran mereka dengan hati lapang.
”Guru-guru di sini memberi ajaran agama secara tuntas. Kalaupun banyak perbedaan cara ibadah, kami jadi tahu itu asalnya dari mana sehingga tidak menyisakan pertanyaan dan kami jadi tidak mudah menyalah-nyalahkan atau mengafirkan orang yang cara ibadahnya berbeda,” ujar AY.
Oleh karena itu, butuh waktu tak sampai enam bulan bagi mereka menjadi lebih terbuka. Keterbukaan dimaksud tidak sebatas bersosialisasi dengan sesama santri, tetapi juga dengan orang-orang yang baru mereka kenal.
Saat berkumpul di teras rumah pengurus ponpes, Sabtu sore, sekitar 20 anak Poso tampil bersarung, berbaju koko, dan berpeci hitam. Ada yang sengaja mengenakan peci hanya untuk menutupi setengah bagian kepala dan membiarkan rambut mereka menjambul ke atas. Secara bergantian, mereka mencium tangan setiap orang lebih tua yang mereka temui, kebiasaan baru yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya.
Anak-anak itu juga tak sungkan menceritakan pengalaman berziarah ke makam ulama beserta pemaknaannya. Bahkan, beberapa di antaranya mengungkapkan cita-cita masa depan. ”Aku nanti mau jadi tentara biar bisa mengharumkan nama Indonesia,” kata RA (10), yang ketika baru tiba di ponpes masih kerap mengungkapkan keinginan menyerang aparat jika ada kesempatan.
Pilihan lain
Upaya untuk keluar dari belenggu ekstremisme juga pernah dilakukan AM (20), anak pemimpin kelompok yang meledakkan bom di Gereja Oikumene di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, 2016. Berbeda dengan anak-anak Poso yang berdinamika di lembaga pendidikan, pergumulan AM dimulai sejak ia masih dipenjara beberapa hari setelah peledakan bom yang melibatkan ayahnya. Ia turut serta dibui karena terbukti mengetahui aksi yang dilakukan ayah dan kawanannya.
Meski masih berusia 14 tahun, kala itu AM ditempatkan di sel yang sama dengan narapidana terorisme dewasa, baik semasa di rumah tahanan di Jakarta maupun ketika sudah dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan di Samarinda. Di sel tanpa sekat, diskusi yang membahas ideologi ekstrem di antara mereka berlangsung intens. Tahapan dan tujuan hidup sebagai seorang mujahid adalah salah satu yang kerap mereka bahas.
Pembahasan yang sebenarnya sudah ia dapatkan sejak kecil dari orangtua dan guru-gurunya itu pula yang mula-mula memantik AM mempertanyakan situasi yang seolah tak memberikan pilihan lain bagi hidup anak. ”Di lingkaran itu, hidup sudah seperti di-setting, kamu harus ke sini, tujuan hidup kamu begini. Bahasan itu diulang setiap hari, tidak ada hal yang baru,” ujarnya saat ditemui di sebuah kafe di Jakarta Selatan, pertengahan Januari.
Dalam nuansa tersebut, AM memilih lebih banyak diam jika telanjur ada dalam diskusi. Berpura-pura tertidur jadi andalan menghindar. Tak berhenti di situ, AM berusaha menjadi perokok di penjara. ”Rokok itulah yang menyelamatkanku karena kalau merokok, kan, dicap kafir sehingga mulai dijauhi,” katanya.
Peminat teknologi informasi itu juga menghabiskan banyak waktu untuk bermain game online di ponsel. Melalui permainan yang terhubung ke jejaring internet secara global, AM mengenal lebih banyak orang dengan latar belakang beragam. ”Dari pembicaraan tentang game, aku sadar ternyata banyak, ya, hal yang lebih luas di dunia ini. Selama ini di lingkaran kelompok ekstrem aku merasa hanya di situ-situ saja,” ujarnya.
Pemberontakan-pemberontakan kecil AM berlanjut hingga ia bebas. Sebab, keinginannya untuk lepas dari jejaring terorisme kian kuat setelah ibunya berjuang menghadapi kanker hingga meninggal, tanpa didampingi sang ayah yang masih mendekam di penjara. AM memutuskan memulai kehidupan baru di kota yang baru. ”Saya sekarang juga punya pacar, sudah dua tahun, orang Bogor,” ujarnya tersipu malu.
Namun, tidak semua anak narapidana terorisme bisa melihat sisi lain dunia. Pencerahan yang dialami AM tidak terlepas dari pendampingan seorang peneliti dan pekerja sosial dari sebuah organisasi nonpemerintah sejak ia masih menjalani hukuman hingga saat ini. Kendati tak memiliki latar belakang pendidikan yang sejalan dengan pemulihan anak, pendamping itu memosisikan diri sebagai keluarga baru yang bersedia menjadi tempat bagi AM membagi semua beban hidupnya.
Baca juga: Dipulangkan, Anak-anak Para Teroris Pelintas Batas Akan Jalani Deradikalisasi
”Aku enggak tahu akan jadi seperti apa hidupku kalau tidak ada kakak. Orang-orang seperti itu harus diperbanyak,” kata AM.
Peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian, Khariroh Maknunah, mengatakan, perlawanan terhadap indoktrinasi ideologi ekstrem yang dilakukan sejumlah anak narapidana terorisme menunjukkan upaya untuk kembali menjadi anak sesuai dengan kodratnya. Kecenderungan orangtua yang berpandangan ekstrem membawa anak tumbuh dan berkembang tak sesuai dengan usianya. Padahal, setiap fase perkembangan yang terganggu bisa berdampak dalam jangka panjang dan tidak bisa diperbaiki kembali.
Salah satunya, anak tak bisa menentukan pilihan hidup secara mandiri. Kondisi itu yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, tidak terkecuali keberlanjutan gerakan terorisme. Berdasarkan pengalaman, setidaknya tujuh tahun terakhir mendampingi anak-anak yang terlibat tindak pidana terorisme, menurut Nuna, mengembalikan hidup anak sesuai dengan kodratnya merupakan langkah efektif yang bisa memutus keterikatan mereka dengan jejaring terorisme.
Namun, pencarian jati diri anak itu membutuhkan pendampingan khusus secara terus-menerus, tidak sekadar pendekatan darurat yang dilakukan sementara. ”Mereka membutuhkan orang atau pihak yang bisa jadi tempat menceritakan apa pun, mendampingi mereka untuk berpikir serasional mungkin, serta memberikan rasa aman untuk kembali ke masyarakat,” kata Maknunah.
Sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara pada awal abad ke-20, setiap anak lahir dengan kodratnya masing-masing. Sudah menjadi tugas orangtua, pendidik, pendamping dalam berbagai konteks untuk mengoptimalkan kekuatan kodrat yang mereka miliki agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan tertinggi sebagai manusia dan anggota masyarakat. Bukan mencekoki dengan nilai-nilai yang menjauhkan anak dari kodrat kemanusiaannya.