Industri pertahanan Indonesia juga bisa meluaskan pasar pada pemeliharaan alutsista regional.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan industri pertahanan Indonesia yang dapat masuk dalam rantai pasok global adalah karena masih belum lengkapnya informasi aset nasional terkait dengan industri pertahanan.
Hal ini disampaikan Yono Reksoporodjo, Kepala Divisi Transfer Teknologi dan Ofset Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), dalam workshop online yang diadakan Lab45 dan Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Jumat (20/1/2023). Lokakarya yang dibuka Koordinator Program Indonesia Leonard Sebastian ini mengambil tema ”Modernisasi Persenjataan dan Industri Pertahanan”.
Menurut Yono, salah satu tantangan terbesar adalah kebutuhan akan informasi yang lebih lengkap tentang aset nasional yang terkait dengan industri pertahanan nasional. ”Baik upstream maupun downstream mulai dari kampus, laboratorium riset, hingga fasilitas yang dimiliki industri,” kata Yono.
Namun, masih ada keterbatasan riset dan pengembangan serta tenaga kerja yang menua.
Curie Maharani, dosen Universitas Bina Nusantara, mengatakan, tidak adanya informasi yang lengkap ini yang membuat industri pertahanan nasional hingga kini sulit masuk dalam rantai pasok global. Padahal, kapasitas lokal secara kuantitas sudah cukup banyak mengingat jumlah industri pertahanan hingga tahun 2020 telah mencapai 150 perusahaan. ”Namun, masih ada keterbatasan riset dan pengembangan serta tenaga kerja yang menua,” kata Curie.
Kendala lain yang diutarakan Yono adalah anggaran yang lebih banyak dialokasikan untuk pembelian barang-barang dari luar negeri daripada dalam negeri. Pembelian tersebut juga lebih berorientasi pada proyek jangka pendek daripada kemitraan dan investasi jangka panjang. Ia mengakui, sebenarnya telah ada beberapa perusahaan yang bisa masuk ke dalam rantai produksi industri pertahanan seperti otomotif. ”Tapi ada aturan-aturan yang merugikan, misalnya perusahaan Jepang tidak mau ada industri komponen yang berhubungan dengan pertahanan. Kalau ada, kontrak dimatiin. Ini kan tidak adil,” kata Yono.
Peluang
“Sukhoi misalnya ada negara-negara lain di ASEAN yang menggunakan seperti Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Kita bisa masuk ke pemeliharaannya.”
Di samping berbagai kendala tersebut, Curie melihat masih ada beberapa peluang, termasuk peluang jangka pendek. Menurut dia, ide dasarnya adalah meningkatkan skala ekonomi dari industri tersebut dengan melihat pasar regional. Menurutnya, ada beberapa persenjataan yang digunakan negara ASEAN sama seperti Indonesia. ”Sukhoi, misalnya, ada negara-negara lain di ASEAN yang menggunakan seperti Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Kita bisa masuk ke pemeliharaannya,” kata Curie.
Sementara Yono menggarisbawahi, dengan situasi pasar industri pertahanan yang monopsoni yaitu banyak penjual, satu pembeli, ada strategi industri untuk mengombinasikan produk sipil dan militer. Ia mencontohkan, ketika pertama kali berdiri, PT Dirgantara Indonesia tidak mengembangkan pesawat tempur tetapi pesawat transpor. Alasannya, kalau mengembangkan pesawat tempur dan tidak dibeli TNI AU, industri bisa langsung mati.
”Makanya yang dikembangkan adalah pesawat ringan yang kemudian bisa digunakan militer untuk keperluan nonmiliter,” kata Yono.
Indonesia dan Asia Pasifik secara umum yang rentan bencana membutuhkan berbagai alat transpor yang bisa digunakan untuk bencana alam. Ia mengapresiasi Maung, mobil yang bisa digunakan sipil. ”Alat angkut yang semimiliter lagi banyak peminatnya,” kata Yono.