Tingkat Kepuasan Publik kepada Jokowi Berpengaruh pada Elektabilitas Bakal Capres
Survei Indikator Politik Indonesia Desember 2022, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi mencapai 71,3 persen dari sebelumnya. Naiknya kepuasan kinerja Presiden tingkatkan elektabilitas capres yang ada.
JAKARTA, KOMPAS — Elektabilitas sejumlah bakal calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2024 dipengaruhi oleh naik atau turunnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo. Jika tingkat kepuasan publik itu meningkat, elektabilitas bakal calon presiden yang diasosiasikan dengan Jokowi, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, akan ikut meningkat.
Begitu pula sebaliknya. Jika tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi memburuk, ini justru akan mengerek elektabilitas calon yang tidak diasosiasikan dengan Jokowi, seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pola seperti ini tidak ditemukan di masa periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2009-2014) di mana tingkat kepuasan publik terhadap kinerja presiden (approval rating) berkorelasi pada elektabilitas bakal capres.
Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Desember 2022, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi mencapai 71,3 persen. Tingkat kepuasan publik ini meningkat dibandingkan dengan November 2022 yang hanya 66,2 persen.
Adapun survei yang dilakukan pada 1-6 Desember 2022 ini melibatkan 1.220 orang, dengan toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Seiring dengan peningkatan kepuasan publik tersebut, elektabilitas sejumlah bakal capres meningkat. Dalam simulasi tiga nama, misalnya, Ganjar Pranowo menempati posisi teratas dengan elektabilitas sebesar 35,8 persen atau naik 1,9 persen pada November 2022. Posisi selanjutnya adalah Prabowo Subianto dengan elektabilitas 26,7 persen atau naik 2,8 persen pada November 2022.
Kemudian, Anies Baswedan menempati posisi ketiga dengan elektabilitas 28,3 persen. Jika dibandingkan dengan hasil survei pada November 2022, elektabilitas Anies turun tajam hingga 3,9 persen.
Jadi, temuan utama kami, ’approval rating’ Pak Presiden Jokowi itu juga turut menentukan naik-turunnya calon yang diasosiasikan atau tidak diasosiasikan dengan Pak Jokowi. Jadi, meski Pak Jokowi tidak bisa maju lagi di 2024 secara konstitusional, tetapi kalau misalnya pemerintahan Jokowi dipersepsi positif, itu biasanya punya efek terhadap partai atau capres yang diasosisiakan dengan Pak Jokowi.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dalam rilis ”Kinerja Presiden, Elektabilitas Bakal Calon Presiden dan Partai Jelang 2024” di Jakarta, Rabu (4/1/2023), mengatakan, temuan ini mengonfirmasi pernyataan mantan politisi Partai Nasdem, Zulfan Lindan, yang menyebut Anies Baswedan sebagai antitesis Jokowi. Sebab, ketika tingkat kepuasan publik pada Jokowi naik, elektabilitas Anies justru tertekan.
Baca juga: Capres-Cawapres Sebaiknya Saling Melengkapi
”Jadi, temuan utama kami, approval rating Pak Presiden Jokowi itu juga turut menentukan naik-turunnya calon yang diasosiasikan atau tidak diasosiasikan dengan Pak Jokowi. Jadi, meski Pak Jokowi tidak bisa maju lagi di 2024 secara konstitusional, tetapi kalau misalnya pemerintahan Jokowi dipersepsi positif, itu biasanya punya efek terhadap partai atau capres yang diasosisiakan dengan Pak Jokowi,” ujar Burhanuddin.
Burhanuddin menjelaskan, peningkatan elektabilitas Ganjar yang sejalan dengan peningkatan kepuasan publik terhadap Jokowi patut dipahami karena keduanya berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Selain itu, Ganjar kemungkinan dianggap sebagai penerus Jokowi.
Hal yang menarik terletak pada Prabowo. Awalnya tidak ada korelasi apa pun antara naik-turun elektabilitas Prabowo dan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi. Bahkan, ada pola, sampai Oktober 2022, ketika tingkat kepuasan Presiden Jokowi naik, elektabilitas Prabowo turun.
Pola itu mulai berubah di November dan Desember, ketika ’approval rating’ Presiden Jokowi turun, elektabilitas Pak Prabowo turun, begitu sebaliknya. Artinya, ’approval rating’ Presiden Jokowi belakangan ini tidak hanya berdampak kepada Ganjar tetapi juga Prabowo.
”Tetapi, pola itu mulai berubah di November dan Desember ketika approval rating Presiden Jokowi turun, elektabilitas Pak Prabowo turun, begitu sebaliknya. Artinya, approval rating Presiden Jokowi belakangan ini tidak hanya berdampak kepada Ganjar, tetapi juga Prabowo,” kata Burhanuddin.
Dalam survei kali ini, Indikator Politik Indonesia juga menemukan, jika persepsi terhadap kinerja presiden Jokowi memburuk, bakal capres yang diasosiasikan berada di seberang pemerintahan justru akan mendapatkan keuntungan elektoral.
Jika persepsi terhadap kinerja presiden Jokowi memburuk, bakal capres yang diasosiasikan berada di seberang pemerintahan justru akan mendapatkan keuntungan elektoral.
Misalnya, pada November 2022, ketika tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi turun, dari 70,5 persen menjadi 66,2 persen, elektabilitas Anies justru mengalami kenaikan mencapai 32,2 persen. Angka ini meningkat drastis dibandingkan dengan Oktober 2022 yang baru mencapai 26,3 persen.
Burhanuddin melihat, tingkat ketidakpuasan publik terhadap kinerja Jokowi itu sejalan dengan tingkat elektabilitas Anies. Itu artinya pendukung Prabowo yang kritis sudah mulai beralih ke Anies. ”Nah, yang masih memilih Prabowo, itu tentu loyal dengan Pak Prabowo dan tidak mempermasalahkan bergabungnya Gerindra ke pemerintah,” ucapnya.
Beda dengan SBY
Jika merujuk pada masa periode kedua Presiden SBY, polanya sedikit berbeda dibandingkan dengan sekarang. Jelang 2014, approval rating SBY tidak berkorelasi langsung dengan elektabilitas Jokowi atau Prabowo. Elektabilitas Jokowi mulai mengikuti pola kepuasan terhadap kinerja SBY minimal sebelum pasangan capres-cawapres ditetapkan di Mei 2014.
”Artinya, Pak Jokowi tidak menampilkan sebagai sosok antagonis atau antitesa dari Pak SBY. Itu yang menjelaskan mengapa approval rating Pak SBY polanya sama dengan elektabilitas Pak Jokowi,” tutur Burhanuddin.
Setelah Jokowi dan Jusuf Kalla kala itu ditetapkan pasangan capres-cawapres, polanya kemudian sedikit berubah. Mereka yang memilih Jokowi berkebalikan dengan approval rating SBY.
Poin saya adalah di jelang 2014, Pak Jokowi sekalipun mampu menarik pemilih yang puas terhadap kinerja Pak SBY, dia tidak hanya menarik pemilih yang tidak puas, tetapi yang puas terhadap Pak SBY pun mendukung Jokowi. Itu yang menjelaskan Jokowi menang di 2014.
”Poin saya adalah di jelang 2014, Pak Jokowi sekalipun mampu menarik pemilih yang puas terhadap kinerja Pak SBY, dia tidak hanya menarik pemilih yang tidak puas, tetapi yang puas terhadap Pak SBY pun mendukung Jokowi. Itu yang menjelaskan Jokowi menang di 2014,” ucap Burhanuddin.
Selain itu, survei Indikator Politik Indonesia juga menemukan, jelang Pilpres 2024, tidak ada nama capres yang dominan. Elektabilitas dari semua nama capres masih di bawah 50 persen. Karena itu, figur cawapres sangat menentukan kemenangan dalam pilpres mendatang. ”Artinya, peta politik masih sangat terbuka,” kata Burhanuddin.
Dari 18 nama, jika dilakukan simulasi semi terbuka, muncul lima nama teratas menurut publik, seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Nah, di antara nama-nama cawapres yang relatif bisa diterima oleh ketiga basis pendukung Anies, Ganjar, dan Prabowo itu adalah Ridwan Kamil.
Jika dilihat dari basis pendukungnya, ditemukan basis pendukung Anies cenderung memilih Ridwan Kamil atau AHY. Basis pendukung Ganjar cenderung lebih memilih Ridwan Kamil atau Erick Thohir. Kemduian, basis pendukung Prabowo cenderung lebih memilih Ridwan Kamil atau Sandiaga Uno.
”Nah, di antara nama-nama cawapres yang relatif bisa diterima oleh ketiga basis pendukung Anies, Ganjar, dan Prabowo itu adalah Ridwan Kamil,” kata Burhanuddin.
Figur cawapres
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto sependapat dengan temuan Indikator Politik Indonesia. Ia melihat, ada korelasi erat antara peningkatan approval rating Jokowi dan peningkatan elektoral sejumlah nama capres, mulai dari Ketua DPR Puan Maharani, Ganjar, hingga Prabowo. Sebaliknya, seperti Anies, elektabilitasnya menurun.
”Itu juga membuktikan bahwa masyarakat menilai Pak Anies Baswedan merupakan antitesa dari Presiden Jokowi sehingga ketika approval rating Pak Jokowi naik, kemudian Anies mengalami penurunan,” ujar Hasto.
Kemudian, titik temu dari approval rating terhadap elektoral sejumlah capres ini tentu saja akan menjadi suatu kunci di dalam membangun koalisi setelah capres ditetapkan oleh partai. Karena itu, dalam penilaian PDI-P nanti, figur cawapres akan menjadi kunci pemersatu di dalam membangun kerja sama partai.
Dengan demikian, di luar aspek-aspek elektoral dari capres-capres nanti menunjukkan bahwa peran cawapres itu lebih banyak sebagai pemersatu di dalam membangun kohesivitas partai-partai yang bekerja sama di dalam partai itu.
Ia menyinggung situasi pada Pemilu 2019. Saat itu, koalisi pendukung Jokowi bisa solid karena kehadiran figur, seperti Ma’ruf Amin. Figur Ma’ruf Amin saat itu dipercaya dapat menyatukan parpol-parpol, seperti PDI-P, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nasdem, dan lain-lain.
”Dengan demikian, di luar aspek-aspek elektoral dari capres-capres nanti menunjukkan bahwa peran cawapres itu lebih banyak sebagai pemersatu di dalam membangun kohesivitas partai-partai yang bekerja sama di dalam partai itu,” ujar Hasto.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin mengungkapkan, peningkatan kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi harus dilihat secara komprehensif. Hal itu dilatarbelakangi, salah satunya, oleh kepuasan publik terhadap kondisi perekonomian nasional. Artinya, di situ juga merupakan peran Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Tentu saja ini karena ada menko yang sudah bekerja sangat keras untuk Pak Presiden untuk masyarakat Indonesia sehingga beliau lupa untuk bekerja menaikkan popularitasnya.
”Tentu saja ini karena ada menko yang sudah bekerja sangat keras untuk Pak Presiden untuk masyarakat Indonesia sehingga beliau lupa untuk bekerja menaikkan popularitasnya,” kata Nurul.
Golkar melihat saat ini belum waktunya untuk membicarakan soal capres. Karena itu pula, Airlangga juga belum sepenuhnya fokus pada pencapresan. ”Beliau bekerja secara full as a Menko Perekonomian. Jadi, tenang-tenang saja dulu,” ucapnya.
Ia pun berpesan kepada publik agar tidak memilih capres berdasarkan elektoral atau popularitasnya. Namun, pemilihan capres harus didasari pada kapabilitas, kompetensi, serta kebutuhan. ”Yang dibutuhkan itu yaitu untuk menjaga kontinuitas pembangunan yang sudah diberikan Presiden Jokowi,” tuturnya.
Baca juga: Parpol Masih Utak-atik Pasangan Capres-Cawapres
Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan, partainya berkomitmen untuk menjaga pemerintahan Jokowi sampai akhir. Di tengah situasi yang berat ini, semua pihak harus bergotong royong serta ikut menjaga soliditas dan stabilitas politik.
Terkait dengan relasi antara approval rating presiden dan peningkatan atau penurunan elektabilitas capres, Johnny mengungkapkan bahwa Nasdem juga telah melakukan tes basis politik pilpres. Tes itu dilakukan dalam periode Oktober hingga November 2022.
Dalam tes basis ini, didapati adanya peningkatan elektabilitas Anies sebagai bakal capres yang diusung Nasdem. Peningkatan elektabilitas itu diklaim sangat signifikan, bahkan melewati elektabilitas Prabowo.
Ia menyadari, hasil berbeda terjadi pada Desember 2022. Sebab, pada bulan itu, Nasdem tidak melakukan pergerakan apa-apa. Nasdem melakukan review dan konsultasi internal. ”Jadi, wajar dan sangat masuk akal kalau (elektabilitas) itu turun. Mungkin di saat bersamaan, aktivitas-aktivitas ofensif politik dilakukan lebih luas oleh capres-capres lain sehingga tren naik dan sejalan dengan kepuasan publik kepada Pak Jokowi,” kata Johnny.
Terlepas dari itu, semua akan menjadi bagian dari evaluasi. Apalagi, saat ini belum ada calon yang punya potensi kuat karena elektabilitas calon masih sekitar 25-30 persen. ”Yang kita butuhkan itu sampai lewat 40 persen, belum ada sampai saat ini, sehingga pekerjaan kita masih luar biasa besarnya harus kita lakukan,” ucapnya.