Jelang Pemilu 2024, Politisi Perlu Tumbuhkan Keadaban Publik di Ruang Digital
Sikap santun dan saling menghormati antarpolitisi di ruang digital perlu dibangun untuk menumbuhkan keadaban publik. Tujuannya untuk mencegah politisasi politik identitas.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Politisi perlu menumbuhkan keadaban publik di ruang digital menjelang Pemilihan Umum 2024. Keadaban publik berupa tindakan dan perilaku yang menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain itu penting guna mencegah terulangnya kembali penggunaan strategi politik identitas untuk mengaget suara pemilih seperti pada pemilu sebelumnya.
Berdasarkan publikasi Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia pada 2019 yang berjudul "Mengelola Politik Identitas dalam Pemilu 2019", terdapat tiga tren kampanye politik identitas pada pemilu tahun itu. Pertama, narasi politik identitas, terutama agama, yang dikapitalisasi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sebagian besar merupakan residu pertarungan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017. Kedua, politisasi isu identitas menguat karena Pilpres 2019 menghadirkan calon presiden yang sama dengan Pilpres 2014.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Terakhir, isu identitas digunakan sebagai strategi elektoral, khususnya untuk memenangkan kampanye digital dan perang siber antara kedua kubu. Caranya dengan membingkai, mengamplifikasi, dan menyebarluaskannya di ranah digital sehingga isu identitas itu menjadi narasi dominan.
Pengajar etika dan komunikasi Universitas Sanata Dharma, Haryatmoko, Jumat (16/12/2022), mengatakan, politik identitas terbukti dapat memecah belah masyarakat. Agar polarisasi tidak semakin meruncing, strategi politik identitas ini dapat dicegah dengan membangun keadaban publik. Wujudnya berupa sikap hormat dalam interaksi sosial. Dalam konteks Pemilu 2024 mendatang, politisi menjadi sosok sentral dalam upaya menumbuhkan keadaban publik di ruang digital.
"Keadaban publik menjadi benteng dari tingginya potensi polarisasi di tengah perkembangan komunikasi digital. Itu dilandasi dengan komunikasi yang santun, mengutamakan sikap hormat dan empati, serta lebih mengutamakan program dan gagasan ketimbang ujaran kebencian," ucap Haryatmoko, seusai seminar bertajuk "Keadaban Publik: Etika Komunikasi dalam Masyarakat Digital" yang diadakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Jakarta.
Guru Besar Teknologi Informasi dan Komunikasi Universitas Perbanas Richardus Eko Indrajit yang turut hadir di seminar itu mengutarakan, tidak ada perbedaan cara berkomunikasi langsung dan digital. Sebab, kata Eko, interaksinya tetap terjalin antarmanusia, bukan antara manusia dengan mesin. Perbedaannya hanya pada umpan balik yang lebih lambat serta penggunaan simbol-simbol seperti emotikon, gambar, maupun video dalam komunikasi digital.
Prinsip etika komunikasi perlu tetap diterapkan dalam komunikasi secara langsung maupun lewat digital lantaran interaksi terjalin antarmanusia, bukan antara manusia dengan mesin.
Untuk itu, Eko menyampaikan, kedua jenis komunikasi itu sama-sama perlu memerhatikan prinsip etika komunikasi. Prinsipnya, antara lain, penghormatan terhadap lawan bicara, kejelasan dalam menyampaikan pesan, dan tanggung jawab atas pesan atau pernyataan yang disampaikan.
Eko juga mengatakan, politisi dapat memberi contoh dengan melontarkan pujian terhadap sesama politisi di ruang digital. "Pemilu, kan, merupakan pesta demokrasi. Namanya pesta, ya, semua yang datang harus gembira. Kegembiraan itu muncul apabila para politisi ini saling memuji, bukan malah menjelek-jelekkan politisi lain agar mendapat simpati masyarakat," ujar Eko Indrajit.
Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Musdah Mulia, keadaban publik sebenarnya berkaitan dengan penghargaan terhadap manusia. Hal itu merupakan garis besar dari setiap agama, termasuk Islam. Ia mengatakan, Islam mengajarkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan.
Namun, ia juga melihat pandangan seseorang terhadap agama tidak sejalan dengan sikapnya dalam menghargai manusia dan kemanusiaan. Seseorang yang menganggap agama penting belum tentu menerapkan sikap hormat terhadap sesama manusia. Itu terjadi karena literasi keagamaan tidak terbangun, di sisi lain konservatisme agama semakin marak.
Seseorang yang menganggap agama penting belum tentu menerapkan sikap hormat terhadap sesama manusia. Itu terjadi karena literasi keagamaan tidak terbangun.
Konservatisme agama mengedepankan interprestasi tekstualis yang ekslusif, intoleran, dan anti-keberagaman. Akibatnya, agama tidak dimaknai secara kritis dan komprehensif.
"Padahal, agama itu spektrumnya luas. Di Islam, misalnya, ada aspek etika, hukum, dan kebudayaan. Kita harus memahami semuanya secara holistik. Dengan pemahaman ini, kita bisa bersikap inklusif, toleran, saling menghargai. Ini cikal bakal membangun keadaban publik," ucap Musdah.
Dalam opininya di Kompas (18/3/2021), Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menulis, keadaban publik merupakan norma, standar atau ukuran sosial, budaya, dan agama tentang perilaku individu dan komunitas.
Keadaban publik, yang merupakan modal budaya dasar, menjadi pemandu cara warga berpikir dan bertindak. Apabila modal budaya dasar itu melemah, maka akan terjadi disrupsi proses politik dan pemerintahan; mengganggu kehidupan sosial, budaya, dan agama dalam banyak lapisan masyarakat.