Transparansi Polri terkait kasus dugaan pemberian setoran dari aktivitas tambang ilegal di Kaltim, yang diduga libatkan petinggi Polri, tentukan persepsi publik terhadap institusi kepolisian tuntaskan kasus tersebut.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan pemberian setoran dari aktivitas penambangan ilegal di Kalimantan Timur yang disebut mengalir ke pejabat di Kepolisian Daerah Kalimantan Timur dan Mabes Polri dinilai akan selalu menjadi pertanyaan publik kepada lembaga kepolisian. Oleh karena itu, transparansi Polri terkait hal itu akan menentukan persepsi publik terhadap institusi kepolisian.
Berawal dari video pernyataan Ismail Bolong, yang mengaku sebagai pengepul batubara tak berizin di Desa Santan Ulu, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menyatakan telah menyetor uang Rp 6 miliar sebanyak tiga kali ke Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto masing-masing pada periode September, Oktober, dan November 2021.
Kemudian, beredar video klarifikasi dari Ismail bahwa pernyataannya dalam video awal diucapkan atas tekanan petinggi Polri, yakni Hendra Kurniawan, yang saat itu menjabat Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Namun, Jaringan Aktivis Pro Demokrasi beberapa hari yang lalu telah mendatangi Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dengan membawa laporan hasil penyelidikan dari Biro Paminal Polri mengenai penambanganbatubara ilegal yang tidak dilengkapi izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah hukum Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Jaringan Aktivis Pro Demokrasi mempertanyakan laporan yang telah selesai pada 18 Maret 2022, tetapi tak ditindaklanjuti.
Jaringan Aktivis Pro Demokrasi mempertanyakan laporan yang telah selesai pada 18 Maret 2022, tetapi tak ditindaklanjuti.
Laporan tersebut memuat bukti dugaan pelanggaran oleh anggota Polri terkait penambangan, pembiaranpenerimaan uang koordinasi dari para pengusaha penambang batubarailegal.
Dijelaskan ke publik
Pengajar Fakultas Hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Senin (14/11/2022), berpandangan, dugaan setoran terhadap para pejabat kepolisian tersebut mesti dijelaskan kepada publik. Yang diperlukan publik tidak hanya terkait dugaan adanya penambangan ilegal batubara di Kaltim, tetapi juga posisi para pejabat kepolisian di dalamnya.
Kalau memang ada aspek pidananya, itu harus diproses. Jangan didiamkan saja karena justru menimbulkan bermacam-macam spekulasi dimasyarakat di tengah institusi Polri yang tengah menjadi sorotan.
”Kalau memang ada aspek pidananya, itu harus diproses. Jangan didiamkan saja karena justru menimbulkan bermacam-macam spekulasi dimasyarakat di tengah institusi Polri yang tengah menjadi sorotan,” kata Fickar.
Menurut Fickar, spekulasi yang muncul akan merugikan kepolisian. Sebab, hal itu akan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi tersebut. Di sisi lain, tugas dan kewenangan kepolisian sebagai aparat keamanan, penegak hukum, dan pengayom masyarakat membuatnya sering bersinggungan dengan masyarakat sehari-hari yang bisa menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang.
Oleh karena itu, Fickar berharap agar hal ini dijadikan momentum bagi Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan ”bersih-bersih” dalam rangka memperbaiki organisasi kepolisian. Terlebih, arahan Presiden Joko Widodo bagi jajaran kepolisian beberapa waktu yang lalu bisa menjadi pendorongnya. Caranya adalah dengan meminta keterangan dari para pejabat yang diduga terkait dengan hal itu. Jika hal itu tidak dilakukan, spekulasi publik dinilai tidak akan hilang.
Pihak yang disinyalir melakukantindak pidana perlu dinonaktifkan terlebih dahulu untuk diminta keterangan. Kalau tidak terbukti, maka dikembalikan ke jabatan semula. Kalau terbukti, selain dicopot darijabatannya, maka dia harus diproses pidananya.
”Pihak yang disinyalir melakukantindak pidana perlu dinonaktifkan terlebih dahulu untuk diminta keterangan. Kalau tidak terbukti, maka dikembalikan ke jabatan semula. Kalau terbukti, selain dicopot darijabatannya, maka dia harus diproses pidananya,” kata Fickar.
Terkit dengan hal itu, Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi Iwan Sumule menolak untuk berkomentar terkait hal itu. Sebab, ia menghormati penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20. Namun, ia memastikan akan menjelaskan dugaan kasus tersebut dan langkah yang akan diambil Jaringan Aktivis Pro Demokrasi ke depan pasca-KTT G20 usai.
Sebelumnya, Iwan mengatakan bahwa desakan dari pihaknya adalahupaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusiPolri. Sebab, selama ini, Kapolri selalumenyebut bahwa akan melakukan ”bersih-bersih” dengan menindak anggotaPolri yang melakukan pelanggaran disiplin, etik, tanpa pandang bulu.
Sementara itu, Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso mengatakan, kasus setoran pertambangan ilegal di Kaltim yang mencuat karena pengakuan Ismail Bolong yang kemudian disusul permintaan maafnya itu diduga terjadi karena tekanan dari pihak tertentu. Isu tersebut dinilai akan semakin menjatuhkan citra Polri di masyarakat. Sebab, publik mengira bahwa langkah saling sandera di antara para perwira tinggi Polri memang benar adanya.
”Yang pasti, adanya polemik dari yang semula Ismail Bolong menyetor dan kemudian meralatnya, menunjukkan apratur kepolisian, terutama Divisi Propam yang diberikan kewenangan untuk memberantas pelanggaran anggota polisi, termasuk di level jenderal, tidak jalan,” tutur Sugeng.
Adanya polemik dari yang semula Ismail Bolong menyetor dan kemudian meralatnya, menunjukkan apratur kepolisian, terutama Divisi Propam, yang diberikan kewenangan untuk memberantas pelanggaran anggota polisi termasuk di level jenderal, tidak jalan.
Menurut Sugeng, Ismail Bolong ketika masih menjadi anggota kepolisian seharusnya diajukan ke sidang komisi kode etik Polri serta para pihak atau pejabat kepolisian yang diduga terlibat diperiksa. Namun, hingga saat ini kasus tersebut tidak pernah diajukan ke sidang etik maupun berlanjut ke proses pidana. Padahal, Kadiv Propam Polri telah mengirim surat ke Kapolri dengan nomor: R/1253/IV/WAS.2.4./2022/DIVPROPAM pada 7 April 2022 lalu. Hal itu dinilainya sebagai upaya saling sandera di antara para perwira tinggi polisi.
Oleh karena itu, Sugeng mengingatkan bahwa masyarakat menunggu janji Kapolri untuk bertindak tegas bagi siapa saja yang melanggar hukum dan tidak ikut dalam gerbong perubahan Polri. Sementara, agar kepercayaan kepada Polri kembali meningkat, cara itulah yang harus dilakukan.
Terkait dengan hal itu, Kompas mencoba menghubungi Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto yang disebut menerima setoran. Namun, pesan singkat yang dikirimkan hanya tertanda telah dibaca tanpa dibalas. Demikian pula pertanyaan yang dikirimkan kepada Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Benny Mamoto juga tertanda dibaca, tetapi tidak ada jawaban.
Adapun anggota Kompolnas Yusuf Warsyim mengatakan bahwa saat ini Kompolnas masih fokus untuk memantau pengamanan acara KTT G20 di Bali agar kegiatan tersebut berjalan sukses. Namun, Yusuf memastikan bahwa Kompolnas telah berkoordinasi dengan internal Polri tentang video pernyataan dari Ismail Bolong.
”Setelah selesai KTT G20, Kompolnas akan ke Polda Kaltim untuk berkoordinasi terkait Ismail Bolong,” kata Yusuf.
Yusuf mengatakan, selain KTT G20, Kompolnas juga sedang fokus untuk mengawal kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya yang belum lama terjadi di wilayah hukum Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Sebab, Kompolnas memiliki atensi besar dengan kasus terhadap perempuan dan anak. (NAD)