Pengadilan HAM Paniai yang Masih Jauh Panggang dari Api
Pengadilan kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Papua, dinilai sebatas formalitas, belum optimal menggali kebenaran materiil peristiwa pada 2014 itu. Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lain dikhawatirkan bernasib sama.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Ketika kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, mulai dibawa ke meja hijau, muncul harapan peristiwa yang terjadi pada 2014 itu akan bisa terkuak seluruhnya dan semua pelaku yang terlibat ditindak. Namun, sejak sidang kasus itu bergulir di Pengadilan Negeri Makassar, 21 September lalu, pemenuhan harapan tersebut dinilai masih jauh panggang dari api.
Pengadilan yang menyidangkan terdakwa tunggal, yakni Mayor (Purn) Isak Sattu (64), dinilai sebatas formalitas dan belum optimal untuk menggali kebenaran materiil peristiwa kelam itu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang memantau jalannya persidangan menyebut terdapat perbedaan cukup mencolok antara berkas dakwaan yang disusun jaksa dengan hasil penyelidikan Komnas HAM. Selain itu, terdapat kelemahan lain.
”Sebenarnya, tujuan dari hasil penyelidikan Komnas HAM dan pemeriksaan di persidangan itu, kan, membuktikan bahwa peristiwa itu betul-betul terjadi sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau tidak,” ujar komisioner Komnas HAM Periode 2017-2022, Amiruddin Al Rahab, Kamis (10/11/2022). Mengungkap ada tidaknya kejahatan itu sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa juga esensi dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Namun, realitasnya, konstruksi peristiwa Paniai dilokalisasi hanya pada kejadian bentrokan di Markas Koramil Enarotali, Paniai, 8 Desember 2014. Padahal, hasil penyelidikan Komnas HAM yang menyimpulkan ada pelanggaran HAM berat dalam tragedi tersebut menunjukkan bahwa peristiwa Paniai merupakan gabungan dari sejumlah peristiwa yang saling bertalian. Selain kejadian pada 8 Desember, ada peristiwa lainnya, yakni pada 7 Desember 2014 saat sejumlah anggota TNI memukul sejumlah warga di sekitar Pondok Natal Gunung Merah setelah warga adu mulut dengan seorang anggota TNI yang hampir menabrak warga. Jeda waktu antara interaksi pertama antara korban dan Tim Yonif 753/AVT dengan kejadian pada 8 Desember menunjukkan ada kegagalan pimpinan atau komandan Tim Yonif 753/AVT untuk mengendalikan setidaknya lima anggota timnya.
”Komnas melihat komando tertinggi dalam peristiwa itu semua tidak ada. Terdakwa dalam kasus itu, yaitu Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, menurut aturan kemiliteran, tidak punya kewenangan untuk mengendalikan anggota koramil,” ujar Amiruddin.
Konstruksi dakwaan yang disusun jaksa, lanjutnya, lebih berisi intensi penafsiran pertanggungjawaban komando. Akibatnya, pertanggungjawaban kesalahan hanya dikenakan kepada individu dengan kedudukan jabatan tertinggi di lokasi pada saat kejadian. Padahal, ketentuan dalam pemidanaan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat juga berlaku bagi setiap orang yang terlibat, seperti pelaku lapangan, komando efektif di lapangan, pelaku pembiaran, bahkan termasuk percobaan, pemufakatan jahat, dan pembantuan yang diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
”Operasi sebesar itu apakah masuk akal jika penanggungjawabnya adalah dia (Isak Sattu)? Paham tidak? Inilah masalah di pengadilan ini. Dakwaan jaksa berhenti hanya pada peristiwa di Makoramil tersebut,” tutur Amiruddin. Isak saat peristiwa Paniai terjadi menjabat sebagai perwira penghubung Kodim 1705 Paniai.
Sementara itu, dari hasil penyelidikan Komnas HAM, terlihat bahwa peristiwa Paniai berkaitan pula dengan Operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Operasi Aman Matoa V.
Tak hanya Amiruddin, Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar juga melihat, dari dakwaan jaksa tergambar bahwa konsep pertanggungjawaban komando tidak tergambar. Kejaksaan Agung justru seolah memiliki intensi untuk memaknai bahwa konsep pertanggungjawaban kesalahan dari pasal pelanggaran HAM berat itu hanya ke sosok yang dinilai memiliki posisi tertinggi di tempat kejadian perkara. Terdakwa Isak Sattu yang merupakan perwira penghubung dan representasi dari Kodim Paniai dianggap sebagai sosok dengan pangkat dan tanggung jawab tertinggi di lokasi, yaitu Kantor Koramil Enarotali.
Amiruddin berharap, pengadilan dapat menggali kebenaran materiil dari peristiwa yang mengakibatkan lima orang meninggal itu sehingga keadilan yang diharapkan oleh masyarakat dapat terpenuhi. Yang tak kalah penting, tegaknya keadilan bisa merebut hati masyarakat Papua atau selaras dengan keinginan pemerintah untuk memenangkan hati masyarakat Papua.
Tentu harapannya hakim bisa memeriksa lebih teliti, lebih dalam, dan lebih adil nanti. Sebab, menjatuhkan vonis kepada satu tersangka yang belum tentu bersalah ini belum bisa mendatangkan rasa adil. Apalagi, jika nanti vonisnya keliru,” tuturnya.
Indonesia juga, menurut dia, dapat kehilangan kesempatan untuk mengoreksi pendekatan keamanan di Papua. Selain itu, yang lebih dikhawatirkannya, ketidakseriusan pengungkapan peristiwa Paniai bisa merembet ke 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya. Jika kasus-kasus itu nantinya dibawa pula ke meja hijau, dikhawatirkan sebatas formalitas, menindak orang yang belum bisa mendatangkan rasa adil, dan kasus pelanggaran HAM masa lalu masih akan berselubung tabir. Semoga tidak....