Muktamar Muhammadiyah Juga Bahas Fenomena Rezimentasi Agama
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan bahwa agama memiliki kekuatan dahsyat, sekaligus aspek sakral bagi energi konstruktif.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain pemilihan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muktamar Ke-48 di Surakarta, Jawa Tengah, pada 18-20 November, juga akan membahas isu-isu strategis agama. Salah satunya paham rezimentasi agama terkait radikalisme agama, ekstremisme agama, serta identitas politik agama.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, saat media gathering di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (7/11/2022), mengatakan, Muktamar juga akan mencoba melihat secara obyektif dan jernih permasalahan agama. Muhammadiyah akan mencoba menawarkan solusi, tidak hanya menemukan masalah.
Dalam forum itu, Muhammadiyah juga menjaring umpan balik dari para pemimpin redaksi media massa. Mereka ingin mendapatkan masukan dari media terkait isu yang menarik yang bisa diangkat dalam forum muktamar. ”Satu di antaranya adalah tentang rezimentasi agama, atau rezimentasi paham agama. Ini mungkin sesuatu yang baru ketika isunya tentang radikalisme agama, ekstremisme agama, identitas politik agama, dan sebagainya,” kata Haedar.
Rezimentasi agama, menurut dia, adalah masalah di mana agama secara bias dan subyektif ingin digabungkan dengan negara dan menjadi kekuatan negara. Hal itu berlawanan dengan ide dan cita-cita Indonesia sebagai Negara Pancasila Darul Ahdi Wa Syajadah.
Haedar menyebut bahwa saat ini terdapat masalah-masalah tertentu pada umat beragama. Misalnya, politik identitas, kekerasan yang dikaitkan ke agama. Ini menjadi salah satu alasan disusunnya buku Risalah Islam yang Berkemajuan. Permalasahan itu juga terjadi pada entitas lain dengan berbagai afiliasi.
”Sesungguhnya, juga ada di identitas lain itu ada banyak problem juga, hanya kita mungkin saat ini tidak membuka cakrawala itu saja,” katanya.
Dia berharap, ke depan, energi agama bisa dikembangkan ke arah positif. Ini bisa jauh lebih dikembangkan daripada energi negatif. Agama memiliki kekuatan yang dahsyat, dan merupakan sesuatu yang sakral untuk dijadikan sebagai energi konstruktif. Menurutnya, itulah Islam yang Berkemajuan.
Haedar juga mengajak seluruh warga untuk memenuhi ruang publik dengan energi positif. Menurutnya, negara harus bersatu dengan berbagai latar belakang berbeda, dengan kekuatan agama. Dengan demikian, Indonesia bisa menjadi kekuatan besar.
Muktamar Muhammadiyah dilakukan secara sistematis. Materi-materi yang dibahas dalam Muktamar Ke-48 bahkan sudah dikirimkan tiga bulan sebelum pelaksanaan.
Guru Besar Sosiologi ini juga menyampaikan, penguatan program dakwah komunitas di muktamar ini seharusnya manfaatnya tidak hanya bisa dirasakan oleh warga Muhammadiyah dan umat Islam. Namun, juga bisa dirasakan oleh bangsa di tengah dinamika yang dihadapinya.
Dari kacamata Haedar, pada abad ke-21, dengan kemajuan teknologi dan modernitas akan terjadi perubahan lanskap dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya bangsa.
”Indonesia yang masyarakatnya punya budaya gotong royong dan relasi sosialnya kuat akan tercerabut jika komunitas ini rentan. Maka, Muhammadiyah akan memperkuat komunitas ini baik di pedesaan, perkotaan, maupun tempat-tempat terjauh,” katanya.
Dia menyebut, saat ini Muhammadiyah menjadi satu-satunya organisasi yang memiliki jaringan yang luas, kuat, dan akuntabel. Jaringan yang terstruktur dengan rapi mulai dari pusat sampai ranting ini merupakan modal besar dalam memperkuat dakwah komunitas.
Selain itu, Muktamar Ke-48 juga akan memperkuat konsep basis, jiwa atau alam pikiran, dan praktik beragama yang menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan. Muktamar menjadi ajang untuk menyusun konsep besar sebagai tindak lanjut dari Islam Berkemajuan yang disebut dengan Risalah Islam yang Berkemajuan.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menambahkan, paham rezimentasi agama sudah tampak jelas terjadi di Indonesia. Paham agama dari kelompok tertentu dipaksakan untuk diterima oleh kelompok lain. Jika ini dibiarkan, bisa menjadi masalah serius karena sikap negara seharusnya berdiri di atas semua kelompok dan agama. Warga harus dibebaskan menganut keyakinan sesuai dengan agama dan kepercayaan. ”Formalisasi kehidupan beragama bisa menjadi masalah serius jika ada kelompok yang memaksakan paham agama tertentu dan itu didukung oleh pemerintah atau negara,” katanya.
Mu'ti mencontohkan, di Arab Saudi ada paham agama muktazilah yang bermasalah karena menimbulkan kebijakan yang tidak sama dengan muktazilah. Itu menjadi salah satu noktah hitam untuk pengembangan teknologi Islam Pertengahan.
Indonesia, menurutnya, tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama, memaksakan paham agama tertentu kepada kelompok lain. Sebab, di Indonesia sudah jelas kebebasan beragama dijamin konstitusi. Seluruh warga negara berhak mendapatkan kebebasan dan negara tidak boleh berpihak pada agama tertentu. Semua pihak harus mendapatkan ruang dan rasa aman sesuai dengan agama dan keagamaan.
”Gejalanya sudah ada makanya diangkat dalam isu Muktamar. Gejala yang terlihat, misalnya, paham tertentu tidak boleh di Indonesia diikuti dan kalau terjadi akan menjadi masalah soal keyakinan berdasarkan siapa dan berapa pengikutnya,” ungkapnya.
Muhammadiyah akan terus mendorong kemajemukan dan negara harus berdiri di atas semua kelompok untuk bisa beribadah sesuai dengan konstitusi UUD 1945.