Indeks Negara Hukum Indonesia Stagnan Selama Tujuh Tahun Terakhir
Sejak 2015, awal pemerintahan Presiden Jokowi, hingga saat ini, skor Indeks Negara Hukum Indonesia menunjukkan stagnan, hanya naik 0,01 poin. Ini mengindikasikan negara hukum belum menjadi kebijakan prioritas pemerintah.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir atau selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indeks Negara Hukum Indonesia mengalami stagnasi. Tidak ada perubahan berarti dalam perbaikan elemen-elemen hukum di negeri ini dalam kurun waktu tersebut.
Hal tersebut terlihat pada skor Indeks Negara Hukum tahun 2022 yang hanya naik 0,01 poin jika dibandingkan tahun 2015 atau awal-awal pemerintahan Presiden Jokowi. Indeks Negara Hukum Indonesia tahun ini, seperti diluncurkan World Justice Project, Rabu (26/10/2022) malam, ada pada skor 0,53. Angka ini hanya sedikit lebih baik dibandingkan tahun 2015 dengan skor 0,52.
”Kenaikan 0,01 poin dalam tujuh tahun bisa disimpulkan sebagai kondisi yang stagnan. Hal itu terlihat dari posisi Indonesia yang masih sama sejak tahun 2016, yaitu peringkat ke-6 dari 15 negara di tataran regional,” ujar peneliti Centra Initiative, Erwin Natoesmal Oemar, salah satu expert rule of law index World Justice Project untuk Indonesia, Kamis (27/10/2022).
Tahun ini, Indonesia dengan skor 0,53 menempati peringkat ke-64 dari 140 negara di tingkat global dan menempati peringkat ke-9 dari 15 negara di tingkat regional. Skor tersebut lebih baik 0,01 poin dibandingkan tahun sebelumnya di mana Indonesia mencatatkan skor 0,52 pada tahun 2021 dan sama dengan skor tahun 2020. Adapun sejak 2015 hingga 2019, Indonesia mencatatkan skor 0,52.
Ada delapan indikator yang digunakan untuk mengukur Indeks Negara Hukum sebuah negara, yaitu pembatasan kekuasaan pemerintahan, ketiadaan korupsi, pemerintahan yang terbuka, hak-hak fundamental, keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, peradilan perdata, serta peradilan pidana.
Dari delapan indikator tersebut, kondisi pada peradilan pidana dan aspek bebas korupsi menyumbang skor paling rendah, masing-masing 0,39 dan 0,40. Tidak ada perubahan skor sama sekali di kedua indikator tersebut, demikian pula dalam perlindungan terhadap hak-hak fundamental. Penurunan skor justru terjadi pada indikator pertama, yakni constraints on government powers (pembatasan kekuasaan pemerintah) yang sebelumnya 0,67 menjadi 0,66. Sementara itu, kenaikan skor signifikan ada pada indikator keamanan dan ketertiban yang naik 0,03.
Tidak adanya progres dalam perbaikan sistem hukum selama tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa pemerintah tidak melihat isu negara hukum sebagai sebuah kebijakan prioritas.
Pada indikator peradilan pidana, ketika ditelisik lebih jauh, ada beberapa subindikator yang skornya sangat rendah. Dalam sistem peradilan pidana, prinsip tanpa diskriminasi, sistem koreksi yang efektif, dan investigasi yang efektif, dan due process of law (perwujudan dari sistem peradilan pidana yang benar-benar menjamin, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia) masih memiliki skor 0,28-0,37.
Pada indikator ketiadaan korupsi, DPR masih mencatatkan skor terburuk. Ini disusul dengan korupsi di peradilan, kemudian kepolisian/militer, dan terakhir di pemerintahan.
Erwin mengungkapkan, tidak adanya progres dalam perbaikan sistem hukum selama tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa pemerintah tidak melihat isu negara hukum sebagai sebuah kebijakan prioritas dan bahkan terabaikan. Jokowi telah kehilangan momentum untuk memperbaiki sistem hukum dan peradilan dalam masa jabatannya.
”Dalam waktu dua tahun, sulit sepertinya berharap ada legasi perbaikan prinsip-prinsip negara hukum dalam masa presidensinya,” ujarnya.
Ia khawatir kerentanan sistem hukum, terutama dalam aspek korupsi dan peradilan, berpotensi mencederai pesta demokrasi tahun 2024. Seperti diketahui, pada tahun tersebut, negeri ini akan menggelar hajatan besar demokrasi, yaitu pemilu presiden, pemilihan anggota legislatif, dan pemilihan kepala daerah secara serempak untuk pertama kalinya.
Untuk itu, Erwin menyarankan agar pemerintah melakukan berbagai langkah konkret dalam waktu yang relatif singkat yang masih tersedia. Beberapa usulan yang diperkirakan dapat meningkatkan Indeks Negara Hukum Indonesia adalah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim yang memisahkan antara wilayah administrasi dan profesionalitas hakim. Selain itu, mendorong akuntabilitas dan profesionalitas sistem peradilan. Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga perlu segera dilakukan untuk memastikan sistem peradilan pidana yang lebih transparan dan berperspektif perlindungan hak asasi manusia.
Langkah lainnya, menurut Erwin, pemerintah perlu mereformulasi kebijakan yang memperkuat pengawasan yang lebih komprehensif terhadap kinerja aparat penegak hukum dan peradilan.
Secara umum, berdasarkan data Indeks Negara Hukum 2022 untuk 140 negara yang dirilis World Justice Project, Rabu (26/10/2022) pukul 21.00 WIB, dalam lima tahun berturut-turut, Indeks Negara Hukum global terus menurun.
Direktur Riset World Justice Project Alejandro Ponce mengungkapkan, pada 2022, penurunan Indeks Negara Hukum terjadi di 61 persen atau 85 negara dari total 140 negara yang diukur. Kenaikan skor indeks terjadi di 39 persen atau 54 negara. Meskipun demikian, jumlah negara yang mengalami penurunan skor Indeks Negara Hukum tahun ini (dari 2021 ke 2022) lebih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya (dari 2020 ke 2021) yang mencapai dua pertiga dari negara yang disurvei.
Alejandro menjelaskan, ada tiga faktor yang menyumbang penurunan skor global Indeks Negara Hukum. Yang pertama, penurunan terjadi pada indikator pertama, yakni pembatasan kekuasaan pemerintahan yang terjadi di 61 persen dari 140 negara. Penurunan ini terjadi akibat kurang berjalannya mekanisme check and balances oleh legislator, peradilan, audit independen, dan pengawasan dari lembaga nonpemerintah.
Ada tiga faktor yang menyumbang penurunan skor global Indeks Negara Hukum.
Faktor kedua adalah penurunan pada efektivitas sistem peradilan perdata yang terjadi di 61 persen negara yang diukur. Faktor pandemi Covid-19 menjadi salah satu hal yang memengaruhinya, selain lemahnya penegakan hukum dan masih terjadinya diskriminasi. Faktor ketiga adalah penurunan di sektor penghargaan terhadap hak-hak fundamental di 66 persen negara. Faktor ketiga ini terjadi akibat meningkatnya otoritarianisme, diskriminasi, dan semakin sempitnya ruang kebebasan publik.
Adapun penurunan terjadi pada beberapa indikator. Ada tiga faktor yang menyumbang hasil ini. Pertama adalah pembatasan kekuasaan pemerintahan atau mekanisme check and balances dari para legislator, peradilan, audit independen, pengawasan dari lembaga non-pemerintah, Penurunan di indikator ini terlihat di 58 persen negara.
Kedua, efektivitas sistem peradilan perdata yang menurun di 61 persen negara akibat pandemi, lemahnya penegakan hukum dan diskriminasi. Ketiga adalah penghargaan terhadap hak-hak fundamental yang menurun di 66 persen negara yang diukur. Yang ketiga ini terjadi karena meningkatnya otoritarianisme, meningkatnya diskriminasi, dan semakin terbatasnya kebebasan publik.
Sementara itu, Alicia Evangelides selaku Co-Director dari Rule of Law Index World Justice Project mengungkapkan, penurunan Indeks Negara Hukum tersebut menjadi tren yang terus terjadi di 64 persen negara sejak 2015. Hal ini, menurut dia, sebagian besar didorong oleh kecenderungan pemerintahan yang otoriter, termasuk melemahnya sistem check and balances, akuntabilitas yang melemah, dan adanya erosi terhadap hak-hak fundamental.