Tantangan Kian Berat, Kekuatan Politik Harus Dijaga, ”Reshuffle” Masih Memungkinkan
Presiden Jokowi melempar sinyal perombakan keempat Kabinet Indonesia Maju saat ditanya soal ”reshuffle” pascadeklarasi Gubernur DKI jadi bakal capres. Parpol boleh bereaksi. ”Reshuffle” hak prerogatif Presiden.
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintah menekankan bahwa kekuatan politik yang ada sekarang harus dijaga karena tantangan bangsa semakin berat ke depan. Lagi pula, persoalan perombakan kabinet merupakan hak prerogatif Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo kembali melempar sinyal mengenai kemungkinan adanya perombakan (reshuffle) keempat Kabinet Indonesia Maju saat ditanya mengenai kemungkinan reshuffle pascadeklarasi Gubernur DKI Jakarta sebagai bakal calon presiden 2024 oleh Partai Nasdem. Namun, Presiden tidak menjelaskan kapan dan siapa menteri yang akan dicopot dari posisinya.
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani saat dihubungi di Jakarta, Jumat (14/10/2022), mengatakan, sebaiknya partai politik koalisi pemerintah tidak usah turut membahas reshuffle agar tidak menjadi gaduh di antara sesama parpol koalisi. Ia meminta agar persoalan reshuffle dipercayakan saja kepada Presiden karena memang itu adalah hak prerogatif Presiden.
”Soal reshuffle dan siapa menteri yang mau di-reshuffle itu wilayahnya Presiden Jokowi. PPP berharap dalam situasi di mana kehidupan perekonomian kita bisa jadi akan menghadapi masa sulit, kekuatan politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan lebih baik saling menahan diri terkait dengan posisi-posisi kabinet,” ujar Arsul.
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi menyampaikan, terkait reshuffle kabinet, hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 bahwa Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara dibantu oleh menteri-menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk itu, sependapat dengan Arsul, reshuffle merupakan otoritas dan hak prerogatif Presiden.
Baca Juga: Sinyal Perombakan Kabinet, Presiden Menunggu Menteri Nasdem Undur Diri
”PAN membatasi diri tidak ikut campur soal reshuffle kabinet, menjaga fatsun dan etika politik,” tutur Viva.
PAN membatasi diri tidak ikut campur soal reshuffle kabinet, menjaga fatsun dan etika politik.
Sebagai partai koalisi pemerintah, PAN akan terus bekerja maksimal untuk meningkatkan kinerja pemerintah, terutama dalam mempercepat pemulihan ekonomi rakyat pasca-pandemi Covid-19. Dengan demikian, diharapkan ekonomi nasional dapat bergerak kencang dan memberikan efek domino bagi kesejahteraan masyarakat, terbukanya peluang kerja, serta kehidupan bangsa yang semakin baik.
”PAN akan tetap bersama Presiden Jokowi dan berkomitmen untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan sesuai dengan amanat konstitusi dan undang-undang sampai selesai masa pengabdian di pemerintahan,” ucap Viva.
Adapun Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menyerahkan sepenuhnya keputusan reshuffle kepada Presiden karena itu memang hak prerogatif Presiden. Ace meyakini, Presiden memiliki penilaian sendiri terhadap parpol yang menjadi pendukungnya.
”Kami serahkan kepada Bapak Presiden untuk menilai dan mengambil langkah-langkah sesuai dengan kebijakan beliau,” tutur Ace.
Sementara dari informasi di lingkungan Istana disebutkan bahwa Presiden Jokowi tidak akan melakukan perombakan kabinet hingga awal tahun depan. Presiden justru akan menunggu Nasdem menarik mundur sendiri para menterinya karena sudah berbeda pandangan dengan sikap Presiden. Namun, jika Nasdem belum juga menarik menteri-menterinya dari kabinet, bukan tak mungkin Presiden akhirnya terpaksa akan melakukan reshuffle kabinetnya sendiri. (Kompas.id, 13/10/2022)
”Jadi, seperti halnya PAN yang pada Pilpres 2019 mengambil sikap berbeda dengan Presiden Jokowi dan akhirnya satu-satunya menteri asal PAN, yaitu Menpan RB Asma Abnur, pun mengundurkan diri pada 2018. Nasdem seharusnya juga begitu. Menarik menteri-menterinya di kabinet. Namun, jika sampai awal tahun depan tidak ditarik, Presiden bisa merombak kabinetnya sendiri,” ujar seorang pejabat kepada Kompas, kemarin.
Mengutamakan kepentingan rakyat
Sementara itu, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Demokrat Herzaky Mahendra Putra berpandangan, Presiden bisa dan berhak melakukan reshuffle kapan pun dirasa perlu. Sebab, kinerja pemerintah juga merupakan tanggung jawab Presiden, bukan menteri. ”Apalagi, seperti yang pernah disampaikan Presiden Jokowi, tidak ada visi-misi menteri. Yang ada, visi-misi Presiden,” ujarnya.
Hanya saja, lanjut Herzaky, publik bisa dan berhak menilai, apakah reshuffle yang akan dilakukan oleh Presiden itu untuk kepentingan rakyat alias upaya perbaikan kinerja kabinet atau justru hanya untuk memenuhi syahwat politik semata yang mengedepankan kepentingan kelompok atau golongan. Jika reshuffle sekadar untuk mengedepankan kepentingan kelompok dan juga sebagai alat tekan untuk pihak-pihak yang tidak lagi sejalan dengan pilihan sikap yang diambil oleh para menteri atau parpol, itu sangat disayangkan. Sebab, itu tidak ada kaitannya dengan kinerja kabinet.
Kami serahkan kepada Bapak Presiden untuk menilai dan mengambil langkah-langkah sesuai dengan kebijakan beliau.
”Lebih baik Presiden dan koalisi parpol pendukung pemerintahan fokus saja bekerja mengantisipasi ancaman resesi global 2023. Jangan malah Presiden ataupun para pembantunya mencoba mengooptasi, menggergaji hak dan kewenangan parpol sebagai entitas berdaulat di negeri ini, dengan memberikan tekanan atau intimidasi kepada parpol yang sedang berupaya melaksanakan tugas dan tanggung jawab politiknya kepada rakyat dengan mengusung calon pemimpin negeri di Pilpres 2024,” ucap Herzaky.
Menurut Herzaky, tekanan, intimidasi, atau paksaan dalam bentuk apa pun kepada parpol yang mengambil jalan mengusung capres berbeda dari harapan parpol pemerintah lainnya menunjukkan ada kecenderungan upaya konsolidasi kekuasaan oleh oligarki. Sebab, artinya, koalisi pemerintah merasa tidak boleh ada sosok lain di luar kelompok mereka untuk tampil ke permukaan dan berlaga di kontestasi 2024.
”Seakan-akan negeri ini milik sendiri. Seakan-akan, semuanya harus dibaku atur oleh segelintir elite saja. Jika benar ini yang terjadi, demokrasi Indonesia yang sudah rapuh delapan tahun ini menjadi semakin bobrok,” kata Herzaky.
Demokrat berharap, Presiden Jokowi dan koalisinya dalam dua tahun terakhir ini fokus memperbaiki nasib rakyat dan iklim demokrasi Indonesia yang semakin tidak kondusif. Bukan malah sibuk memikirkan upaya melanggengkan kekuasaan.
Menjaga stabilitas pemerintahan
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, melihat, perombakan keempat Kabinet Indonesia Maju sangat kecil kemungkinan terjadi. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi hal tersebut.
Pertama, wacana reshuffle muncul tidak langsung dari Presiden, melainkan partai koalisi pemerintahan, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kedua, untuk menjaga keseimbangan dan menjaga stabilitas pemerintahan dibutuhkan soliditas dari partai koalisi Jokowi. Apalagi, tantangan ke depan luar biasa berat, seperti resesi.
Berbahaya juga kalau Nasdem bisa ada dalam koalisi non-pemerintahan, pihak oposisi. Ini akan membuat musuh baru bagi Presiden Jokowi, sedangkan Presiden ingin menjaga stabilitas dan konsolidasi pemerintahan. Dan stabilitas itu bisa dijaga kalau partai-partai yang ada sekarang ini masih dirangkul dan masih dijaga.
”Berbahaya juga kalau Nasdem bisa ada dalam koalisi non-pemerintahan, pihak oposisi. Ini akan membuat musuh baru bagi Presiden Jokowi, sedangkan Presiden ingin menjaga stabilitas dan konsolidasi pemerintahan. Dan stabilitas itu bisa dijaga kalau partai-partai yang ada sekarang ini masih dirangkul dan masih dijaga,” ucap Ujang.
Ketiga, kecil kemungkinan reshuffle terjadi karena Ketua Umum Nasdem Surya Paloh hingga kini tetap berkomitmen untuk menjaga pemerintahan Jokowi hingga 2024. Lagi pula, sebelum mendeklarasikan Anies, Surya Paloh sudah meminta izin kepada Presiden Jokowi.
Keempat, Presiden pasti juga mempertimbangkan soal posisi Nasdem yang merupakan parpol pertama yang menyatakan dukungan terhadap Jokowi sebagai capres pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Kebersamaan yang telah dijalin selama lebih dari delapan tahun tersebut tidak mungkin dirusak di tengah jalan hanya karena persoalan dukungan Nasdem terhadap Anies. Toh, setiap parpol memiliki independensi dan visi-misi sendiri dalam mengusung seseorang untuk maju di konstestasi pilpres.
Baca Juga: Presiden: Menteri Harus Kerja Ekstra karena Perombakan Kabinet Masih Terbuka
”Jadi, saya melihat, peluangnya kecil reshuffle itu. Kalau sekadar masukan dari partai koalisi Jokowi, lalu juga sekadar ketidaksukaan terhadap Anies, saya melihat, tantangan ke depan tidak sederhana, tidak semudah yang dibayangkan, resesi di depan mata. Itu sangat jelas dibutuhkan kekuatan, stabilitas politik dan pemerintahan,” tutur Ujang.
Karena itu, Ujang berpandangan, reshuffle tidak diperlukan jika hanya untuk mengganti menteri yang berasal dari Nasdem. Kecuali, tolok ukur reshuffle tersebut lebih pada kinerja menteri. Perombakan kabinet pun menjadi tidak terhindarkan.
”Justru, jika menteri dari Nasdem diganti, Nasdem akan mendapatkan banyak simpati dari publik. Sebab, publik akan melihat bahwa Nasdem sebagai pihak yang dizalimi,” kata Ujang.