Mutasi disebut bagian dari alih tugas jabatan dan wilayah penugasan di Polri. Namun, sejumlah pihak meyakini mutasi terkait dengan tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober lalu.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja, KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS - Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo memutasi Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta. Langkah mutasi diambil sepekan setelah tragedi yang menewaskan hingga 131 orang di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Meski demikian, pihak Polri menyatakan mutasi Nico bagian dari alih tugas jabatan dan wilayah penugasan yang biasa terjadi di Polri.
Mutasi tersebut tertuang dalam Surat Telegram Nomor ST/2134/X/KEP/2022. Nico Afinta dimutasi ke jabatan baru, yakni Staf Ahli Sosial Budaya Kapolri. Kemudian, sebagai gantinya adalah Inspektur Jenderal Teddy Minahasa Putra yang sebelumnya menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat. Sejak berkarier di kepolisian pada 1993, Teddy pernah menduduki sejumlah jabatan penting. Ia, misalnya, pernah menjadi ajudan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2014-2017. Selain itu, pada 2018, Teddy didapuk menjadi Kepala Polda Banten menggantikan posisi Listyo Sigit Prabowo.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo membenarkan adanya mutasi tersebut. Namun, ia tak menjawab saat ditanya apa ada kaitannya antara mutasi dan Tragedi Kanjuruhan.
Ia hanya menyampaikan bahwa mutasi adalah hal yang alamiah bagi personel Polri. ”Tour of duty (alih tugas jabatan) dan tour of area (wilayah penugasan). Mutasi adalah hal yang alamiah di organisasi Polri dalam rangka promosi dan meningkatkan kinerja organisasi,” ucap Dedi.
Sebelum keputusan mutasi ini keluar, muncul desakan dari berbagai pihak agar Kapolri mencopot Nico dari posisi Kapolda Jawa Timur. Salah satunya seperti disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Menurut Usman, pencopotan Nico penting karena dia memegang unsur keamanan tertinggi di Jatim. Karena itu, Nico sepatutnya bertanggung jawab penuh atas keselamatan masyarakat, terutama di Stadion Kanjuruhan.
Tetap usut tuntas
Dihubungi secara terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, meyakini, keputusan Kapolri memutasi Nico terkait dengan Tragedi Kanjuruhan. Ia pun berharap Polri tetap berkomitmen menyelesaikan kasus tersebut.
”Jangan sampai mutasi tersebut menghilangkan upaya pengusutan siapa yang bertanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan,” tambahnya.
Meski banyak pihak yang meminta Nico dicopot, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso justru berpandangan sebaliknya.
Menurut dia, Kapolda Jatim tidak bertanggung jawab atas peristiwa itu. ”Yang dimintakan sebagai pengamanan memang dikerahkan dari Polda Jatim, tetapi di bawah kendali operasi dari Kapolres Malang. Jadi, pimpinan di lapangan adalah Kapolres Malang sehingga Kapolda Jatim tidak dapat dimintai pertanggungjawaban langsung,” kata Sugeng.
Sugeng pun mempertanyakan kesalahan yang dilakukan oleh Nico Afinta. Ia meminta Inspektorat Khusus Polri menjelaskan yang sebenarnya dilakukan Nico.
”Apakah terdapat suatu perintah dari Kapolda Jatim yang dapat dimaknai di lapangan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang menyalahi prosedur dalam penggunaan gas air mata? Saya rasa tidak, karena dia pimpinan tertinggi. Pada saat pengamanan adalah Kapolres,” kata Sugeng.
Ia berpandangan, insiden di Kanjuruhan merupakan tindakan salah prosedur dari komandan dan petugas lapangan.
Sebelum Nico, Kapolri sudah lebih dulu menonaktifkan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Malang Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat pada Senin (3/10). Ferli dimutasi sebagai perwira menengah Sumber Daya Manusia Polri. Pada hari yang sama, sembilan anggota Brimob Polda Jatim dinonaktifkan. Yang dinonaktifkan adalah komandan batalyon, komandan kompi, dan komandan peleton.
Masih dalam perkara ini, penyidik Polri telah menetapkan enam tersangka, tiga di antaranya personel Polri. Selain itu, sebanyak 20 personel kepolisian diduga melakukan pelanggaran etik dan menjalani proses lebih lanjut di Polri. Enam di antaranya personel Polres Malang. Sisanya, dari Satuan Brimob Polda Jatim.