Prajurit dan Romantika Anak Kolong
Kehidupan prajurit dan anak-anaknya saling terkait satu sama lain. Lika-liku ”anak kolong” menjadi refleksi keterbatasan yang dialami prajurit selama ini. Perbaikan kesejahteraan prajurit jadi penting diperhatikan.
Pagi hari milik Kopral Dua Haris Aditya (35) kini lebih cerah dan leluasa. Unit rumah dinas di Rumah Susun Kompleks Perumahan Angkatan Darat Kodam Jaya, Cililitan, Jakarta Timur, yang kini ditempatinya lebih luas ketimbang rumah kontrakan yang ditempati sebelumnya.
Unit rumah dinas yang disediakan di Rumah Susun Kompleks Perumahan Angkatan Darat (Rusun KAPD) Kodam Jaya berukuran cukup luas. Unit yang ditempati Aditya, contohnya, berukuran sekitar 45 meter persegi, ukuran rumah yang cukup leluasa untuk keluarga kecilnya bersama tiga anak dan istrinya, Yeni Noviani (33). Apalagi rusun itu hanya berjarak 2,3 kilometer dari tempat Aditya bertugas di Kodam Jaya, Cawang, Jaktim.
”Rumah dinas lebih nyaman (dibandingkan rumah kontrakan), dan lebih dekat juga ke Kodam,” ujarnya yang ditemui pertengahan September lalu.
Tak demikian halnya yang pernah dirasakan Alamsyah sekitar 53 tahun silam saat mengikuti ayahnya bertugas sebagai prajurit di Jakarta. Rumah dinas di Berlan, Matraman, Jaktim, yang ditempati keluarganya berukuran sempit dan hanya tersedia satu kamar. Saking sempitnya rumah dinas peninggalan pemerintah kolonial Belanda itu, menurut Alamsyah, membuat ia dan saudara-saudaranya harus tidur di kolong tempat tidur.
”Saya dan saudara beneran tidur di kolong karena saudara saya banyak,” kata Alamsyah mengenang masa lalunya sebagai ”anak kolong” pada tahun 1969.
Kiranya yang dialami Alamsyah cukup menggambarkan arti anak kolong menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991). Dalam kamus itu disebutkan bahwa anak kolong adalah istilah kasar untuk anak serdadu yang terlahir di tangsi atau markas pada zaman Hindia Belanda. Asal-usul istilah ini berasal dari keadaan tangsi anggota KNIL (tentara Belanda) yang sangat memprihatinkan.
Mubiarto Sudiro (51) memiliki pengalaman yang berbeda. Saat mengikuti ayahnya yang berpangkat sersan mayor bertugas di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, pada 1978, keluarganya hanya bisa menempati rumah sederhana untuk prajurit, berdinding bambu dan berlantai tanah di Desa Losari, Kabupaten Semarang. Rumah itu pun berdiri di tengah hutan dan semak belukar.
Untuk menjangkau sekolah, Mubiarto yang akrab disapa Tato ini mengaku ia dan empat saudaranya harus berjalan kaki beberapa kilometer dengan melalui jalan setapak. Tak tersedianya sekolah dengan akses jalan yang memadai membuat orangtuanya memutuskan menitipkan Tato di rumah neneknya di Kabupaten Banyumas untuk melanjutkan sekolah menengah atas.
”Supaya saya tidak terlalu lelah menuju sekolah, akhirnya saya disekolahkan di Banyumas. Di sana, saya dititipkan di rumah nenek saya,” tuturnya.
Baca juga: Menjaga Asa Prajurit TNI
Menengok lagi fasilitas rumah dinas di Rusun KPAD Kodam Jaya yang cukup baik pun membuat Aditya bersyukur bisa menempati salah satu unit di rusun itu sejak 2018. Sebab, dengan menempati rumah dinas, ia dapat menggunakan uang yang sebelumnya untuk membayar sewa rumah kontrakan dialokasikan untuk ditabung guna biaya pendidikan anak-anaknya. Sebelum memperoleh giliran menempati rumah dinas, pada 2018, ia tinggal di rumah kontrakan dengan biaya sewa Rp 750.000 per bulan, sementara gajinya saat itu Rp 3,2 juta.
Terbatas
Namun, belum semua prajurit seberuntung Aditya yang bisa menikmati rumah dinas meskipun fasilitas itu merupakan hak prajurit seperti diatur dalam Pasal 50 Ayat 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Hingga kini, ketersediaan rumah dinas bagi prajurit belum memenuhi kebutuhan ideal. Menurut data Kementerian Pertahanan menyebutkan, TNI masih kekurangan 237.735 unit rumah dinas atau 51,7 persen dari kebutuhan 459.514 unit rumah dinas. Selain itu, belum tentu pula rumah dinas yang tersedia juga selayak Rusun KPAD Kodam Jaya yang ditempati Aditya.
Kopral Dua Muhammad Husni (35), ini contohnya, sudah enam tahun bertugas di Jakarta sebagai prajurit Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara (Kopasgat TNI AU), belum juga memperoleh giliran menempati rumah dinas prajurit. Seperti yang pernah dialami Aditya, Husni pun harus mengalokasikan tak kurang dari Rp 1,5 juta setiap bulan untuk membayar sewa rumah kontrakan, dari gajinya sekitar Rp 4 juta.
Demikian pula halnya Sersan Kepala (Serka) Husin Abdullah yang sudah lima tahun ini bertugas di Dinas Penerangan TNI AL, Jakarta, juga tak jauh berbeda kondisinya. Hingga kini, ia masih mengontrak rumah di sekitar tempatnya bertugas di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur. Untuk sewa rumah kontrakan itu, setiap bulan harus ia bayar Rp 750.000, menghabiskan seperempat gajinya.
Tak terawat
Bagi sebagian prajurit yang memperoleh rumah dinas juga belum tentu memperoleh rumah dinas yang layak untuk ditempati. Pembantu Letnan Satu Ahmad Safari ini salah satunya, saat ditugaskan di wilayah teritorial TNI AD di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, sekitar lima tahun lalu harus menempati rumah dinas bekas peninggalan kolonial Belanda yang kondisinya tak terawat di Desa Bantiran, Kabupaten Semarang. Kamar mandi, salah satunya, banyak alami kerusakan. Jaringan listrik juga kerap padam jika hujan deras dan cuaca buruk.
Maudy (24), anak sulung Safari mengungkapkan, kondisi rumah dinas yang memprihatinkan itu cukup membuat ia dan adiknya merasa takut. Baru beberapa tahun belakangan ini, menurutnya, kondisi rumah dinas itu membaik. “Semakin ke sini, fasilitas perumahan semakin baik karena diperbaiki. Lampu-lampu diperbaiki sehingga lebih terang, jadi tidak takut,” katanya.
Baca juga: Keterbatasan Bayangi Masa Depan Anak Prajurit
Sebagai prajurit berpangkat rendah, diakui Safari, ia dan keluarganya tetap bersyukur bisa memperoleh rumah dinas meski kondisinya memprihatinkan. Dengan demikian, gajinya yang terbatas Rp 4,5 juta per bulan bisa ia gunakan untuk membiayai pendidikan anaknya. Namun, karena biaya pendidikan pun tinggi, sehingga gaji maupun tunjangan pendidikan untuk anak yang diperoleh, tetap tak cukup untuk membiayai kuliah Maudy di akademi keperawatan pada 2018 lalu.
Apalagi, kata Safari, anak keduanya saat itu juga masih sekolah menengah pertama. Untuk memenuhi kekurangan itu, istrinya dan Maudy berinisiatif mengembangkan ternak bebek petelur, untuk dijual telurnya. Adapun Safari tak ikut terlibat aktif dalam peternakan itu karena prajurit dilarang berbisnis seperti diatur dalam Pasal 2 Huruf d UU TNI,
Dari peternakan itu, Maudy bisa membiayai kuliahnya. Bahkan kini, menurutnya, omzet penjualan telur bebek dari peternakan yang ia dan keluarganya kembangkan sudah mencapai Rp 30 juta per bulan. “Sekarang, hasilnya untuk keluarga,” ucapnya.
Adanya pertenakan itu membuat Safari tak lagi khawatir akan masa pensiunnya. Jika pada umumnya prajurit yang pensiun hanya bisa bekerja sebagai tenaga keamanan, Sapari mengaku, ia akan memilih menjadi peternak bebek petelur yang telah dijalani keluarganya.
Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan, Marsekal Pertama TNI Juniar Panjaitan, melalui konfirmasi tertulisnya, menyampaikan, hingga saat ini pemenuhan rumah dinas bagi prajurit belum bisa ideal, sehingga TNI masih kekurangan 237.735 unit rumah dinas. Hal ini antara lain diakibatkan adanya keterbatasan anggaran untuk pembangunan rumah negara atau rumah dinas prajurit. “Hal lainnya adalah banyaknya rumah dinas prajurit yang dihuni oleh purnawirawan dan pihak lain yang tak berhak,” katanya.
Bantuan
Untuk memenuhi kekurangan rumah dinas prajurit, menurut Juniar, Kemenhan telah mengajukan permohonan bantuan pembangunan rumah dinas prajurit kepada Badan Perencana Pembangunan Nasional dalam bentuk surat berharga syariah negara (SBSN). Bantuan melalui SBSN tahun anggaran 2021 digunakan untuk membangun 10 tower rusun yang memuat 1.556 unit rumah dinas. “Pada tahun anggaran 2022, jumlah yang dibangun sebanyak 29 tower rusun untuk 2.156 unit rumah dinas,” ucapnya.
Baca juga: Tabah Hadapi Keterbatasan demi Seragam Loreng
Pengamat isu pertahanan dan keamanan dari Centra Initiative, Al Araf pun mengingatkan, pemenuhan rumah dinas sebagai bagian dari kesejahteraan prajurit penting diperhatikan. Untuk itu, anggaran yang ada dapat dievaluasi dan direalokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. "Kesejahteraan yang baik akan membuat profesionalitas TNI meningkat. Kalau tentara hidup baik, komandannya bisa mengontrol prajuritnya. Dengan demikian tak ada konflik dengan sipil seperti yang terjadi saat ini," terangnya.
Ketua Umum Ormas Persatuan Putra Putri TNI AD, Isfan Fajar Satryo juga menyampaikan, kesejahteraan prajurit penting diperhatikan. Sebab, keterbatasan prajurit berdampak pada anak-anaknya, seperti ada saja yang jadi preman.
Namun demikian, seperti diungkapkan Alamsyah, ia tetap bangga sebagai anak prajurit. Hidup di lingkungan prajurit membuat nilai ksatria tertanam di benaknya, salah satunya menjadi orang baik di tengah masyarakat.