Berkumpul di Bali, Para Pemimpin Agama Akan Bahas Model Baru Dialog Antaragama
Para pemuka agama dari berbagai belahan dunia akan berdialog membahas persoalan yang dihadapi dunia. Rekontekstualisasi norma-norma keagamaan yang menjadi pembenaran konflik juga akan dibahas dalam forum itu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menginisiasi dialog antar-pemimpin agama terkemuka dari sejumlah negara di dunia. Selain merekontekstualisasi norma-norma keagamaan yang selama ini dijadikan pembenaran konflik, forum tersebut juga akan mengidentifikasi nilai-nilai agama yang dapat menjadi fondasi peradaban bersama semua komunitas agama.
Forum dialog para pemuka agama itu digelar dalam bentuk konferensi spiritual bertajuk Forum Agama G20 yang akan berlangsung di Bali, 2-3 November nanti. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggandeng Liga Muslim Dunia sebagai penyelenggara (co-host) acara yang akan diikuti oleh sejumlah pemimpin agama dari Asia, Australia, Eropa, Afrika, dan Amerika tersebut.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/9/2022), mengungkapkan, gagasan dasar dari forum ini adalah keinginan untuk membuat satu platform diskusi yang lebih jujur antar-pemimpin agama dan langsung menyasar pada persoalan global yang dihadapi berbagai bangsa dan agama.
Sekalipun dialog antaragama sudah terbangun, bahkan menjadi tradisi sejak lama, upaya itu masih sebatas menjadi ajang diplomasi antartokoh agama. Buktinya, yang muncul dalam dialog itu hanya ungkapan dan seruan-seruan mulia dari tiap-tiap pemuka agama. Bahkan, nyaris tidak pernah ada agenda untuk menyelesaikan persoalan nyata yang belum tuntas sampai saat ini.
Berbagai dialog yang sudah dijalankan selama puluhan tahun juga tidak membuat keadaan membaik. Menurut Yahya, kondisi justru memburuk. ”Karena itu, kita harus mencari model baru dialog antaragama, dan yang paling fundamental dengan kejujuran,” ucapnya.
Yahya melihat sampai saat ini masih banyak masalah besar dan memprihatinkan di berbagai belahan dunia. Persoalan itu, di antaranya, adalah persekusi serta sengketa pembangunan rumah ibadah. PBNU berpandangan, persoalan-persoalan seperti ini harus dibicarakan secara terbuka agar bisa menemukan jalan keluar. Syaratnya, semua pihak harus berterus terang dan mengakui bahwa persoalan itu memang terjadi.
”Kita harus jujur mengakui, di berbagai kalangan, khususnya di lingkaran pembuat kebijakan, agama masih dianggap sebagai masalah. Yang dipikirkan potensi masalah yang muncul dari agama-agama. Sebagai orang yang beriman, saya dan warga NU khawatir, bagaimana mungkin agama yang mestinya menjadi cara Tuhan menolong umat manusia justru menjadi masalah,” tutur Yahya.
Oleh karena itu, menurut dia, persoalan yang pertama akan dibahas dalam Forum Agama G20 adalah beban historis dan luka kelompok-kelompok agama. Permasalahan tersebut harus dibicarakan secara jujur dengan mengakui luka-luka yang diderita sehingga kenyataan yang sesungguhnya bisa diketahui.
Forum itu juga akan membicarakan perlunya rekontekstualisasi norma-norma keagamaan yang selama ini dijadikan pembenaran konflik dan saling menyakiti. Ia mencontohkan, ada ungkapan ”kafir halal darahnya” yang merupakan norma bermasalah dan perlu direkontekstualisasi. Sebab, hal ini selalu dijadikan pembenaran untuk bertindak diskriminatif, persekusif, serta memusuhi kelompok agama lain.
Kita juga perlu mengidentifikasi nilai-nilai apa saja yang harus kita perjuangkan bersama agar agama yang beda bisa koeksistensi dengan damai. Bila perlu, lakukan rekontekstualisasi nilai-nilai tradisional yang bermasalah.
Bukan hanya itu, para pemuka agama juga diagendakan untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang sudah dimiliki agama masing-masing, di antaranya nilai keadilan dan toleransi. Nilai-nilai yang sama antaragama perlu diidentifikasi secara rinci dan jelas karena bisa menjadi fondasi peradaban bersama semua komunitas agama.
”Kita juga perlu mengidentifikasi nilai-nilai apa saja yang harus kita perjuangkan bersama agar agama yang beda bisa koeksistensi dengan damai. Bila perlu, lakukan rekontekstualisasi nilai-nilai tradisional yang bermasalah,” tutur Yahya.
Juru Bicara Forum Agama G20 Najib Azca menambahkan, forum yang diprakarsai PBNU ini menjadi penting bagi Indonesia di panggung dunia karena membawa kembali agama ke panggung utama diplomasi. Sebab, selama ini agama cenderung tersisih dari panggung utama diplomasi global. Kontribusi ini akan menjadi babak baru peradaban global, di mana NU berkontribusi penting dalam menginisiasi kegiatan tersebut.
Ia menuturkan, Forum Agama G20 tidak hanya akan dilakukan di Indonesia, tetapi juga diagendakan di India pada gelaran G20 selanjutnya. Acara ini tidak sekadar simbolis di tingkat elite, tetapi menjadi sesuatu yang substantif dan juga menjadi pergerakan global. ”Tahun ini pionirnya Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia. Selanjutnya di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu,” ucap Najib.