Pembahasan RUU Papua Barat Daya Belum Mencapai Titik Temu
Dengan adanya sejumlah persoalan dalam RUU Papua Barat Daya yang belum mencapai titik temu, rencana pengesahan tingkat pertama RUU tersebut ditunda hingga pekan depan.
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan pembentukan daerah otonom baru atau DOB Provinsi Papua Barat Daya belum juga mendapat titik temu, mulai dari persoalan cakupan wilayah hingga penetapan lokasi ibu kota. Kedua hal tersebut masih akan dibahas kembali dalam rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya pada Senin (12/9/2022) pekan depan. Setelah disepakati, menurut rencana, langsung diparipurnakan di tingkat satu.
Panitia Kerja (Panja) RUU Papua Barat Daya sedianya akan menyelesaikan pembahasan RUU Papua Barat Daya di tingkat satu pada Senin (5/9/2022). Bahkan, sejumlah menteri sudah dijadwalkan hadir dalam pengambilan keputusan tingkat satu tersebut.
Namun, sejumlah pihak, mulai dari pemerintahan daerah di Provinsi Papua Barat, Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat dan Majelis Rakyat Papua Barat, tokoh masyarakat, hingga panitia pemekaran Papua Barat Daya, masih ingin menyampaikan aspirasi secara langsung terkait pembentukan DOB Papua Barat Daya. Untuk itu, panja membuka rapat dengar pendapat dengan mereka selama sekitar tiga jam di ruang Komisi II DPR, Kompleks Senayan, Jakarta, Senin sore ini.
Baca juga: DPR Kejar Target Pembahasan RUU Papua Barat Daya Tuntas Awal September
Sebelumnya, dalam rapat Panja RUU Papua Barat Daya pada 31 Agustus lalu, telah dibahas 154 daftar inventarisasi masalah (DIM). Setidaknya ada dua isu yang masih akan dibahas, baik oleh pemerintah maupun panitia pembentukan daerah otonom baru Papua Barat Daya.
Dua isu yang dimaksud terkait dengan lokasi ibu kota dan cakupan wilayah. Dalam DIM yang telah disusun Komisi II DPR, telah ditetapkan ibu kota Papua Barat Daya berkedudukan di Kota Sorong. Namun, saat mengadakan kunjungan ke sana, sejumlah masyarakat menyampaikan aspirasi agar ibu kota dipindah ke Kabupaten Sorong.
Terkait dengan cakupan wilayah, keinginan masyarakat di Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Kaimana juga masih terbelah. Sebagian ingin dua kabupaten tersebut bergabung dalam wilayah Papua Barat Daya, tetapi sebagian lainnya menginginkan agar tetap berada di wilayah administrasi Papua Barat.
Dalam rapat dengar pendapat, Senin ini, Penjabat Gubernur Papua Barat Paulus Waterpauw mengatakan, pihaknya mengusulkan Kabupaten Sorong menjadi ibu kota Papua Barat Daya. Kabupaten Sorong dinilai lebih layak dibandingkan kabupaten/kota lain karena memiliki kesesuaian pola ruang dan rencana struktur ruang, ketersediaan lahan yang cukup besar, daya tampung lingkungan hidup, risiko bencana yang lebih rendah, serta konektivitas wilayah yang relatif baik.
Berkaitan dengan cakupan wilayah, lanjut Paulus, pihaknya telah mendapatkan dua surat, baik dari masyarakat adat Bomberay di Fakfak maupun juga dari masyarakat adat di Kaimana. Adapun, surat dari masyarakat adat Kaimana masih di dalam amplop dan belum dibaca.
Namun, surat dari masyarakat adat Bomberay sudah dibuka. Di dalam surat tersebut, disampaikan, secara prinsip, terkait penggabungan Fakfak ke Papua Barat Daya, masyarakat adat menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada pemerintah pusat. Namun, masyarakat adat Bomberay meminta agar pusat juga memfasilitasi pertemuan antara pemangku kepentingan wilayah adat Bomberay dan pemangku kepentingan di Provinsi Papua Barat Daya. Tujuannya untuk mencapai pemahaman bersama.
”Apabila Fakfak masuk menjadi bagian dari Papua Barat Daya, diharapkan agar dicapai melalui proses yang elegan dan diperhatikan secara proporsional terkait penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Fakfak yang meliputi bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian, infrastruktur, dan bidang pengisian aparatur pemerintahan di tingkat provinsi yang terbentuk,” ujar Paulus.
Baca juga: Presiden: Pemekaran Papua Permintaan dari Bawah
Setelah DOB Papua Barat Daya ditetapkan, pemerintah pusat dan DPR juga diharapkan segera memproses pembentukan DOB Kabupaten Kokas dan Kota Fakfak. Ini, disebutnya, dalam rangka mempersiapkan pembentukan DOB Bomberay Raya ke depan.
Bupati Fakfak Untung Tamsil membenarkan soal aspirasi masyarakat Fakfak yang meminta kepada pemerintah pusat agar segera merealisasikan pembentukan Provinsi Bomberay Raya. Hal ini diklaim atas dasar pertimbangan kesepahaman sejarah, filosofi, ikatan emosional, dan sosiologis sebagai daerah otonomi baru Provinsi Bomberay Raya.
”Ini memperhatikan semangat perjuangan putra-putri asli di wilayah Bomberay di wilayah Kabupaten Fakfak dalam memperjuangkan sejarah integrasi Irian Barat ke dalam wilayah NKRI yang erat kaitannya dengan sejarah nasional Indonesia,” ucap Untung.
Namun, Ketua Tim Percepatan Pemekaran Papua Barat Daya Lambertus Jitmau tidak sepakat dengan gagasan Pemprov Papua Barat terkait letak ibu kota Papua Barat Daya. Pihaknya sejauh ini tetap mengusulkan agar letak ibu kota Papua Barat Daya berada di Kota Sorong. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan penunjukan Kota Sorong sebagai ibu kota Papua Barat Daya.
Belum diputuskan
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menegaskan, panja akan mencoba mengakomodasi masukan dari berbagai pihak. Hal tersebut masih akan dibahas kembali dalam rapat panja pada Senin (12/9/2022) pekan depan.
“Jadi, kami belum memutuskan. Kami hari ini cuma mendengarkan aspirasi. Setelah itu kami rapat panja lagi. Kecenderungan semua fraksi tadi mendukung apa yang menjadi aspirasi yang telah disampaikan,” ujar Doli.
Menurut rencana, apabila kedua isu yang dipersoalkan sudah mencapai titik temu, RUU Papua Barat Daya akan langsung diambil keputusan tingkat pertama bersama sejumlah menteri. ”Jadi tinggal kita tunggu Senin mendatang,” kata Doli.
Doli melihat, terhadap dua kabupaten, yakni Fakfak dan Kaimana, keinginan mereka sebetulnya adalah membuat provinsi baru, yakni Bomberay Raya. Mereka sebenarnya tak mempersoalkan pembentukan Papua Barat Daya.
Untuk itu, terkait aspirasi kepada pemerintah untuk membentuk Provinsi Bomberay Raya, Komisi II DPR akan meneruskannya kepada pemerintah. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar yang ikut hadir dalam rapat pun akan mengonsultasikan hal tersebut terlebih dahulu kepada Mendagri Tito Karnavian.
”Tentu kami sebagai DPR menerima aspirasi itu. Dalam arti, akan kami bicarakan pada saat kami membicarakan peraturan pemerintah tentang desain besar otonomi daerah dan penataan daerah bersama Mendagri pada 21 September mendatang,” ucap Doli.
Terkait dengan gagasan letak ibu kota Papua Barat Daya, Doli menyebut, dalam diskusi informal di antara semua pihak, sebetulnya letak antara Kota Sorong dan Kabupaten Sorong tidaklah terlalu jauh. Artinya, kalaupun ibu kota ditetapkan di ujung Kota Sorong atau di ujung Kabupaten Sorong, itu juga sudah masuk ke dalam Kota Sorong.
Untuk itu, menurut dia, tidak ada lagi persoalan letak ibu kota Papua Barat Daya ini. Pihaknya tinggal menunggu surat resmi dari penjabat gubernur Papua Barat untuk memperkuat naskah akademik yang menyatakan Kabupaten Sorong layak dijadikan ibu kota Papua Barat Daya.
“Dia harus sebutkan berapa luas lahan nanti yang akan disiapkan di sana, bagaimana soal skema pembiayaan pembangunannya, lalu juga tanggung jawab pemerintah Provinsi Papua Barat seperti apa. Nah, kami tunggu. Kalau itu besok sampai di kami, kami mungkin akan ambil keputusan di Kabupaten Sorong,” kata Doli.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, menambahkan, untuk mengantisipasi potensi konflik yang muncul akibat penentuan ibu kota dan batas wilayah, Komisi II DPR akan terus menjalin dialog dengan berbagai pihak.
Bahtiar menyampaikan, dinamika dalam pembahasan itu hal yang biasa. Pada prinsipnya, pemerintah akan semaksimal mungkin mengakomodir aspirasi dari berbagai pihak. Lagi pula, pada prinsipnya, semangat semua pihak sama, yakni agar RUU Papua Barat Daya segera disahkan.