Benny Susetyo: Atasi Politik Identitas Tanpa Konstitusionalisme
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Benny Susetyo pertahankan disertasi di Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid, Jakarta. Atasi politik identitas, jangan pakai cara konstitusionalisme dan hukum positif.
Oleh
SUHARTONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Politik identitas yang merusak keberagaman dan keberagamaan suatu bangsa bisa terjadi di mana pun di dunia, tak terkecuali di Amerika Serikat yang tergolong negara dengan ekonomi maju. India yang mayoritas penduduknya Hindu pun tak luput dari politik identitas, seperti halnya terjadi di Indonesia beberapa kali. Dengan pengalaman berbagai kasus politik identitas yang pernah terjadi selama ini, penyelesaian kasusnya diharapkan tidak lagi secara konstitusionalisme, apalagi dengan pendekatan hukum positif dan kodrati.
Pasalnya, dengan konstitusionalisme, dalam tatanan masyarakat yang demokratis, cara itu tak lebih dari sekadar ”kulit luar” yang menyembunyikan dominasi elite kekuasaan atau kelas penguasa. Proses demokrasi telah memaksa pemerintah akhirnya menanggapi tekanan publik, baik karena partai politik, untuk saling mengalahkan guna mendapat kekuasaan atau vested interest yang menggelorakan tuntutan tak henti-hentinya kepada elite berkuasa. Penerapan hukum positif atau hukum kodrati juga dinilai justru menimbulkan ketidakadilan bagi pihak-pihak yang menjadi korban.
Saat mempertahankan disertasinya yang berjudul ”Konstelasi Kekuasaan di Balik Komunikasi Politik Joko Widodo dalam Isu Intoleransi (Analisis Wacana Kritis Politik Identitas dalam Kasus Meliana 2016)” di Program Studi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid, Jakarta, Rabu (24/8/2022), Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Benny Susetyo mengatakan, dengan pengalaman kasus Meliana di Tanjungbalai, Sumatera Utara, ke depan sebaiknya gunakan sarana murni di lapangan lewat tuturan bahasa seperti diplomasi dan dialog langsung.
”Sarana murni di lapangan adalah tuturan bahasa yang bisa diterjemahkan dalam diplomasi dan dialog langsung. Dalam konteks Pancasila adalah musyawarah mufakat dengan semua pihak yang ada,” ujarnya.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya dinilai telah melakukan musyawarah mufakat dengan pemahaman yang baik sehingga UUD 1915 dan Pancasila menjadi dasar negara dan ideologi bangsa seperti sekarang ini. ”Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil menyelesaikan kasus Sampit dan lainnya dalam konteks kebangsaan dan NKRI,” kata Benny.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menerapkan sarana murni dengan diplomasi dan dialog saat menyelesaikan konflik Ambon dan Poso. ”Potensi politik identitas yang bisa terjadi lagi di masa datang seperti dalam Pemilihan Presiden 2024 semoga bisa diredam dengan upaya Presiden Joko Widodo yang telah merangkul lawan-lawan politiknya dalam pemerintahan, seperti Pak Prabowo (Prabowo Subianto), Pak Sandiaga (Sandiaga Uno), dan Pak Zulkifli (Zulkifli Hasan),” papar Benny.
Meliana sebagaimana diberitakan adalah kasus perempuan di Tanjungbalai pada 2016 yang divonis 18 bulan dengan tuduhan penistanaan agama. Kasus Meliana sebelumnya berujung pada kerusuhan massa yang akhirnya tak hanya merusak dan membakar fasilitas agama tertentu, tetapi juga rumah Meliana.
Ujian doktoral Benny dipimpin ketua dewan penguji Dr Udi Rusadi, Msc dan enam anggota tim penguji lain. Hadir dalam acara itu, antara lain, Ketua MPR Bambang Soesatyo, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Sidarto Dhanusubroto; Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mufti; Romo Muji Sutrisno; Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono; Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit; serta pakar komunikasi Universitas Indonesia, Effendi Ghazali.
Abdul Mufti yang menjadi penanya kehormatan menyatakan, politik identitas terjadi di banyak negara. ”Di tengah bangsa yang ekonominya maju, politik identitas juga akan terjadi. Bagaimana relasi politik identitas dengan perekonomian?” tanyanya. Hal yang sama juga diuraikan oleh Sidharto.
Udi Rusadi menyatakan, dengan doktor bidang komunikasi yang diraih Benny Susetyo, lengkaplah apa yang dimiliki Benny sebagai aktivis dan juga doktor. Sebelumnya, Benny dinyatakan lulus dengan yudisium sangat memuaskan.
Tak jamin keadilan
Mengutip teori Walter Benjamin, salah seorang filsuf Sekolah Frankfurt generasi awal 1920-1930, Benny mengatakan, argumen kedua perspektif hukum, yaitu positive law (hukum positif) dan natural law (hukum kodrat), bermuara pada hal yang sama dalam penggunaan sarana yang absah. Hukum positif menekankan pada sarana dalam mencapai tujuan. Adapun hukum kodrat bicara tentang tujuan melegitimasi sarana. ”Kedua perspektif hukum itu menjebak insitusi politik pada penggunaan kekerasan dan penindasan manusia,” ujarnya.
Menurut Benny, pandangan Benjamin tentang hukum kodrat ataupun hukum positif tidak menjamin tercapainya keadilan. Titik temu dogma dasar dari kedua gagasan ini, di mana tujuan yang adil dapat dicapai dengan cara yang dibenarkan, dan cara yang dibenarkan digunakan untuk tujuan yang adil, ternyata tidak mampu mencapai keadilan bagi Meliana. Di sisi lain, hukum positif melalui pendekatan konstitusionalisme dengan menyerahkan penyelesaian kasus Meliana melalui proses hukum justru melahirkan penebusan hukuman pidana yang lebih berat, kecemasan, dan ketidakpastian akan nasib korban.
Namun, dengan menengahi pertentangan kedua hukum tersebut, lanjut Benny, Benjamin bergerak menuju proses dekonstruksi kekuasaan non-kekerasan yang disebutnya sebagai sarana murni di mana hukum menempatkan sarana yang membebaskannya dari tujuan. Dekonstruksi ini hanya semata-mata melibatkan bahasa dan teknik percakapan yang dilakukan dalam proses interaksi sosial dan politik.
”Pernyataan-pernyataan Joko Widodo adalah penggunaan bahasa aktor sosial sebagai bentuk konsiliasi tanpa kekerasan dengan mengutamakan persetujuan dari kekuatan-kekuatan yang bersaing dalam masyarakat,” ujarnya.
Akhirnya, kata Benny, dengan menggunakan bahasa dan proses komunikasi, aktor sosial dapat melakukan dua langkah politik sekaligus. Selain menciptakan batas politik dengan menarik jarak terhadap tindakan yang mengancam citra kekuasaannya yang positif atau tindakan kekerasan oleh aktor lain, juga menggunakan bahasa untuk mengabstraksikan posisinya.
Ini dilakukan dengan menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki adalah tindakan yang melindungi semua, termasuk minoritas. Dengan menarik jarak, aktor menempatkan diri dan kekuasaan yang dimiliki pada posisi abstrak dan normatif. Semakin abstrak dan normatif, makin mampu aktor menghindari tindakan politik dan hukum yang nyata.