Ketika Bung Karno ditahan, Guntur Soekarno kehilangan teman diskusi. Ia pun kemudian berkorespondensi dengan pemimpin negara, seperti Indira Gandhi dan Moammar Khadafi, untuk meminta saran.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
Sejak dahulu, Indonesia telah berada dalam pusaran agenda dan kepentingan banyak pihak di dunia. Berbagai kisah yang memberikan gambaran tentang posisi Indonesia di tengah konstelasi global itu kemudian dituangkan dalam berbagai tulisan oleh putra Presiden pertama RI, Guntur Soekarnoputra.
Tahun 1970-an, kata Guntur, tekanan kepada Bung Karno beserta keluarganya begitu kuat dan masif. Sebagai aktivis politik, pergerakan Guntur menjadi sangat terbatas. Tukar gagasan dan diskusi mengenai berbagai persoalan menjadi tidak mudah dilakukan. Sementara, sang ayah yang merupakan mentor sekaligus teman diskusi sedang ditahan. Namun, keterbatasan itu tidak membuatnya kurang akal.
”Kan, keluarga Bung Karno dengan keluarga Jawaharlal Nehru dekat sekali. Maka, saya punya ide untuk berkomunikasi dengan putrinya yang pada waktu itu sudah menjadi Perdana Menteri India,” tutur Guntur dalam acara peluncuran buku Intelijen dan Diplomasi, Dahulu dan Kini yang merupakan kumpulan tulisannya di berbagai media massa. Acara peluncuran itu dilakukan secara daring dan luring pada Sabtu (16/7/2022).
Putri Jawaharlal Nehru yang dimaksud Guntur adalah Indira Gandhi. Segera, Guntur menulis surat yang ditujukan kepada Indira Ghandi. Saat itu, kata Guntur, ia dibantu oleh seorang sekretaris di bidang politik dari Kedutaan Besar India di Jakarta yang bersedia membawa langsung suratnya ke Indira Gandhi.
Surat Guntur pun berbalas. Sang Perdana Menteri India itu memberikan tanggapan dan saran-saran. Dalam suratnya, Guntur meminta saran untuk bergerilya politik. Indira disebut memberikan saran kepada Guntur untuk tetap merendah, juga memberikan saran agar terus menulis tetapi tidak untuk menyerang pihak tertentu.
”Yang penting, ideologi dan pikiran-pikiran Bung Karno tetap dipegang. Dan, jaga sisa kader Bung Karno agar jangan ditangkap,” kata Guntur mengutip beberapa saran yang diberikan Indira Gandhi melalui surat balasannya.
Yang penting, ideologi dan pikiran-pikiran Bung Karno tetap dipegang. Dan, jaga sisa kader Bung Karno agar jangan ditangkap.
Pengalaman lainnya adalah korespondensi Guntur dengan pemimpin Libya, Moammar Khadafi. Waktu itu, Guntur melihat Khadafi sebagai sosok pemimpin yang dengan keras menyerang Orde Baru. Karena itu, Guntur bermaksud untuk mengirim surat ke Moammar Khadafi. Karena tidak ada siapa pun yang bisa membantu, Guntur mengirimkan suratnya melalui jasa pos.
Tidak disangka, suratnya berbalas. Meski di belakang amplop tidak tertulis nama Moammar Khadafi, tetapi Taraboulus, Libya, Guntur yakin bahwa surat itu berasal dari Moammar Khadafi. Taraboulus adalah nama Arab dari Tripoli, ibu kota Libya.
Dengan Moammar Khadafi, Guntur masih memperoleh balasan hingga surat ketiganya. Namun, suratnya yang keempat tidak berbalas. Kemudian, dalam sebuah kesempatan, seorang pejabat dari Badan Intelijen Strategis (Bais) yang ia kenal memberitahukan bahwa surat-suratnya ke Libya telah disensor.
”Dia bilang (dalam pertemuan) empat mata, Mas Tok (nama sapaan Guntur), kalau kamu kirim surat lagi, terutama ke Libya itu hati-hati karena sekarang itu semua surat-surat kamu disensor oleh Bais. Dia bilang, jangan surat-suratan dululah,” kata Guntur menirukan ucapan sang pejabat Bais.
Gagasan Bung Karno
Dalam kesempatan peluncuran buku tersebut, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, buku yang ditulis Guntur Soekarno tersebut memperlihatkan kepemimpinan Bung Karno sebagai Bapak Bangsa sekaligus sebagai pemimpin bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Konstelasi dunia saat itu yang diwarnai perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur mendapatkan perimbangan melalui penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
”Gagasan yang sangat genuine dari Bung Karno dengan mengadakan Konferensi Asia Afrika sekaligus untuk mengoreksi life line imperialism, sebuah bentuk penjajahan yang terjadi atas bangsa-bangsa Asia dan Afrika,” kata Hasto.
Selain itu, kata Hasto, Bung Karno saat itu juga melakukan diplomasi dengan pendekatan ganda terhadap negara-negara di dunia. Ambil contoh, ketika Bung Karno datang ke Arab Saudi, ia menanam pohon mimba di Padang Arafah yang kemudian dikenal sebagai Pohon Soekarno. Bung Karno juga menggunakan diplomasi bunga anggrek ke pemimpin Korea Utara yang kemudian tanaman itu disebut sebagai Bunga Kimilsungia atau berdiplomasi dengan Mesir dengan pohon mangga.
Dalam kerangka itu, menurut Hasto, buku Intelijen dan Diplomasi, Dahulu dan Kini memberikan bukti otentik sekaligus sumber sejarah primer mengenai kehebatan diplomasi luar negeri Indonesia yang bebas aktif. kemudian, Guntur dinilai memberikan perspektif yang lebih luas mengenai diplomasi Bung Karno dalam membangun dunia yang bebas dari kolonialisme.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI-P Djarot Saiful Hidayat berpandangan, diplomasi yang mengutamakan kedekatan hati terbukti sangat mengena dan menginspirasi negara-negara terjajah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Hal itu telah memberanikan banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk memutuskan nasib bangsanya sendiri.
”Maka, tantangan bagi bangsa Indonesia adalah membangun kedaulatan dalam bidang politik, membangun kemandirian dalam bidang ekonomi, serta membangkitkan semangat kepribadian dalam kebudayaan,” ujar Djarot.
l’histoire se répète. Sejarah seperti selalu berulang. Pengalaman masa lalu penting untuk direfleksikan sebagai pembelajaran dalam menghadapi masa depan. Maka, sebagaimana kata Bung Karno, jas merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.