Presiden Jokowi Minta Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Tidak Terulang
Kekerasan seksual di lembaga pendidikan semestinya bisa dicegah. Presiden Jokowi pun berharap kejadian serupa tidak terulang lagi di tempat berbeda.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual yang menimpa siswa di institusi pendidikan umum maupun lembaga pendidikan agama diharapkan tidak terulang lagi. Pembinaan pada lembaga pendidikan maupun penangangan korban perlu segera diperbaiki lebih baik lagi.
Presiden Joko Widodo meminta insiden pelecehan seksual tidak lagi terjadi di berbagai lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan agama di Indonesia. Pembinaan terhadap lembaga-lembaga pendidikan perlu dilakukan, termasuk yang saat ini menjadi lokasi kejadian. Arahan ini disampaikan PresidenJokowi kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (12/7/2022).
”Harus ada semacam mitigasi atau trauma healing untuk para santrinya. Presiden meminta supaya ada perhatian kepada lembaga-lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya lembaga pesantren agar hal itu tidak terjadi lagi,” tutur Muhadjir seusai melaporkan perkembangan tugasnya di Istana Merdeka, Jakarta.
Baca juga:
Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren Kembali Terjadi
Kekerasan seksual yang kini mencuat di beberapa lembaga pendidikan tampaknya puncak gunung es. Perlakuan tidak semestinya dari orang-orang yang semestinya mendidik siswa pun umumnya tidak baru terjadi satu dua kali, tetapi terjadi di banyak tempat.
Harus ada semacam mitigasi atau trauma healing untuk para santrinya. Presiden meminta supaya ada perhatian pada lembaga-lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya lembaga pesantren agar hal itu tidak terjadi lagi.
Di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, misalnya, kekerasan seksual dilakukan Muhammad Subchi Azal Tsani atau MSAT (42) yang menjabat sebagai wakil rektor di ponpes tersebut. Bahkan, yang bersangkuta putra dari pengelola ponpes tersebut. Belum yang terjadi di Depok, dan beberapa lokasi lainnya baru-baru ini.
Kekerasan seksual oleh MSAT disinyalir terjadi sejak 2017 dan dilaporkan ke polisi sejak 2018. Polisi sempat menghentikan penyelidikan. Namun, November 2019, ada korban lain yang melapor ke polisi dan akhirnya MSAT diburu dan menjadi tersangka.
MSAT dipanggil penyidik beberapa kali, tetapi tak pernah hadir. Polisi akhirnya melakukan upaya paksa Kamis (7/7/2022). Sempat terjadi perlawanan dan penghadangan dari ratusan simpatisan dan santri. Polisi akhirnya menangkap 320 orang yang menghalangi penyelidikan. Sebanyak lima orang ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan 315 lainnya masih berstatus saksi. MSAT akhirnya menyerahkan diri di Ponpes Kamis malam lalu. Kini ia mendekam di rumah tahanan.
Izin operasional Ponpes Shiddiqiyyah pun sempat dicabut Kementerian Agama pekan lalu. Namun, minggu ini, Menko PMK Muhadjir Effendy sebagai Menteri Agama ad interim membatalkan pencabutan izin tersebut.
Mesti dibedakan antara pelaku dan lembaga
Lebih jauh Muhadjir menjelaskan, kekerasan seksual itu tidak melibatkan lembaga kendati pelaku adalah bagian dari lembaga tersebut, bahkan dia orang penting di lembaga itu. ”Tetapi itu tindakannya individual, jadi oknum. Kita harus bisa memisahkan antara lembaga di mana kejadiannya, locus-nya, dan siapa pelakunya. Dengan demikian, tidak terkait langsung itu. Kemudian, pelakunya kan sudah ditangkap. Termasuk juga orang-orang yang kemarin menghalangi petugas,” tuturnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Karena itu, dinilai tidak ada alasan untuk tidak memulihkan lembaga itu. Justru, tanggung jawab berikutnya adalah memulihkan lembaga itu. Dengan demikian, orangtua yang memiliki anak sebagai santri di pondok tersebut bisa kembali belajar dengan tenang dengan pengawasan yang ketat.
Tidak ada alasan untuk tidak memulihkan lembaga itu. Justru, tanggung jawab berikutnya adalah memulihkan lembaga itu. Dengan demikian, orangtua yang memiliki anak sebagai santri di pondok tersebut bisa kembali belajar dengan tenang dengan pengawasan yang ketat.
Kekerasan seksual juga terjadi di Ponpes Ihya Ulumuddin Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi. Setidaknya, korban mencapai enam orang dengan dugaan pelecehan terjadi di antara 2021-2022. Polisi menangkap MF, pengurus ponpes yang bersembunyi di Lampung, Kamis (7/7/2022).
Selain itu, tindak pidana serupa terjadi di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI), Kota Batu. Pelaku, JE yang pemilik sekaligus ketua yayasan sekolah menengah atas SPI mulai ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Lowokwaru, Kota Malang, Senin (11/7/2022), setelah disidang selama lima bulan.
Kasus di SPI terungkap setelah korban didampingi Komnas Perlindungan Anak dan melapor ke Polda Jatim pada 29 Mei 2021. Saat kasus mencuat Mei 2021, terdapat 14 korban yang melapor ke Polda Jatim. Namun dalam dakwaan, kekerasan seksual disebutkan hanya terjadi pada seorang korban SDS.
Untuk mencegah kejadian-kejadian itu berulang, menurut Muhadjir, setelah ada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kini pemerintah menyiapkan aturan-aturan turunannya. Perangkat hukum ini bisa digunakan baik dalam pencegahan maupun penindakan kekerasan seksual dalam arti luas, bukan hanya di sekolah maupun pondok pesantren.
Selain itu, pemberitaan media massa dinilai sangat membantu. Hal ini sekaligus mengingatkan semua keluarga untuk selalu berhati-hati dan selektif dalam menentukan pendidikan anak. Penindakan juga diharap memberi efek jera.