Polri Bentuk Dua Komisi Kode Etik, Sidang PK Kasus Brotoseno Segera Digelar
Meski sudah ada Peraturan Polisi No 7/2022, Polri juga tetap membentuk Komisi Kode Etik Peninjauan Kembali dan segera membentuk Komisi Kode Etik. Harapannya, sidang peninjauan kembali AKBP Brotoseno segera dijalankan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
Brotoseno disebut telah menjalani hukuman terkait kasus suap tahun 2016. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Ahmad Ramadhan belum bisa menyampaikan hasil keputusan sidang etik. Namun, Brotoseno telah selesai menjalani hukuman dan sidang kode etik. Brotoseno merupakan terpidana suap kasus korupsi cetak sawah di Kalimantan, 2012-2014. Kala itu Brotoseno berpangkat ajun komisaris besar dan bertugas sebagai kepala unit di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim.
JAKARTA, KOMPAS — Menyusul revisi dua aturan etik kepolisian dengan penerbitan aturan baru yang dikodifikasi dalam Peraturan Polisi Nomor 7 Tahun 2022, Polri juga telah membentuk Komisi Kode Etik Peninjauan Kembali dan akan segera membentuk Komisi Kode Etik Banding. Dengan keberadaan dua komisi tersebut, sidang peninjauan kembali atas putusan etik terhadap Ajun Komisaris Besar Brotoseno bisa segera dilaksanakan.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan, setelah menerbitkan Peraturan Polisi Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, pihaknya juga melanjutkan pembentukan struktur yang dibutuhkan untuk melaksanakan peninjauan kembali atas putusan etik terhadap polisi.
Struktur yang dimaksud adalah Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Peninjauan Kembali dan KKEP Banding. Keduanya akan dipimpin oleh Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri serta beranggotakan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Kepala Divisi Hukum Polri, dan staf Sumber Daya Manusia Polri.
Ia menambahkan, KKEP Peninjauan Kembali telah dibentuk berdasarkan rekomendasi tim verifikasi yang dibentuk Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo pekan lalu. Sementara itu, KKEP Banding masih dalam proses. Sebab, rekomendasi yang diberikan oleh tim belum ditandatangani Kapolri.
Struktur yang dimaksud adalah Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Peninjauan Kembali dan KKEP Banding. Keduanya akan dipimpin Inspektorat Pengawasan Umum Polri serta beranggotakan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Kepala Divisi Hukum Polri, dan staf Sumber Daya Manusia Polri.
”Apabila nanti KKEP Banding itu sudah ditandatangani Kapolri, maka akan segera bekerja dan melakukan sidang ulang kembali terkait putusan kode etik pada tahun 2020,” kata Dedi di Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Sidang yang dimaksud adalah peninjauan kembali atas putusan etik terhadap Ajun Komisaris Besar Brotoseno pada 2020. Meski pernah menjadi terpidana, saat itu putusan sidang etik KKEP tidak merekomendasikan pemecatan terhadap Brotoseno. Ia tetap bekerja sebagai penyidik di Badan Reserse Kriminal Polri.
Apabila nanti KKEP Banding itu sudah ditandatangani Kapolri, maka akan segera bekerja dan melakukan sidang ulang kembali terkait putusan kode etik pada tahun 2020.
Brotoseno pernah divonis lima tahun penjara serta denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan karena terbukti menerima suap dalam penyidikan kasus cetak di Ketapang, Kalimantan Barat, tahun anggaran 2012-2014. Ia menjalani hukuman dan bebas bersyarat pada Februari 2020.
Putusan etik terhadap Brotoseno yang tidak merekomendasikan pemecatan dengan hormat memicu kritik publik terhadap Polri. Untuk meresponsnya, Kapolri merevisi dua aturan etik kepolisian, yakni Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri serta Peraturan Kapolri Nomor 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri. Selain direvisi, kedua perkap tersebut digabung menjadi satu dalam Peraturan Polisi No 7/2022.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, mengapresiasi langkah Kapolri yang telah memerintahkan revisi dan menggabungkan dua aturan etik kepolisian menjadi Peraturan Polisi No 7/2022. Pasal 83 Peraturan Polisi No 7/2022 memberikan kewenangan kepada Kapolri untuk meninjau kembali putusan KKEP atau KKEP Banding yang sudah final dan mengikat. Selanjutnya, Pasal 89 menjabarkan tentang pembentukan tim dan KKEP Peninjauan Kembali.
”Dengan pembentukan tim oleh Kapolri untuk meneliti putusan KKEP Brotoseno, kami optimistis tim akan bekerja on the right track dan memenuhi harapan masyarakat agar ada keadilan pada anggota Polri yang telah divonis bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, khususnya terkait kasus korupsi, dapat diberhentikan dengan tidak hormat (PTDH),” ujar Poengky.
Belum cukup
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar mengakui, penerbitan Peraturan Polisi No 7/2022 penting karena telah melahirkan mekanisme peninjauan kembali atas putusan etik yang final dan mengikat. Akan tetapi, hal itu saja belum cukup untuk mengatasi dan mengantisipasi berulangnya polemik yang serupa dengan kasus Brotoseno.
Kebanyakan itu diselesaikan dengan mekanisme etik semata. Yang kami inginkan, setiap pelanggaran itu mesti digeser ke mekanisme pidana.
Dalam hal ini, Brotoseno dihukum dengan mekanisme etik setelah melakukan tindak pidana korupsi. Padahal, selain korupsi, banyak peristiwa pidana lain yang juga melibatkan anggota Polri, di antaranya kekerasan, penganiayaan, dan penggunaan senjata api secara sewenang-wenang. ”Kebanyakan itu diselesaikan dengan mekanisme etik semata. Yang kami inginkan, setiap pelanggaran itu mesti digeser ke mekanisme pidana,” kata Rivanlee.
Ia pun khawatir, keberadaan Peraturan Polisi No 7/2022 yang dilengkapi instrumen peninjauan kembali dan banding itu akan membuat Polri selalu menggunakan mekanisme etik dalam menangani pelanggaran pidana yang dilakukan anggotanya. Oleh karena itu, ke depan, Polri juga harus memberikan jaminan bahwa setiap tindak pidana yang dilakukan oleh polisi akan ditindak melalui peradilan pidana, bukan mekanisme etik yang dilakukan secara internal.