Perombakan Kabinet Dinilai Tak Berjalan Sesuai Skenario
Perombakan kabinet yang sesungguhnya kali ini dinilai tidak sesuai skenario. Hal ini diperkirakan tidak lepas dari konstelasi kekuatan, tawar-menawar, dan sebagainya yang lazim dipikirkan di tahun-tahun politik.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perombakan kabinet yang baru saja dilakukan Presiden Joko Widodo dinilai tidak berjalan sesuai skenario yang direncanakan. Alasan penggantian dua menteri, yakni Menteri Perdagangan serta Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, menimbulkan pertanyaaan. Keduanya dianggap hanya menjadi korban.
”Reaksi pertama itu kebingungan; lho, kenapa kok (menteri) ini diganti dan (menteri) itu diganti? Kriterianya apa? Katakanlah Menteri Perdagangan itu diganti karena dalam beberapa bulan terakhir ini terjadi hiruk pikuk yang meresahkan masyarakat dengan naiknya harga minyak goreng dan sebagainya,” kata ekonom dan pemerhati kebijakan Abdul Malik pada diskusi daring bertajuk ”Reshuffle Kabinet, Upaya Bantu Rakyat atau Bagi-bagi Kursi?” yang digelar Narasi Institute, Jumat (17/6/2022).
Namun, Abdul Malik menuturkan, semua juga paham bahwa, pertama, dalam pemerintahan saat ini ditekankan bahwa menteri tidak boleh punya visi, dan pihak yang boleh punya visi itu presiden. Kedua, beberapa waktu lalu sempat mengemuka dan juga menjadi bahan perdebatan, bahwa sekarang ini naskah atau draf peraturan menteri harus dikirim dulu ke Istana sebelum menteri menandatangani peraturan menteri.
Secara teoretis hal itu memastikan bahwa tidak ada peraturan menteri yang bertentangan dengan program kebijakan dalam visi presiden. Semestinya peraturan menteri yang dikeluarkan oleh Muhammad Lutfi, mantan Mendag sekarang, juga sudah melewati proses itu.
”Ya, karena itu mestinya tidak mudah dipahami bahwa kebijakan-kebijakan kemarin itu adalah kesalahan Pak Lutfi. Atau, setidaknya tanggung rentenglah. Enggak bisa terus kemudian karena kebijakan yang sudah (dikirim ke Istana dan dikaji) oleh Kantor Presiden, terus kemudian keliru, terus menterinya dikorbankan, kan, enggak elok seperti itu,” ujarnya.
Ya, karena itu, mestinya tidak mudah dipahami bahwa kebijakan-kebijakan kemarin itu adalah kesalahan Pak Lutfi. Atau, setidaknya tanggung rentenglah. Enggak bisa terus kemudian karena kebijakan yang sudah (dikirim ke Istana dan dikaji) oleh Kantor Presiden, terus kemudian keliru, terus menterinya dikorbankan, kan, enggak elok seperti itu.
Tak ada yang mengecewakan
Menurut Abdul Malik, penggantian Menteri ATR/BPN juga membingungkan karena sepertinya tidak ada isu yang mengesankan Sofyan A Djalil mengecewakan, yakni apabila ditinjau dari perspektif program-program dan kebijakan Presiden Jokowi. Bahwa ada masyarakat yang kecewa, hal itu dinilai merupakan sesuatu yang pasti karena masyarakat memiliki harapan yang lebih jauh dari pencapaian.
”Tetapi, ketika diukur dengan (tolok ukur) dan benchmark-nya itu adalah program dan kebijakan Pak Jokowi, rasanya Pak Sofyan Djalil juga tidak bermasalah, gitulho. Tapi, kenapa kemudian diganti? Presiden ingin menyerahkan sekian ratus ribu sertifikat atau sekian juta sertifikat juga terjadi, gitu, kan?,” katanya.
Tetapi, ketika diukur dengan (tolok ukur) dan benchmark-nya itu adalah program dan kebijakan Pak Jokowi, rasanya Pak Sofyan Djalil juga tidak bermasalah, gitulho. Tapi, kenapa kemudian diganti? Presiden ingin menyerahkan sekian ratus ribu sertifikat atau sekian juta sertifikat juga terjadi, gitu, kan?
Adalah merupakan hal yang dapat diperdebatkan apabila hal ini dikaitkan dengan kualitas dari pencapaian kebijakan itu sendiri. Namun, hal yang sudah dilakukan Sofyan Djalil juga sudah sejalan dengan kebijakan dan program Presiden Jokowi. ”Jadi, kemudian kita bingung kenapa terus kemudian mereka berdua diganti?,” ujar Abdul Malik.
Apabila berpikir pada tataran yang lebih substantif, Abdul Malik menuturkan, tantangan saat ini ada di persoalan ekonomi. ”Kalau (yang menjadi) masalah ekonomi, kan, core-nya bukan di situ. Ya, kenapa enggak tim ekonomi aja sekalian yang dibongkar semuanya? Gitu, kan,” katanya.
Dia pun mencoba menarik kesimpulan yang dirasanya paling masuk akal. ”Rasa-rasanya kemudian kesimpulan yang paling logis, reshuffle ini, kok, reshuffle yang bukan gagal dalam pengertian tidak mencapai tujuannya saja, tetapi (reshuffle yang) skenarionya enggak jadi jalan,” katanya.
Abdul Malik menyampaikan keraguannya, yakni apakah betul Lutfi dan Sofyan Djalil yang pada mulanya akan diganti. ”Jangan-jangan dua orang itu dicopot hanya sekadar untuk face saving, untuk penyelamatan muka, Presiden yang sudah kadung mengumumkan akan melakukan reshuffle, sudah panggil menteri ini, panggil menteri itu, tetapi kemudian batal melakukan reshuffle karena, ya, kalau sudah tahun-tahun seperti ini, kan, kita juga sudah berpikir mengenai konstelasi kekuatan, tawar-menawar, dan sebagainya, dan sebagainya,” ujarnya.
Jangan-jangan dua orang itu dicopot hanya sekadar untuk face saving, untuk penyelamatan muka, Presiden yang sudah kadung mengumumkan akan melakukan reshuffle, sudah panggil menteri ini, panggil menteri itu, tetapi kemudian batal melakukan reshuffle karena, ya, kalau sudah tahun-tahun seperti ini, kan, kita juga sudah berpikir mengenai konstelasi kekuatan, tawar- menawar, dan sebagainya, dan sebagainya.
Abdul Malik menyimpulkan bahwa perombakan kabinet yang sesungguhnya pada kali ini sudah dibatalkan. ”Jadi, akhirnya sulit saya untuk menghindari sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya rencana reshuffle yang sesungguhnya itu aborted. Kemudian, dua orang (Lutfi dan Sofyan Djalil) inilah, yang kalau dilihat-lihat juga political cost-nya untuk mencopot, mereka berdua itu paling kecil, jadi korban,” katanya.
Ekonom Anthony Budiawan menuturkan, dalam sistem presidensial yang bertanggung jawab bukan menteri, melainkan presiden. ”Nah, seolah-olah reshuffle ini mengatakan tanggung jawab (ada pada) menteri. Jadi, presiden wajib mengganti yang tidak perform. Di sinilah masalah bangsa kita, seolah-olah kita bilang, ini permasalahan perdagangan adalah permasalahan Mendag Lutfi pada saat itu,” katanya.
Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengganti menteri. Di sistem presidensial, hak prerogatif artinya yang bertanggung jawab penuh adalah presiden. ”Jadi, jangan sampai rakyat terkecoh, lalu meminta tanggung jawab menteri. Dan, yang kita dapat adalah seperti begini, yang kita dapat adalah dengan dagang sapi. Nah, ini yang harus diluruskan,” kata Anthony.
Di sistem presidensial, hak prerogatif artinya yang bertanggung jawab penuh adalah presiden. Jadi, jangan sampai rakyat terkecoh, lalu meminta tanggung jawab menteri. Dan, yang kita dapat adalah seperti begini, yang kita dapat adalah dengan dagang sapi. Nah, ini yang harus diluruskan.
Menurut Anthony, isu perombakan kabinet tidak penting dalam sistem presidensial. ”Jadi yang dituntut oleh masyarakat, ketika ada masalah di perdagangan, minyak goreng dan sebagainya, bukan menuntut menteri mundur. (Tapi), menuntut presiden untuk memperbaiki ini semua. Kalau tidak bisa, ya, berarti ada mosi-mosi yang tidak percaya, kan, harusnya begitu,” ujarnya.
Sehubungan dengan kasus minyak goreng, aktivis demokrasi Syahganda Nainggolan menuturkan bahwa meskipun meresponsnya, Lutfi tidak memiliki kekuatan. ”Lutfi enggak punya kekuatan. Dia bukan orang partai, enggak ada yang menjaga dia. Kemudian Menteri ATR, Sofyan Djalil, kan diketahui banyak pihak dia orang JK, dan Jusuf Kalla sudah tidak ada (di kabinet),” katanya.