Berkebalikan dari pandangan umum bahwa pemimpin identik dengan kepintaran dan kekuatan, Jenderal TNI Dudung Abdurachman justru mengajak agar pemimpin penuh dengan kasih sayang. Pengalamannya menunjukkan hal itu.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
Gambaran pemimpin sebagai orang yang berkuasa dan bisa melakukan apa saja sudah lama tertanam di benak khalayak. Terlebih, pemimpin militer yang memang menerapkan hirarki yang jelas antara atasan dengan bawahan. Namun, ketika seseorang pernah mencecap pahit getirnya hidup, maka cara pandangnya saat menjadi pemimpin akan berbeda. Alih-alih menunjukkan kekuasannya, seorang pemimpin justru akan bisa memberikan kasih sayang dan empati kepada bawahan.
Itulah yang disampaikan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman dalam acara peluncuran buku "Loper Koran Jadi Jenderal, Seni Memimpin Jenderal TNI Dudung Abdurachman" karya Imelda Bachtiar, pada Jumat (10/6/2022), di Markas Besar TNI AD, Jakarta.
Bagi Dudung, kepemimpinan tidak hanya dari kepintaran dan dari kekuatan fisik, tetapi juga dari kasih sayang kepada setiap prajurit, kawan maupun atasan. Ketika memimpin sebuah pasukan dengan kelembutan, maka pemimpin bisa dihormati dan dikagumi.
"Pemimpin itu hebat kalau menggunakan empati. Dia menggunakan rasa. Karena mungkin saya berangkat dari orang enggak punya dengan segala keterbatasan. Maka, ketika tumbuh dewasa, saya merasakan susahnya. Jadi, pemimpin itu hebat kalau dicintai anak buahnya," tutur Dudung.
"Pemimpin itu hebat kalau menggunakan empati. Dia menggunakan rasa. Karena mungkin saya berangkat dari orang enggak punya dengan segala keterbatasan. Maka, ketika tumbuh dewasa, saya merasakan susahnya. Jadi, pemimpin itu hebat kalau dicintai anak buahnya"
Ungkapan itu bukan sekadar kata-kata, melainkan lahir dari pengalaman. Dudung muda yang telah ditinggal sang ayah saat usia 12 tahun harus turut membantu ibundanya bekerja. Dari delapan bersaudara, Dudung sebagai anak keenam merasa bertanggung jawab untuk meringankan beban sang ibu.
"Bapak waktu itu dinasnya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) golongan rendah sehingga ketika Bapak meninggal, maka kehidupan ekonomi keluarga memang sangat kekurangan," kata Dudung.
Ketika SMA, tiap subuh Dudung bekerja mengantar koran Kompas dan Pikiran Rakyat ke pelanggan. Tidak hanya itu, Dudung juga membantu sang ibu menjajakan kue klepon dan mengantarnya ke kantin-kantin.
Pernah ketika mengantar kue ke kantin Makodam III/Siliwangi, kue yang dibawanya di tampah ditendang oleh seorang prajurit hingga jatuh berserakan. Dudung ingat, ada 55 butir kue klepon yang jatuh. Saat itulah, ia bertekad untuk menjadi tentara dan sekaligus berjanji untuk tidak bertindak semena-mena.
Pengalaman itu menjadi modal berharga Dudung ketika menapaki karir militernya. Mulai dari Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah, dan lulus pada 1988, selanjutnya ke berbagai penugasan, antara lain Operasi Seroja di Timor Timur, pengamanan di wilayah Maluku Utara, hingga Operasi Pengamanan di Aceh saat masa Darurat Militer tahun 2003.
"Pernah ketika mengantar kue ke kantin Makodam III/Siliwangi, kue yang dibawanya di tampah ditendang oleh seorang prajurit hingga jatuh berserakan"
Tak melulu kekuatan dan kepintaran
Dari pengalamannya itulah, Dudung merefleksikan bahwa kepemimpinan itu tidak melulu hanya soal kepintaran dan kekuatan. Sebaliknya, sentuhan-sentuhan personal kepada atasan, rekan, maupun bawahan, justru bisa mengantar ke kesuksesan. Sebab, sebagaimana ia yakini, Tuhan akan memberikan amanah kepada orang yang sayang kepada orang lain.
"Jadi pemimpin jangan yang arogan, sombong karena pemimpin itu sama saja. Tapi bagaimana dia mengelola organisasi sehingga anak buah itu setia, nurut, tidak dengan ketegangan atau dengan marah-marah. Itu yang disampaikan Jenderal Sudirman bahwa tempat terbaik saya adalah di tengah-tengah prajurit," kata Dudung.
Keyakinan tersebut ia bawa dalam setiap jenjang karir militernya. Ketika menjabat sebagai Gubernur Akademi Militer, Dudung memastikan bahwa setiap hak taruna didapatkan secara penuh, seperti uang lauk pauk. Demikian pula ketika menjadi pimpinan TNI AD, ia menekankan agar setiap pimpinan satuan tidak coba-coba untuk mengambil hak anak buahnya.
"Jadi pemimpin jangan yang arogan, sombong karena pemimpin itu sama saja. Tapi bagaimana dia mengelola organisasi sehingga anak buah itu setia, nurut, tidak dengan ketegangan atau dengan marah-marah. Itu yang disampaikan Jenderal Sudirman bahwa tempat terbaik saya adalah di tengah-tengah prajurit"
Dudung menggarisbawahi, seorang pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang dicintai anak buahnya. Sosok pemimpin semacam itu adalah pribadi yang memperhatikan, mengayomi, dan mengasihi. Dengan demikian, mereka akan mematuhi sang pemimpin.
Tidak hanya itu, lanjut Dudung, ciri seorang pemimpin adalah berani mengambil keputusan dan risiko. Hal itulah yang ia lakukan ketika menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta, ia memerintahkan untuk mencopot baliho bergambar Rizieq Shihab. Bagi Dudung, hal itu dilakukannya karena didasari keyakinan yang kuat.
Keberhasilan tak bisa instan
Dudung merefleksikan, untuk mencapai keberhasilan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mencapai puncak, perjuangan harus terus dilakukan, tidak bisa instan.
"Dia harus punya imajinasi, visi dan misi, cita-cita dan harapan. Kalau tidak punya itu semua, maka akan menjadi pemimpin yang rata-rata air saja," kata Dudung.
Oleh karena itu, Dudung berharap, khususnya kepada generasi muda agar tidak melupakan masa lalu dan tetap berjuang di masa sekarang. Generasi muda diharapkan tidak hanya cukup dengan memiliki cita-cita, namun juga harus memperjuangkannya.
"Buku ini menceritakan bagaimana perihnya kehidupan, bagaimana berjuang, bagaimana mengambil keputusan yang berdampak kepada banyak orang, sehingga yang tidak mungkin menjadi mungkin"
"Buku ini menceritakan bagaimana perihnya kehidupan, bagaimana berjuang, bagaimana mengambil keputusan yang berdampak kepada banyak orang, sehingga yang tidak mungkin menjadi mungkin," kata Dudung.
Presiden Joko Widodo dalam pengantarnya menyampaikan, meski berasal dari keluarga sederhana, Pak Dudung Abdurachman mampu menjadi seorang jenderal di TNI AD. Hal itu memberikan contoh bagi semua anak muda Indonesia agar jangan pernah takut untuk memiliki cita-cita yang tinggi asal mau bekerja keras, punya tekad kuat, serta berani dan fokus memperjuangkan cita-citanya.
Wartawan dan pengamat militer Selamat Ginting, dalam acara peluncuran buku, menyampaikan, sosok Dudung Abdurachman adalah prajurit yang tidak takut kehilangan pangat atau jabatan. Selain itu, ia melihat Dudung sebagai pribadi dengan komunikasi personal yang baik serta peduli kepada anak buahnya.