Selama dua dekade Indonesia telah kehilangan cendekiawan Muslim yang konsisten memperjuangkan Islam, Indonesia, dan kemanusiaan. Mereka adalah Cak Nur, Gus Dur, dan terakhir Buya Syafii.
Oleh
ANITA YOSSIHARA, DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Wafatnya mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma’arif pada 27 Mei lalu masih menyisakan duka mendalam, bukan hanya bagi warga persyarikatan, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Buya Syafii kembali keharibaan Ilahi menyusul Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, guru bangsa lain yang sudah lebih dulu menghadap Sang Khalik.
Kepergiannya ditangisi tak hanya oleh umat Muslim, tetapi juga umat agama lain. Ucapan bela sungkawa dari tokoh dan masyarakat dari beragam latar belakang suku, ras, agama, dan golongan mengalir deras, bahkan hingga saat ini. Sejumlah tokoh lintas agama berdatangan ke Masjid Gedhe, Kauman, Yogyakarta, untuk memberikan penghormatan terakhir.
Presiden Joko Widodo melepas langsung jenazah Buya Syafii menuju peristirahatan terakhir di Taman Makam Husnul Khotimah, Kulon Progo, DI Yogyakarta. Presiden mengenang Buya Syafii sebagai guru bangsa yang hidup dengan penuh kesederhanaan dan selalu menyuarakan pentingnya toleransi antarumat beragama.
Pernyataan itu tidaklah berlebihan. Selama 87 tahun kehidupannya, pria kelahiran Sumpur Kudus, Sumatera Barat itu tidak pernah berhenti menyuarakan tentang keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Kecintaannya terhadap Indonesia, membuatnya selalu lantang melontarkan suara kritis, termasuk untuk para pejabat yang sebenarnya dikenal secara dekat.
Satu bulan sebelum berpulang, Buya Syafii dengan lantang melontarkan pesan untuk para pejabat di negeri ini. “Bangun budaya kearifan. Kearifan itu penting. Pakai bahasa hati, terutama pejabat publik, ya, sehingga tidak menimbulkan pro dan kontra, kontroversi,” kata Buya saat diminta menanggapi polemik pengaturan penggunaan pengeras suara masjid, akhir Februari lalu.
Kritik kepada penyelenggara negara juga disampaikan Buya melalui artikel berjudul “Mentereng di Luar, Remuk di Dalam” di Harian Kompas, 10 November 2021. Melalui artikel itu Buya menggambarkan Indonesia seperti layaknya sebuah restoran yang bersih, gagah, dan mentereng di bagian depan, tetapi jorok di bagian dapur. Di berbagai forum di luar negeri, Indonesia seringkali mendapat penghargaan, namun di dalam negeri masalah sosial, ekonomi, budaya, dan politik masih berantakan.
“Selamat buat Presiden Joko Widodo yang semakin dihargai di tingkat global, tetapi tengok jugalah suasana dapur republik kita yang masih kocar-kacir dengan wajah suram,” tulis Buya.
Soal memberikan kritik untuk para pejabat, Buya memang selalu lugas. Salah satu pengurus Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Ahmad Muttaqin Alim, menceritakan, Buya tak segan menelepon langsung para pejabat saat menemukan ada kebijakan yang dianggapnya tidak benar. “Mau bupati, jenderal, menteri, bahkan presiden pun pernah (ditelepon langsung),” tutur Alim yang tinggal tak jauh dari kediaman Buya Syafii di Nogotirto, Sleman.
Pemikiran, sikap, serta karakter Buya membuat banyak kalangan menaruh hormat dan menempatkannya sebagai guru bangsa. Kepergiaannya menghadap Sang Khalik menimbulkan kegelisahan, siapa yang akan menjadi penerus Buya Syafii?
Buya tak segan menelepon langsung para pejabat saat menemukan ada kebijakan yang dianggapnya tidak benar. Mau bupati, jenderal, menteri, bahkan presiden pun pernah (ditelepon langsung)
Kegelisahan serta harapan serupa muncul saat cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid atau Cak Nur, mangkat 29 Agustus 2005. Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, bahkan, secara khusus menyampaikan harapan akan lahir penerus Cak Nur di masa depan. “Kini ia telah tiada, dan menjadi kewajiban kita untuk mengembangkan nurcholish- nurcholish baru. Hanya dengan cara demikian kita patut disebut pengikut Cak Nur di masa hidupnya,” tulis Gus Dur dalam artikel “Kepergian Setelah Mengabdi” di Harian Kompas, 30 Agustus 2005.
Gus Dur menyebut Cak Nur dengan julukan “tiga pendekar dari Chicago” bersama Buya Syafii, dan Amin Rais. Julukan itu diberikan karena mereka adalah angkatan pertama cendekiawan Muslim yang belajar di Universitas Chicago.
Sama dengan Buya Syafii, Cak Nur juga dikenal lantang mengritik penyelenggara negara yang melenceng dari aturan. Dua hari sebelum wafat, Cak Nur memberikan pesan khusus kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membesuknya di RS Pondok Indah Jakarta. Cak Nur bepesan agar Presiden mengelola dan mengurus negeri ini dengan baik. Menanggapi pesan itu, Yudhoyono berjanji akan melaksanakan pesan Cak Nur. (Kompas, 27/8/2005).
Islam inklusif
Gagasan Cak Nur mengenai pembaharuan Islam, Islam moderat, dan keindonesiaan juga masih dikenang kolega dan anak-anaknya ideologisnya. Pada era 1970-an Cak Nur sudah mulai memperkenalkan pemisahan tegas antara agama dan negara dengan jargon “Islam Yes, Partai Islam No”. Cak Nur ingin melepaskan Islam dari klaim kelompok politik tertentu.
Pemikiran Cak Nur mengenai pluralisme dan Islam yang inklusif menjadi jalan baru di tengah menguatnya pemikiran konservatif dan Islam garis keras. Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Budhy Munawar Rachman, mengartikan konsep Islam inklusif Cak Nur sebagai Islam yang menerima Pancasila sebagai falsafah negara dan sumber dari segala sumber hukum. “Masyarakat Indonesia yang majemuk lebih menerima ideologi Islam inklusif. Ini bisa disampaikan oleh Cak Nur dengan dalil ayat-ayat Al Qur’an,” kata Budhy saat peluncuran Center for Nurcholish Madjid Studies, Kamis (2/6/2022), di kampus Paramadina Jakarta.
Kehilangan sosok guru bangsa juga dialami saat Gus Dur berpulang pada 30 Desember 2009. Tak hanya tokoh Islam, para tokoh lintas agama juga turut melepas kepergian Gus Dur.
Cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu bukan hanya tokoh pluralisme, tetapi juga pendorong demokrasi. Jauh sebelum reformasi 1998, Gus Dur menyandingkan demokrasi dengan nilai-nilai Islam.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, persamaan antara Cak Nur dan Gus Dur adalah keduanya sama-sama tokoh pembaharu. Yang menjadi pembeda adalah Cak Nur seorang pemikir, sedangkan Gus Dur adalah politikus yang mewujudkan gagasannya melalui aksi.
Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii bukan milik Muhammadiyah, NU, atau pun ormas Islam lain. Mereka adalah para guru bangsa yang memiliki gagasan besar tentang Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Kini, di pundak anak-anak bangsa tanggung jawab merawat warisan ketiga tokoh itu diletakkan. Asa akan lahir para pewaris ketiga guru bangsa itu pun terus digantungkan.