Negarawan Bersahaja yang Hangat, Inklusif, dan Kritis
Buya Syafii dikenal sebagai guru bangsa. Kegigihannya memperjuangkan kerukunan antarumat beragama dilakoni dengan aksi nyata dan diikuti dengan kehangatan seorang sahabat.
Oleh
RINI KUSTIASIH, EDNA CAROLINE PATTISINA
·4 menit baca
Berbagai kalangan merasakan kehilangan besar atas berpulangnya Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii, Jumat (27/5/2022). Bukan tanpa alasan orang-orang dari berbagai latar belakang etnis, agama, kelas sosial, dan kedaerahan menghormati sosok mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. Buya dikenal sebagai guru bangsa dan negarawan. Kegigihannya memperjuangkan kerukunan antarumat beragama dilakoni dengan aksi nyata dan diikuti dengan kehangatan seorang sahabat.
Kesederhanaannya dalam hidup tersemat erat hingga akhir hayat. Ia juga seorang cendekiawan kritis yang berani mengingatkan siapa pun, termasuk pejabat negara. Sejumlah tokoh yang mengenal dan berinteraksi dengan almarhum secara langsung ataupun tidak langsung menuturkan nilai-nilai dan karakter almarhum yang terekam kuat. Nilai dan karakter itu diharapkan bisa dihidup-hidupi oleh generasi saat ini.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan belasungkawa atas wafatnya tokoh bangsa Buya Syafii. ”Atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh keluarga besar Nahdlatul Ulama, saya menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Buya, kepada keluarga besar Nahdlatul Ulama, kepada keluarga besar Muhammadiyah, kepada segenap bangsa,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Jumat.
Ia menjelaskan, Buya Syafii Maarif merupakan seorang guru, pengasuh rohani, pembimbing, juga orangtua yang dicintai, yang dikasihi. ”Kehilangan besar bagi kita semua dengan kepergian Buya,” ujarnya.
Gus Yahya menyampaikan bahwa menjadi tanggung jawab generasi saat ini untuk melanjutkan kerja-kerja besar yang telah dilakukan oleh Buya Syafii Maarif. ”Sekarang, menjadi tanggung jawab kita semua untuk melanjutkan visi dan idealisme Buya. Semoga barakah dari perjuangan yang digeluti Buya seumur hidup terus langgeng, memberkahi kita semua di dalam pergulatan kita memperjuangkan kemuliaan bagi peradaban kita bersama,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Budi S Tanuwibowo mengatakan, dirinya dan seluruh jajaran pengurus Matakin dan umat Khonghucu menyampaikan dukacita atas berpulangnya Buya Syafii. Buya dikenal sebagai tokoh lintas agama yang menjalin hubungan baik dengan berbagai umat beragama.
”Kami dan seluruh umat Khonghucu menyampaikan belasungkawa, dukacita, yang teramat dalam atas wafatnya salah satu tokoh dan guru bangsa yang amat kita hormati, Prof Dr Ahmad Syafii Maarif atau yang lebih dikenal dengan Buya Syafii Maarif,” demikian pesan video yang diterima Kompas, Jumat. ”Semoga beliau tenang dan damai di tempat peristirahatannya yang terakhir, di sisi Allah SWT,” ungkap Budi.
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmojo bercerita panjang tentang hubungannya dengan Buya Syafii Maarif. Suharyo yang mengenal Syafii sejak tahun 1998 menggambarkan almarhum lewat sebuah peristiwa. Saat itu, Suharyo dan Syafii baru pulang dari sebuah kongres lintas agama di luar negeri. Dalam perjalanan, mereka satu pesawat dengan serombongan tenaga kerja wanita (TKW).
”Beliau spontan bantuin TKW yang badannya kecil, ambil barang dari bagasi atas. Memang sangat perhatian pada orang lain, tanpa peduli dia siapa,” kata Suharyo.
Satu peristiwa itu menjelaskan berbagai hal yang ingin digambarkan Suharyo tentang sosok Buya Syafii. Buya menjadi sosok yang membangun persaudaraan sangat kuat dengan semangat cinta tanah air dan merawat watak untuk saling peduli. ”Yang kehilangan bukan hanya keluarga beliau dan keluarga besar Muhammadiyah. Keluarga besar bangsa Indonesia juga kehilangan pribadi yang sangat Indonesia, yang mencintai tanah air dengan keimanannya,” katanya.
Suharyo yang mengenal Buya Syafii sejak masa-masa reformasi. Intelektualitas Syafii Maarif tidak diragukan lagi. Saat pertama kali mengenal pun, ia tengah menjadi dosen di Universitas Sanata Dharma. Suharyo juga kerap membaca tulisan-tulisan Syafii di media massa. Sisi yang lain yang dikenang Suharyo ialah, dalam berbagai pertemuan seminar dan diskusi lintas agama, Syafii selalu membawa suasana yang cair dan penuh persahabatan. Ketulusannya bisa dirasakan dalam setiap perjumpaan. ”Kami selalu saling mengucapkan selamat hari raya, beliau selalu WA saya kalau Paskah dan Natal,” kenang Suharyo.
Oleh karena itu, Suharyo memandang Syafii sebagai Muslim yang sejati. Ia mewujudkan keimanannya dalam berbagai macam kepedulian bagi sesama dan inspirasi cinta tanah air.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pendeta Gomar Gultom mengatakan, Syafii bukan hanya tokoh pluralis dan nasional. ”Ia adalah guru dan bapak bangsa yang banyak menyumbangkan gagasan untuk mencerdaskan bangsa,” kata Gomar.
Gomar melihat Syafii sebagai teladan. Sebagai pemimpin agama, kedekatannya dengan semua kalangan menunjukkan penghargaan pada kemajemukan. ”Keteladanannya sangat sederhana dan menolak berbagai bentuk fasilitas. Ini sangat perlu ditiru. Ia bahkan menolak pengobatan di Jakarta yang ditawarkan Ibu Megawati dan Presiden RI karena merasa lebih sreg dirawat di rumah sendiri, yaitu RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta,” kata Gomar.
Ia bercerita, dirinya khusus melayat utuk memberi penghormatan terakhir serta wujud kebersamaan sekaligus menyatakan sepenanggunan dengan keluarga Syafii dan umat Islam yang cinta damai. Gomar mengatakan, ketokohan, pemikiran, dan perjuangan Syafii sangat segaris dengan perjuangan gereja-gereja di Indonesia untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa. ”Saya berharap untuk beliau, pada waktunya kelak dianugerahi (gelar) pahlawan nasional,” pungkas Gomar.