Indonesia Kehilangan Guru Bangsa
Buya Syafii Maarif dikenang sebagai seorang guru bangsa. Cintanya kepada bangsa Indonesia diungkapkannya dengan mengatakan, Indonesia harus tetap bertahan hingga satu hari sebelum kiamat.
JAKARTA, KOMPAS — Berpulangnya mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif merupakan kehilangan besar bangsa Indonesia. Tokoh bangsa yang kerap dipanggil Buya Syafii itu dikenang sebagai guru bangsa.
Bagi Presiden Joko Widodo, sosok Buya Syafii Maarif merupakan guru bangsa yang tidak hanya memberi teladan dengan hidup sederhana, tetapi juga selalu mengajarkan toleransi dalam keberagaman.
”Beliau adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu menyuarakan tentang keberagaman dan selalu menyuarakan tentang toleransi umat beragama dan beliau juga selalu menyampaikan pentingnya Pancasila bagi perekat bangsa,” tutur Presiden seusai bertakziah dan menyampaikan belasungkawa secara langsung atas wafatnya almarhum Buya Syafii Maarif di Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, Jumat (27/5/2022).
Tak hanya itu, Buya dikenang sebagai teladan yang mengajarkan hidup dalam kesederhanaan secara nyata. Presiden Jokowi juga mengajak masyarakat Indonesia untuk mendoakan almarhum agar mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.
Beliau adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu menyuarakan tentang keberagaman dan selalu menyuarakan tentang toleransi umat beragama dan beliau juga selalu menyampaikan pentingnya Pancasila bagi perekat bangsa.
”Kita semua adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kita akan kembali. Mari kita berdoa bersama semoga almarhum Buya Syafii Maarif diberikan tempat yang terbaik disisi-Nya dan diampuni segala dosa-dosanya, aamiin ya rabbal alamin,” kata Presiden Jokowi menambahkan.
Baca Juga: Selamat Jalan, Buya Ahmad Syafii Maarif…
Setibanya di Masjid Gedhe Kauman, Presiden disambut keluarga almarhum Buya Syafii Maarif dan langsung menunaikan ibadah shalat ashar sebelum melakukan salat jenazah. Shalat jenazah berjamaah ini diimami oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Presiden Jokowi juga mengikuti prosesi penghormatan terakhir bagi almarhum. Dalam takziah ini, hadir pula Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X.
Setelahnya, Presiden Jokowi berpamitan dengan istri almarhum. Seusai ikut mengantarkan jenazah keluar masjid menuju mobil jenazah, Presiden bersama rombongan menuju Pangkalan TNI AU Adi Sutjipto untuk kembali bertolak ke Jakarta.
Terpisah, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo juga menyampaikan, wafatnya Buya Syafii merupakan hilangnya seorang sosok guru bangsa. Sebab, Buya Syafii dikenangnya sebagai sosok yang senantiasa mengajarkan untuk bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan.
”Ajaran tersebut menjadi pedoman yang menguatkan soliditas kebangsaan di tengah kemajemukan bangsa yang terdiri atas beranekaragam suku, agama, ras, dan antargolongan,” kata Bambang Soesatyo yang akrab disapa Bamsoet tersebut.
Bamsoet mengungkapkan kekagumannya terhadap Buya Syafii mengenai analisis dan tulisannya yang tajam dan mendalam. Bahkan, menurut dia, keberpihakannya kepada kebenaran dan keadilan jauh melampaui para jurnalis pada umumnya.
Baca Juga: Pesan untuk Muhammadiyah dan NU
Menurut Bamsoet, Buya Syafii senantiasa konsisten membela kebinekaan dan kemajemukan di tengah politik identitas serta berkembangnya paham radikalisme. Gagasannya tentang pluralisme dan toleransi mesti ditularkan kepada segenap elemen bangsa, khususnya di era digital ini.
”Karenanya, selain mendoakan beliau, kita juga patut meneladani berbagai sikap hidup beliau, terutama dalam mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Selamat jalan, sang guru bangsa,” kata Bamsoet.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga menyampaikan belasungkawa. ”Kita semua sangat kehilangan guru bangsa. Beliau adalah tokoh penjaga nurani bangsa,” kata Moeldoko di sela kunjungan kerjanya di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Moeldoko juga menilai Buya Syafii Maarif adalah teladan untuk menjadi Muslim yang otentik dan sepenuhnya mencintai bangsanya. Keteladanan hidup sederhana juga dikenang Moeldoko. ”Meskipun bisa mendapatkan fasilitas mewah, beliau tetap menjadi orang yang sangat bersahaja. Beliau tidak malu dan canggung untuk naik KRL meski usianya sudah cukup lanjut,” tutur Moeldoko.
Ungkapan dukacita juga disampaikan Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Baginya, Buya Syafii adalah seorang tokoh dan bapak bangsa yang tidak lelah memberikan pesan-pesan positif kebangsaan. Dalam suasana kehilangan tersebut, Sigit mengajak agar pesan-pesan dari Buya Syafii dilanjutkan oleh generasi penerus bangsa saat ini. Dengan demikian, sosok almarhum akan terus menjadi teladan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih baik ke depan.
”Semua yang menjadi amanah serta teladan beliau tentunya jadi kewajiban kita semua untuk terus melanjutkan,” kata Listyo.
Menurut Direktur Maarif Institute Abdul Rohim Ghazali, Buya Syafii adalah seorang cendekiawan Muslim, guru bangsa, mantan Ketua PP Muhammadiyah dari tahun 1998 hinga 2005, serta salah satu ikon intelektual Islam gelombang pertama di Indonesia. Sebagai ”Muazin Bangsa”, kata Ghazali, Buya Syafii telah berbuat banyak dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Satu cita-citanya, yakni agar negara ini tetap ada, minimal hingga satu hari sebelum kiamat, menunjukkan betapa almarhum sangat mencintai bangsanya.
Untuk merawat Indonesia yang besar ini, lanjut Buya, perlu orang dengan pemikiran besar dan berwawasan jauh ke depan, bukan pikiran-pikiran partisan.
Sementara sebagai pribadi, Buya Syafii dikenal sebagai sosok sederhana dengan jiwa yang selalu gelisah. Menurut dia, Indonesia merupakan bangsa yang belum sepenuhnya jadi sehingga sering diuji dengan berbagai konflik. Untuk itu, bangsa ini perlu dirawat, bahkan diruwat. ”Untuk merawat Indonesia yang besar ini, lanjut Buya, perlu orang dengan pemikiran besar dan berwawasan jauh ke depan, bukan pikiran-pikiran partisan,” tutur Ghazali.
Ungkapan itu memperlihatkan kepedulian Buya Syafii bahwa hanya dengan kewarasanlah bangsa ini bisa keluar dari krisis moral dan kewarasan yang mendera. Sekali lagi, Ghazali mengingatkan pesan penting Buya Syafii, yakni Indonesia harus tetap bertahan, setidaknya hingga satu hari sebelum kiamat.