Dirut Pertamina Penuhi Panggilan Dewas KPK Terkait Kasus Lili
Dewas KPK didesak segera menyelenggarakan sidang etik untuk Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Lili terancam hukuman rekomendasi pengunduran diri karena dinilai telah melakukan pelanggaran yang sama secara berulang.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah sempat disebut tidak kooperatif, Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati memenuhi panggilan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi atau Dewas KPK, Rabu (27/4/2022). Panggilan itu terkait dengan permintaan klarifikasi kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, yakni dugaan menerima fasilitas menonton MotoGP 2022 di Mandalika dari Pertamina.
Setelah pemeriksaan Nicke, Dewas KPK didesak untuk segera menaikkan level proses dari pemeriksaan ke persidangan etik.
Dirut PT Pertamina Nicke Widyawati tiba di Gedung ACLC KPK pada Rabu pagi. Ia menjalani pemeriksaan selama lebih kurang dua jam dengan didampingi sejumlah pihak dari perusahaan pelat merah tersebut. Usai diperiksa, ia bungkam. Tak satu pun pertanyaan dari awak media ia jawab. Namun, belum ada penjelasan dari anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, tentang pemeriksaan tersebut.
Sebelumnya, Syamsuddin mengatakan, klarifikasi terhadap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar tertunda karena pengumpulan bahan dan keterangan dari pihak eksternal belum selesai. Proses klarifikasi belum tuntas karena Dirut Pertamina dinilai tidak kooperatif.
”Sudah diundang klarifikasi dan dijadwal ulang, tetapi tidak hadir. Dewas berharap Dirut Pertamina bisa bekerja sama dan bersikap kooperatif dalam mengungkap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan ibu LPS (Lili Pintauli Siregar),” kata Syamsuddin (Kompas, 27/4).
Dugaan pelanggaran etik kembali menerpa Lili Pintauli Siregar. Pada pertengahan April 2022, ia dilaporkan ke Dewas KPK atas dugaan menerima fasilitas, salah satunya tiket menonton MotoGP 2022 di Sirkuit Internasional Mandalika, Nusa Tenggara Barat, dari Pertamina.
Sebelumnya, pada akhir Agustus 2021, Dewas KPK menyatakan Lili telah melanggar kode etik pimpinan KPK saat menangani kasus jual beli jabatan di Tanjungbalai, Sumatera Utara, yang melibatkan Wali Kota Tanjungbalai Syahrial. Lili terbukti telah berkomunikasi secara tidak etis dengan pihak-pihak yang tengah diinvestigasi demi keuntungan pribadinya. Atas pelanggaran tersebut, Dewas menjatuhi sanksi berat, dengan hukuman pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Selanjutnya pada Rabu (20/4/2022), Dewas KPK kembali menyatakan Lili terbukti melakukan kebohongan dalam konferensi pers terkait kasus Tanjungbalai pada 30 April 2021. Meski terbukti berbohong, Dewas tidak meningkatkan proses pemeriksaan dugaan pelanggaran etik ke sidang etik. Tidak ada juga sanksi yang dijatuhkan untuk Lili.
Dewas beralasan, kebohongan itu sudah disinggung dalam putusan sidang etik kasus Tanjungbalai sebelumnya. Dalam putusan itu, kebohongan sudah menjadi salah satu pertimbangan putusan. Oleh karena itu, sanksi yang diberikan telah menyerap dugaan pelanggaran etik dan kode perilaku terkait kebohongan publik.
Dewas harus aktif
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, berharap, Dewas tidak lagi mengemukakan alasan tidak kooperatifnya pihak luar sebagai alasan lambannya proses pengusutan dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK.
Menurut dia, hal itu menunjukkan sikap Dewas yang pasif. Padahal, semestinya Dewas lebih aktif karena proses etik berbeda dengan pidana. Pihak yang dipanggil untuk diperiksa tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak memenuhi sebuah panggilan.
”Dewas semestinya yang harus aktif, misalnya, dengan mendatangi pihak atau kantor yang diduga sebagai pemberi tiket atau fasilitas penginapan kepada Lili,” kata Kurnia.
Berkaca dari langkah pasif dan rekam jejak Dewas dalam mengusut dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK, dikhawatirkan akan terjadi kejanggalan yang berulang. Contohnya, pada proses etik Ketua KPK Firli Bahuri, Dewas hanya menjatuhi Firli teguran tertulis. Begitu juga pemotongan gaji pokok pada Lili, padahal pelanggaran etik yang dilakukan sudah bersinggungan dengan tindak pidana.
”Dugaan pelanggaran oleh Lili kali ini juga beririsan dengan tiga dimensi tindak pidana, yakni gratifikasi, penyuapan, dan pemerasan,” kata Kurnia.
Oleh karena itu, ICW mendesak agar Dewas segera meningkatkan proses pemeriksaan dugaan pelanggaran etik Lili. Bukan lagi pada tahap pra-persidangan etik, melainkan harus memasuki persidangan etik.
Terkait dengan sanksi yang akan dijatuhkan, mengacu Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Dewas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, disebutkan bahwa dalam hal terjadi pengulangan pelanggaran oleh insan KPK pada jenis pelanggaran yang sama, maka sanksi dapat dijatuhkan satu tingkat di atasnya.
”Apa pun sanksi yang dijatuhkan kepada Lili, maka hukumannya tinggal satu, yakni merekomendasikan agar Lili mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK,” ujar Kurnia.