Kisah Perjuangan Hak Politik Perempuan Indonesia dari Tanah Minahasa
Sejak era kolonial, perempuan Indonesia gencar memperjuangkan hak-haknya yang terdiskriminasi sistem sosial dan politik. Tidak hanya di bidang pendidikan, sejarah juga mencatat perjuangan memperoleh hak pilih.
Tanah Minahasa, Sulawesi Utara, menjadi saksi sejarah perjalanan perempuan Indonesia memperjuangkan hak untuk berpartisipasi dalam demokrasi elektoral sejak era kolonial. Tak hanya disuarakan oleh seorang tokoh berpengaruh, dari sana juga pengorganisasian gerakan meraih hak memilih dan dipilih dalam pemilihan anggota parlemen digelorakan.
Upaya untuk memperjuangkan hak pilih perempuan tidak terlepas dari peran Maria Walanda Maramis. Putri Minahasa yang lahir pada 1 Desember 1872 itu beranjak dewasa sebagai seorang yatim piatu karena ditinggal mangkat kedua orangtuanya akibat wabah kolera. Kondisi ini tak serta-merta menjadi kesedihan dalam hidup, tetapi justru membawa dia pada cakrawala baru yang membentuk karakternya sebagai pejuang emansipasi perempuan.
Maria yang berusia enam tahun pindah dari tanah kelahirannya di Desa Kema ke Maumbi, mengikuti keluarga pamannya, yakni Mayor Ezau Rotinsulu, yang menjabat Kepala Distrik Maumbi. Sebagai bagian dari keluarga terpandang, ia berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah rendah Melayu yang mengajarkan baca tulis dan sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ia pun masuk dalam lingkar pergaulan dengan warga Belanda, salah satunya keluarga pendeta Jan Ten Hoven.
Tak hanya membangun hubungan pertemanan, Maria juga belajar dan banyak mendapatkan informasi mengenai dunia luar dari keluarga Ten Hoven. Dari situ pula kesadarannya akan ketimpangan akan warga pribumi dan Belanda, laki-laki dan perempuan, mulai muncul.
Baca juga : Perkuat Regulasi Keterwakilan Perempuan di Penyelenggara Pemilu
”Dari pergaulan itu, Maria melihat bagaimana cara mereka (orang Belanda) hidup dan berpikir, kenapa orang Indonesia, khususnya perempuan, sangat terbelakang. Meskipun perempuan berpendidikan, kenapa mereka hanya bergantung kepada suami,” ungkap Anatje Maramis, keturunan ketiga Maria, dalam diskusi daring ”Mengenal Kartini Demokrasi, Maria Walanda Maramis”, Jumat (22/4/2022). Diskusi diselenggarakan Viryan Azis, penulis buku Asal Usul Manajemen Pemilu Indonesia yang juga anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017—2022.
Di Batavia, perempuan Belanda yang ada di Hindia Belanda juga menghimpun diri dalam Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht/VVV) untuk menuntut hak pilih perempuan, tetapi hanya untuk kalangan mereka sendiri, bukan untuk perempuan pribumi.
Keprihatinan tersebut mendorong Maria dan beberapa perempuan progresif lain untuk mendirikan organisasi pendidikan perempuan bernama ”Percintaan Ibu kepada Anak Temurunnya” (PIKAT) pada 1917. Melalui artikel di media massa lokal, Maria juga mempropagandakan agar perempuan di wilayah lain mendirikan cabang PIKAT. Upaya itu berhasil, PIKAT mulai tersebar di berbagai wilayah, tak hanya Sulawesi, tetapi juga sampai ke Pulau Jawa.
Setahun kemudian, PIKAT mengembangkan diri dengan mendirikan Huishoudschool atau sekolah untuk anak perempuan di Manado. Sama dengan sebelumnya, sekolah ini juga meluas ke berbagai daerah.
Hak pilih
Kemajuan gerakan PIKAT beriringan dengan berkembangnya gerakan feminis global yang menuntut adanya hak sipil politik bagi perempuan, khususnya hak pilih dalam pemilu. Di tingkat internasional, gerakan memuncak dengan pemberian hak pilih bagi perempuan Inggris melalui Representation of The People Act 1918. Di Batavia, perempuan Belanda yang ada di Hindia Belanda juga menghimpun diri dalam Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht/VVV) untuk menuntut hak pilih perempuan, tetapi hanya untuk kalangan mereka sendiri, bukan untuk perempuan pribumi.
Baca juga : Jatuh Bangun Caleg Pendatang Baru Menembus Parlemen
Kabar keberadaan PIKAT pun didengar oleh VVV. Pada Desember 1918, asosiasi itu mengirimkan surat kepada pengurus PIKAT untuk menanyakan dukungan perempuan Minahasa pada hak pilih perempuan. Maria yang saat itu menjabat Direktur PIKAT menjawabnya dengan tegas, yakni setuju. Kisah tersebut diceritakan Maria dalam artikelnya yang diterbitkan surat kabar Keng Hwa Poo, 18 Mei 1921.
Kesadaran itu tidak hanya ada pada Maria secara personal. Ia juga memperjuangkannya melalui organisasi, yakni PIKAT dan cabang-cabangnya. Pada 1919, belasan anggota PIKAT berangkat ke Volksraad atau Dewan Rakyat di Batavia untuk meminta agar perempuan pribumi mendapatkan hak pilih dalam pemilihan anggota dewan rakyat.
”Mereka menjadi salah satu dari empat perkumpulan perempuan Hindia Belanda yang menyatakan mendukung hak pilih perempuan pribumi di Volksraad,” kata Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) Denni Pinontoan.
Namun, upaya itu belum berhasil. Berdasarkan Staatsblad 1919 Nomor 65, disebutkan bahwa hak pilih dalam pemilu hanya untuk laki-laki. Padahal, pada tahun yang sama juga akan diselenggarakan pemilu lokal pertama di Minahasa untuk memilih 36 anggota Minahasa Raad.
Pada 1921, Pemerintah Belanda memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dalam pemilu meski belum bisa dipilih.
Viryan Azis mengatakan, pemilu Minahasa saat itu juga berbeda dengan daerah-daerah lain di Hindia Belanda karena menggunakan sistem pemilihan langsung. Ini merupakan pemilu langsung pertama yang diselenggarakan di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. ”Sekaligus menjadi referensi utama Indonesia memilih cara langsung dalam pemilu, bukan tidak langsung sebagaimana yang lazim berlaku di Jawa dan daerah lainnya,” katanya.
Baca juga : Kursus Memasak hingga Tata Rias, Cara Parpol Gaet Emak-emak
Meski perempuan belum bisa mengikuti pemilu Minahasa, perjuangan Maria belum berhenti. Ia terus menyuarakan hal itu melalui tulisan di media massa. Selain Keng Hwa Poo, tulisannya juga kerap muncul di surat kabar Tjahaja Siang Minahasa. Selain itu, Maria juga selalu hadir dalam setiap forum yang membahas soal hak pilih perempuan.
Perjuangan itu membuahkan hasil pada 1921. Pemerintah Belanda memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dalam pemilu meski belum bisa dipilih.
Baik Viryan maupun Denni sepakat bahwa Maria memiliki kapasitas intelektual yang melampaui zaman. Meski hanya lulusan sekolah rendah, selain bisa menulis secara runtut dan berbahasa Belanda, pemikirannya pun sangat maju di kala itu. Contohnya, ia kerap menggunakan kata ”hak” bangsa perempuan. Padahal, saat itu belum dikenal konsep hak asasi manusia (HAM) karena Deklarasi Universal HAM baru dilakukan pada 1948.
Menurut Denni, intelektualitas dan aktivisme Maria tumbuh dalam masa transisi Minahasa. Masyarakat Minahasa memiliki tradisi kesetaraan antara peran perempuan dan laki-laki di ruang publik. Perempuan bisa menjalankan semua peran, termasuk pemimpin komunitas. Namun, ketika pemerintah kolonial menerapkan birokratisasi pada seluruh struktur masyarakat di semua tingkat sejak pertengahan abad ke-19, ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan mulai muncul. Ruang publik lebih banyak diisi laki-laki, sedangkan perempuan didomestifikasi.
”Maria Maramis muncul sebagai intelektual, penulis, feminis, bukan saja karena situasi, melainkan juga karena ada memori kolektif di Tanah Minahasa bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, termasuk dalam wilayah politik,” kata Denni.
Tantangan
Upaya Maria seabad yang lalu menjadi akar sejarah yang bisa menjelaskan tingginya partisipasi politik perempuan di Sulawesi Utara. Catatan KPU Sulawesi Utara, hingga saat ini sudah ada 10 perempuan yang menjadi kepala daerah. Persentase perempuan anggota DPRD provinsi pada Pemilu 2014 merupakan yang tertinggi secara nasional, yakni mencapai 31 persen dari total kursi, kemudian jadi peringkat kedua nasional di Pemilu 2019.
Di level nasional, meski belum ada penelitian sejauh mana dampak pemikiran dan aktivitas Maria, upayanya menjadi bagian tersendiri yang menunjukkan upaya kuat perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Pascakemerdekaan, ketika konstitusi menjamin hak pilih, perempuan memperlihatkan animo tinggi dalam memilih. Bahkan, Indonesia juga sudah pernah memiliki presiden dan ketua DPR perempuan.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, perempuan tercatat sebagai kelompok loyal dalam menggunakan hak pilih. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, misalnya, tercatat 51,43 persen pengguna hak pilih adalah perempuan.
Perempuan juga masih menghadapi sejumlah tantangan yang memperlemah posisinya dalam proses elektoral. Misalnya, dalam sistem pemilu proporsional terbuka yang berdampak pada politik berbiaya tinggi, perempuan menjadi pihak yang lemah secara modal kapital. Hal ini yang kemudian menyuburkan politik dinasti dan melemahkan posisi perempuan.
”Adapun dari sisi keterpilihan, terjadi peningkatan dari Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, bahkan pada Pemilu 2019 mencapai angka tertinggi, yakni 118 perempuan menjadi anggota DPR dari total 575 anggota,” kata Titi dalam diskusi daring Perempuan LP3ES Bicara Regresi Demokrasi, Kamis (21/4/2022).
Meski demikian, lanjutnya, perempuan juga masih menghadapi sejumlah tantangan yang memperlemah posisinya dalam proses elektoral. Misalnya, dalam sistem pemilu proporsional terbuka yang berdampak pada politik berbiaya tinggi, perempuan menjadi pihak yang lemah secara modal kapital. Hal ini yang kemudian menyuburkan politik dinasti dan melemahkan posisi perempuan.
Dukungan politik terhadap perempuan juga masih rendah. Sering kali, afirmasi masih dianggap sebagai beban oleh elite sehingga calon anggota legislatif (caleg) perempuan mendapatkan nomor urut yang tidak strategis, daerah pemilihan (dapil) yang tidak menguntungkan, serta penguatan kapasitas yang tidak optimal.
Untuk itu, ke depan masih ada sejumlah pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan kualitas pemilihan. Salah satunya menyinergikan modal loyalitas pemilih perempuan dengan akses informasi, pengetahuan, dan pendidikan kepemiluan oleh partai politik dan penyelenggara pemilu. Dengan begitu, diharapkan pemilih perempuan benar-benar berdaya dan berdaulat, mengurangi suara tidak sah, dan melahirkan posisi tawar yang lebih kuat di pemilu melalui pilihan berbasis kesadaran.
Komitmen pimpinan parpol untuk menempatkan caleg perempuan di nomor urut pertama paling sedikit 30 persen juga perlu didorong. Sebab, kendati Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, yang berarti penentuan pemegang kursi yang diperoleh partai dalam satu dapil berbasis suara terbanyak, beberapa riset menunjukkan caleg dengan nomor urut pertama punya kans terpilih lebih besar.
Selain itu, diperlukan pula optimalisasi pemanfaatan teknologi digital dan media sosial untuk mengurangi ongkos politik dan penjangkauan pemilih secara luas.