Menilik Gelombang Pro-Rusia di Pusaran Media Sosial Indonesia
Pemerintah Indonesia bersikap hati-hati dalam menyikapi perang Rusia-Ukraina. Namun, hasil penelusuran sejumlah lembaga menunjukkan dukungan sebagian besar warganet kepada Rusia. Apa yang terjadi?
Derasnya arus dukungan dari warganet Indonesia terhadap invasi Rusia atas Ukraina terekam dalam aktivitas di media sosial sepanjang 47 hari terakhir. Tak hanya saat serangan dilancarkan pada 24 Februari 2022, dukungan masih bergema ketika negara yang dipimpin Vladimir Putin itu keluar dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kamis (7/4/2022). Sebuah anomali di tengah sikap pemerintah yang memilih untuk tak memihak.
Riuh rendah pembicaraan warganet mengenai perang Rusia-Ukraina salah satunya terlihat dari pantauan platform pemantau dan analisis mahadata Evello. Sejak 23 Februari atau sehari sebelum serangan militer Rusia terhadap Ukraina dilakukan, hingga 10 April 2022 terdapat 143.809 berita media massa yang dibagikan di jejaring Facebook lebih dari 2,5 juta kali. Di Youtube, video terkait perang kedua negara ditonton hingga 886 juta kali dengan 3,8 juta komentar. Sama halnya dengan di Tiktok, video yang beredar tayang hingga 752 juta kali dan mendapatkan 1,5 juta komentar.
Tak hanya itu, terdapat pula video dan gambar yang dilihat hingga 85 juta kali di Instagram. Di Twitter, tercatat 26.025 akun unik terlibat dalam percakapan mengenai Rusia dan Ukraina.
Sejumlah aktivitas itu pun tidak bebas nilai. Setiap percakapan dan unggahan memuat dukungan terhadap salah satu pihak. ”Mayoritas warganet Indonesia cenderung berpihak kepada Rusia,” kata pendiri Evello, Dudy Rudianto, dihubungi dari Jakarta, Minggu (10/4/2022).
Baca juga: Faktor-faktor Pengubah Narasi dalam Perang Rusia-Ukraina
Jika dipersentasekan, kata Dudy, dukungan kepada Rusia di platform Twitter mencapai 73 persen, 74 persen di Instagram, 75 persen di Youtube, dan 95 persen di Tiktok. Sementara itu, dukungan terhadap Ukraina di platform yang sama secara berturut-turut adalah 28 persen, 25 persen, 25 persen, dan 5 persen.
Menurut Dudy, dukungan terhadap Rusia dan Presiden Rusia Vladimir Putin itu berpengaruh pada peningkatan perhatian warganet pada Pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November mendatang. Dukungan terhadap kehadiran Putin di ajang tersebut terekam dalam berbagai platform, yakni Youtube (7 persen), Tiktok (45 persen), dan Instagram (20 persen).
Sebelumnya, Indonesia selaku pemegang presidensi dan tuan rumah KTT G20 memutuskan untuk mengundang semua negara anggota G20, termasuk Rusia. Akan tetapi, keputusan Indonesia diprotes sejumlah negara Barat. Di hadapan sidang Komite Jasa Keuangan DPR AS, Rabu (6/4/2022), Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan, negara itu akan memboikot beberapa pertemuan G20 jika ada pejabat atau perwakilan Pemerintah Rusia yang ikut serta di dalamnya.
Pemerintah Rusia pun menyatakan akan membuat keputusan apakah Putin akan ambil bagian dalam G20 atau sebaliknya berdasarkan situasi yang berkembang. ”Kami akan mengklarifikasinya, apalagi Indonesia tuan rumah penyelenggaranya,” kata Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov (Kompas, 8/4/2022).
Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, perusahaan yang bergerak di bidang intelijen media, analisis data, dan kajian strategis, menambahkan, dukungan warganet terhadap Rusia tidak hanya terjadi seusai serangan dilancarkan. Meski jumlah percakapan dan akun semakin sedikit, sejumlah akun masih konsisten mendukung Rusia dalam waktu panjang, bahkan ketika terjadi dinamika di tingkat global.
Awal April, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menangguhkan status keanggotaan Rusia di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) karena dugaan pelanggaran HAM di Bucha, Ukraina. Penangguhan diputuskan seusai pemungutan suara pada Kamis (7/4/2022). Sebanyak 93 negara atau mayoritas anggota Dewan HAM PBB mendukung resolusi penangguhan, 24 negara menolak, sedangkan 24 negara lainnya menyatakan abstain.
Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang abstain dengan argumentasi bahwa PBB semestinya menerima semua fakta sebelum mengambil tindakan tersebut. Indonesia pun mendukung adanya investigasi independen oleh tim untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Bucha. Adapun Rusia memutuskan untuk keluar dari Dewan HAM setelah Majelis Umum menyepakati penangguhan tersebut.
Lihat juga: Saat Rusia Serang Ukraina
Perkembangan itu juga mendapatkan perhatian warganet di Indonesia. Rustika mengatakan, berdasarkan penelusuran menggunakan kata kunci ”Indonesia Abstain di PBB” dalam kurun waktu 7-10 April, ia menemukan 1.270 unggahan di media sosial. Percakapan terbesar ada di Twitter, yakni 518 cuitan (58 persen), 416 unggahan di Facebook (33 persen), dan 75 unggahan di Instagram (6 persen). Selebihnya berasal dari Youtube dan Tiktok yang totalnya ada 47 unggahan (3 persen).
Sekalipun demikian, tambahnya, sikap abstain Indonesia bukan isu dominan yang direspons warganet. Mereka justru mengecam AS sebagai dalang di balik dikeluarkannya Rusia dari Dewan HAM PBB. AS juga dianggap sebagai penguasa di PBB sehingga negara lain tunduk kepada negara tersebut. ”Sikap anti-AS ramai muncul dalam unggahan ini,” kata Rustika.
Selain terkait dengan dominasi AS, warganet juga mengaitkan isu tersebut dengan persoalan HAM lain, yakni sikap PBB terhadap perang di Palestina yang telah berlangsung selama 70 tahun. Mereka membandingkan langkah cepat PBB mengambil sikap terkait konflik Rusia-Ukraina dengan lambannya keputusan untuk Israel-Palestina.
Terkait penyelenggaraan KTT G20, terdapat pula ungkapan kekesalan atas pernyataan AS yang berencana memboikot forum itu jika Rusia menghadirinya. Warganet menilai, hal itu sebagai cara memengaruhi dan menekan Indonesia.
Akun organik
Baik Dudy maupun Rustika mengatakan, akun-akun yang berperan dalam mendukung Rusia dan Ukraina di media sosial adalah akun organik. Artinya, mereka tidak digerakkan oleh kepentingan dan pihak tertentu dalam menyuarakan aspirasi. Beberapa akun non-organik disinyalir juga muncul, tetapi jumlahnya tidak signifikan.
M asifnya dukungan kepada Rusia dipengaruhi kuat oleh sentimen anti-AS yang berkembang di kalangan warganet. Walaupun media massa telah menyuguhkan berbagai berita terkait dengan dampak perang terhadap kemanusiaan, mereka cenderung menganggap hal itu sebagai rekayasa AS (Radityo Dharmaputra).
Latar belakang akun-akun tersebut pun beragam. Tidak identik dengan pilihan politik seperti pendukung pemerintah dan oposisi seperti pada isu lain. Kendati beragam, mereka diikat kesamaan, yakni ketertarikan pada isu-isu internasional.
Sementara itu, jajak pendapat Litbang Kompas pada 14-19 Maret 2022 terhadap 1.002 responden berusia minimal 17 tahun di 34 provinsi juga merekam penilaian publik terhadap konflik Rusia-Ukraina. Berbeda dengan ekspresi warganet di media sosial yang umumnya memiliki ketertarikan terhadap isu internasional, jajak pendapat menghimpun pandangan masyarakat, baik yang mengikuti isu Rusia-Ukraina maupun tidak.
Hasil jajak pendapat menunjukkan ada keterbelahan sikap publik. Sebanyak 17,7 persen menyatakan bahwa Ukraina perlu dibela. Tak jauh berbeda, yakni 15,9 persen publik menyatakan hal yang sama untuk Rusia. Selain pembelaan, suara publik juga hampir sama besar ketika menyatakan bahwa sikap kedua negara patut dipersoalkan, yakni Rusia (12 persen) dan Ukraina (12,6 persen).
Meski demikian, mayoritas (70,1 persen) sepakat terhadap politik luar negeri Indonesia. Ketidaksetujuan diungkapkan 2,7 persen responden karena sebaiknya pemerintah membela Rusia. Sementara ada 3,5 persen responden yang juga tidak setuju dengan pemerintah karena menilai Ukraina perlu dibela.
Minim informasi
Pengamat kawasan Rusia dan Eropa Timur sekaligus pengajar di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, Surabaya, Radityo Dharmaputra, menilai, masifnya dukungan kepada Rusia dipengaruhi kuat oleh sentimen anti-AS yang berkembang di kalangan warganet. Walaupun media massa telah menyuguhkan berbagai berita terkait dengan dampak perang terhadap kemanusiaan, mereka cenderung menganggap hal itu sebagai rekayasa AS.
Sa at ini pandangan yang berorientasi pada kemanusiaan, tanpa menyoroti keberpihakan kepada pemerintah Rusia atau Ukraina sangat dibutuhkan. Perang yang sudah berlangsung selama 47 hari telah mengakibatkan krisis kemanusiaan yang seharusnya dihentikan.
Sentimen diperkuat oleh pandangan sejumlah ahli atau akademisi yang menggunakan perspektif geopolitik terkait dominasi peran AS, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), serta Rusia yang berusaha menyeimbangkan kekuatan dunia. Perspektif tersebut cenderung diterima begitu saja tanpa diverifikasi kembali sehingga berujung pada dukungan terhadap Rusia. Hal Ini terkait dengan persoalan literasi digital warganet Indonesia yang masih perlu terus dioptimalkan.
Merujuk hasil survei Lowy Institute yang dirilis hari Senin (4/4), Radityo menambahkan, masyarakat Indonesia umumnya juga tidak mengikuti perkembangan dunia internasional. Dari 3.300 responden di 33 provinsi yang disurvei, hanya 17 persen yang rutin mengikuti berita luar negeri. Sumber informasi yang paling dipercaya berasal dari pemerintah, ahli, lingkar pertemanan dan keluarga, dan televisi. Namun, pemerintah sebagai pihak yang paling dipercaya publik jarang membicarakan persoalan Rusia-Ukraina, pernyataan yang dibuat pun sering kali terkesan tidak tegas dan ragu-ragu.
”Saat ini kuncinya ada di pemerintah. Kalau pemerintah bisa memberikan informasi yang sesuai, terbaru, mengenai apa yang dilakukan Rusia, Ukraina, mungkin masyarakat akan lebih mendengar,” kata Radityo. Dengan begitu, diharapkan publik akan berpandangan lebih proporsional.
Penilaian warganet, kata Radityo, tidak akan banyak berpengaruh pada politik luar negeri Indonesia yang lebih ditentukan oleh elite. Akan tetapi, cara pandang itu dinilai bisa melukai perasaan dan tidak berempati baik terhadap diaspora Ukraina di Indonesia maupun sebaliknya. Padahal, saat ini pandangan yang berorientasi pada kemanusiaan, tanpa menyoroti keberpihakan kepada pemerintah Rusia atau Ukraina, sangat dibutuhkan. Perang yang sudah berlangsung selama 47 hari telah mengakibatkan krisis kemanusiaan yang seharusnya dihentikan.
”Sekarang sudah saatnya menggeser argumen, dari bicara soal AS, NATO, pemerintah Rusia dan Ukraina. Itu sudah bukan masanya lagi karena saat ini harus sudah fokus pada dampak kemanusiaan yang terjadi,” ujar Radityo.
Pengajar sejarah Eropa di Universitas Negeri Jakarta, Kurniawati, mengatakan, Indonesia memiliki hubungan panjang, baik dengan AS maupun Rusia, sejak masih berbentuk Uni Soviet. Keduanya berperan mendukung Indonesia sejak awal kemerdekaan. Namun, hal ini cenderung tidak diketahui warganet yang didominasi anak muda sehingga mereka membangun sentimen tertentu kepada kedua negara.
Menurut dia, opini warganet dipengaruhi oleh berbagai narasi yang dibangun Rusia dan Putin. Putin berhasil menarik simpati publik dengan mencitrakan diri sebagai sosok yang kuat, membela kebenaran, serta tidak anti-Islam. Sementara itu, AS cenderung memperlihatkan standar ganda dalam menghadapi pelanggaran HAM di dunia.