Gugatan Mantan Pegawai KPK Mulai Bergulir di PTUN Jakarta
Sejumlah mantan pegawai KPK menghadiri sidang perdana gugatan perbuatan melanggar hukum dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan di PTUN Jakarta. Gugatan ditujukan kepada Presiden, pimpinan KPK, dan Kepala BKN.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang perdana gugatan 49 mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK terhadap penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan untuk alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Kamis (10/3/2022). Sidang dengan agenda pemeriksaan persiapan yang berlangsung lebih dari dua jam itu berlangsung secara tertutup.
Sidang dihadiri oleh sejumlah mantan pegawai KPK di antaranya Novel Baswedan, Yudi Purnomo Harahap, dan Tata Khoiriyah. Mereka didampingi oleh kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), AMAR Law Firm & Public Interest Law Office, LBH Muhammadiyah, Indonesia Corruption Watch (ICW), Visi Law Office, serta para tokoh nasional, seperti Asfinawati, Busyro Muqoddas, dan Saor Siagian. Adapun dari pihak KPK, hadir salah satunya Kepala Biro Hukum KPK Ahmad Burhanuddin.
Salah satu kuasa hukum para mantan pegawai KPK, Alghiffari Aqsa, seusai sidang mengatakan, ada dua gugatan perkara yang diajukan, yakni gugatan dengan nomor perkara 46/G/TF/2022/PTUN.JKT dan 47/G/TF/2022/PTUN.JKT. Gugatan ditujukan kepada Presiden RI, pimpinan KPK, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) atas perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan (TWK).
”Itu poin dari gugatan kami, dan hari ini kami mendapatkan banyak masukan dari majelis hakim untuk diperbaiki minggu depan,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, penyelidikan Ombudsman menemukan adanya malaadministrasi dalam penyelenggaraan TWK. Sementara Komnas HAM menemukan 11 pelanggaran HAM dalam tes tersebut. Oleh karena itu, kedua lembaga meminta agar pelaksanaan TWK dievaluasi serta merekomendasikan agar para pegawai yang tak lolos tes tersebut diangkat sebagai aparatur sipil negara (ASN) di KPK.
Namun, rekomendasi kedua lembaga itu tidak dijalankan. Sebagian dari mantan pegawai KPK yang tak lolos TWK pun diangkat sebagai ASN Polri.
Alghiffari melanjutkan, gugatan ini bukan sekadar tentang penyelenggaraan TWK dan upaya mengembalikan para mantan pegawai untuk kembali bekerja di KPK. Ini merupakan gugatan terhadap gerakan antikorupsi di Indonesia. Sebab, TWK yang berujung pada pemecatan sejumlah pegawai KPK, merupakan bagian dari serangan yang berpotensi mengakhiri gerakan antikorupsi. “Dulu ada revisi Undang-Undang KPK, ada penyiraman air keras, ada kekerasan, kriminalisasi, dan TWK adalah akhir pelemahan terhadap KPK,” katanya.
Arif Maulana, yang juga kuasa hukum para mantan pegawai KPK, menambahkan, gugatan ini bertujuan untuk menguji apakah tindakan yang dilakukan oleh Presiden, pimpinan KPK, dan BKN, yang tidak menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas pemerihtahan yang baik. Sebab, dalam konteks negara hukum, setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus berdasarkan hukum dan bisa diuji di PTUN.
”Terkait dengan keputusannya, kami serahkan sepenuhnya pada hakim. Kami berharap, hakim independen dan tetap menyidangkan kasus ini secara baik, sehingga kita mendapatkan keputusan yang baik,” kata Arif.
Sementara itu, mantan penyidik senior KPK yang juga hadir dalam sidang, Novel Baswedan, mengatakan, gugatan ini penting karena pimpinan KPK telah melakukan perbuatan melanggar hukum secara terang-terangan melalui penyelenggaraan TWK. Meski sudah ada pemeriksaan yang detail dari Ombudsman dan Komnas HAM, itu semua diabaikan.
”Kalau hal seperti ini dibiarkan, dampaknya bukan hanya terhadap kami, tetapi ke depan juga bisa membuat kerusakan yang lebih besar lagi,” katanya.
Sebagaimana kerap diungkapkan olehnya dalam berbagai kesempatan, lanjut Novel, penyelenggaraan TWK disinyalir sebagai upaya untuk menyingkirkan orang-orang yang bekerja dengan baik di KPK. Ini penting untuk diingat oleh publik karena upaya tersebut bertolak belakang dengan tujuan pemberantasan korupsi.
Terlebih, majelis hakim juga mengatakan bahwa gugatan yang terkait dengan tindak lanjut rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM itu juga bisa menjadi fenomena hukum baru. Sebab, di berbagai kesempatan, hal tersebut juga kerap menjadi permasalahan.
”Kami berharap, gugatan ini bisa berdampak bagi hukum Indonesia, bagi masyarakat, juga bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan keadilan,” ujar Novel.
Tata Khoiriyah menambahkan, sebelum menggugat di PTUN, para mantan pegawai KPK juga telah menempuh upaya administratif dengan mengajukan keberatan dan upaya banding dari keberatan atas dugaan perbuatan melanggar hukum dalam pelaksanaan TWK. Akan tetapi, langkah tersebut dianggap tidak pernah mendapatkan tanggapan yang wajar dan layak dari pihak-pihak terkait.