Jika Surat Kabar Tanpa Pemerintah, Relasi RI Satu dan Pilar Keempat Demokrasi...
Di Hari Pers Nasional saat ini, seperti apakah relasi RI Satu dengan pers selama ini? Apakah para pemimpin itu masih memiliki elan menjaga demokrasi sebagai pilar keempat dalam ”trias politica”? Simaklah catatan ini,
Pers Indonesia adalah lokomotif kemajuan bangsa, simpul perubahan di semua sektor kehidupan. Selain juga pilar demokrasi di Indonesia. Dengan sebutan-sebutan tersebut, Presiden Joko Widodo menyampaikan harapan pers Indonesia mampu terus melahirkan karya-karya jurnalistik berkualitas dan mencerdaskan, serta menjadi lokomotif kemajuan dan elan perubahan di masa datang.
Pers yang memiliki kewajiban menyampaikan kebenaran dan memberikan keberpihakan pada publik memang berfungsi sebagai pengawas kekuasaan. Karena itu, dalam sambutannya di puncak peringatan Hari Pers Nasional 2022, Rabu (9/2/2022), Presiden Jokowi juga menyatakan pemerintah selalu terbuka pada masukan dari insan pers.
Harapannya, kritik dan masukan membawa perubahan besar pada kemajuan bangsa. ”Kritik dan masukan insan pers sangat penting. Ada yang mengingatkan jika ada yang kurang, mendorong yang masih lamban, dan mengapresiasi yang sudah baik,” tambahnya dalam pidato yang disampaikan secara daring dari Istana Kepresidenan Bogor.
Secara pribadi, Presiden Joko Widodo relatif terbuka pada wartawan. Sebelum pandemi, sekitar sebulan sekali, Presiden menyediakan waktu bagi wartawan dalam berbagai acara untuk makan bersama atau menanyakan apa pun dan menjawabnya secara terbuka. Kesempatan ini tentu di luar waktu-waktu doorstop atau wawancara di tempat seusai kegiatan kepresidenan yang lebih singkat.
Namun, setelah pandemi, komunikasi dua arah ini relatif tertutup. Hingga kini, rapat-rapat terbatas dan sidang kabinet, yang dulu terbuka setidaknya pada pengantar yang disampaikan Presiden, tak lagi dibuka aksesnya. Demikian pula kunjungan kerja ke daerah, jurnalis masih tak dilibatkan meskipun Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang relatif lebih tua dari Presiden sudah melibatkan pers. Varian Delta dan kini Omicron Covid-19 serta efektivitas peliputan jurnalistik menjadi alasannya.
Baca juga: Hari Pers Nasional: Sejarah Peringatan, Polemik, dan Tantangannya
Kritik dan masukan insan pers sangat penting. Ada yang mengingatkan jika ada yang kurang, mendorong yang masih lamban, dan mengapresiasi yang sudah baik.
Kerinduan para wartawan Istana bertemu Presiden seperti dulu ketika masih terjadi dan membuka komunikasi pun memuncak. Kalau kemarin peliputan wartawan Istana di pilar Istana Negara secara perwakilan diizinkan, kini karena Omicron kembali ditutup. Hanya sesekali saja tercatat Presiden mengundang pemimpin-pemimpin redaksi dan berdiskusi masalah-masalah aktual. Termasuk ketika mengundang harian Kompas bilamana ingin mengetahui hasil survei-survei Litbang Kompas terkait kinerja pemerintah dan calon pemimpin masa datang.
Namun, secara keseharian, Presiden Jokowi sebenarnya tak pernah lepas dari berita dan memantau update media sosial lewat gawainya. Jika beberapa Presiden sebelumnya menyeleksi isi pemberitaan arus utama, Presiden Jokowi justru tidak. Berita bad news atau good news tetap di-”lalap”-nya. Dalam perjalanan dari Istana Kepresidenan Bogor menuju Istana Kepresidenan Jakarta, biasanya gawai tak lepas dari tangannya. Dia pun memantau berita-berita aktual hari itu terkait kinerja pemerintah, juga para menteri dan pembantunya.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta Gun Gun Heryanto menyebut bahwa relasi antara Presiden Jokowi dan pers berada di pola saling membutuhkan. Dalam banyak hal, pemerintah sangat memerlukan kehadiran pers, terutama media arus utama, untuk menjadi kanal informasi tepercaya atau trusted information bagi pemerintah.
”Terlebih dua tahun terakhir di situasi pandemi. Di sisi lain juga pers membutuhkan informasi pemerintah yang terverifikasi, resmi (official), dan Presiden Jokowi menjadi representasinya. Pers masih memiliki ruang untuk berperan, termasuk melakukan kontrol terhadap pemerintah,” ujar Gun Gun ketika dihubungi, Rabu (9/2/2022) malam.
Namun, Gun Gun melanjutkan bahwa kepekaan Presiden Jokowi dalam membaca opini publik yang dipantulkan dalam bingkai media massa masih kurang dalam beberapa kasus. Hal ini antara lain tecermin dalam respons Presiden Jokowi dalam revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan penuntasan masalah HAM besar. ”Yang kerap rame dan ditonjolin media, tetapi tidak berdampak signifikan pada respons Presiden atas hal tersebut,” tambahnya.
Di masa pandemi, pers diakui memang cenderung menghadapi kendala berupa keterbatasan dalam hal akses terutama untuk berkomunikasi dengan Presiden Jokowi. ”Sebagian di antaranya masih memerankan fungsi pers antara lain kontrol sosial. Misalnya kritik terkait pengelolaan vaksin, relasi pusat dan pemerintahan daerah dalam pengelolaan pandemi, termasuk soal IKN dan isu-isu lain,” ujar Gun Gun.
Padahal, salah satu pembeda media arus utama adalah trusted media dengan jurnalisme berkualitasnya.
Di sisi lain, Gun Gun menyampaikan kritikan karena masih banyak media berbasis digital yang terjebak pada umpan klik (clickbait) sehingga lebih menonjolkan sensasi dibandingkan substansi. ”Padahal salah satu pembeda media arus utama adalah trusted media dengan jurnalisme berkualitasnya,” ujarnya.
Saling mendukung
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh juga mengingatkan, pers adalah saudara kandung dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. ”Kita adalah keluarga besar, yaitu NKRI. Bapak ibunya sama, ibu pertiwi. Nasabnya sama, tetapi terkadang berbeda,” tuturnya dalam peringatan Hari Pers Nasional 2022.
Nuh menganalogikan, dalam sebuah keluarga, ketika saudaranya sedang sakit atau terlunta-lunta, saudara lainnya tidak akan rela atau abai. Karena itu, kebersamaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan insan pers disebutkan sebagai kekuatan untuk membangun bangsa dan negara.
Kita adalah keluarga besar, yaitu NKRI. Bapak ibunya sama, ibu pertiwi. Nasabnya sama, tetapi terkadang berbeda.
Saling mendukung antara pemerintah dan dunia pers juga disebutkan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari dalam laporannya sebagai penanggung jawab Hari Pers Nasional 2022. Salah satunya adalah vaksinasi untuk 5.500 wartawan di awal program vaksinasi dilangsungkan tahun 2021.
Selain itu, lanjutnya, dikabulkan pula permohonan insentif ekonomi untuk media kendati pembagiannya belum merata. Ke depan, Atal Depari mengingatkan, saat ini Indonesia ibarat tambang emas untuk kekuatan digital global. Indonesia semestinya tidak membiarkan hanya menjadi pasar produk-produk teknologi asing dan dieksploitasi raksasa digital global.
Untuk kedaulatan digital dan keberlanjutan industri media, diperlukan pengaturan publisher rights. Karena itu, PWI sudah menyerahkan draf regulasi itu kepada pemerintah.
Kisah para presiden
Eratnya relasi presiden dan pers antara lain juga terlihat dari keseharian para presiden di Indonesia dari masa ke masa yang tak lepas dari media massa. Tentang Presiden Soekarno, hal ini dapat ditelusuri dari berbagai sumber. Salah satunya dari Mangil Martowidjojo dalam bukunya yang berjudul Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, misalnya, menulis kebiasaan Bung Karno yang kalau duduk sendirian di kursi selalu ditemani tumpukan koran atau buku bacaan pada meja di dekatnya.
Di tahun 1950-an, ketika Bung Karno baru saja pindah dari Yogyakarta ke Jakarta, para anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden mesti mengambil surat kabar pagi-pagi. Kondisi yang terjadi sebelum pengiriman surat kabar berlangsung secara teratur ini harus dilakukan supaya surat kabar tersebut tidak terlambat untuk dibaca Presiden Soekarno.
Seiring perjalanan waktu, pengiriman surat kabar untuk Presiden Soekarno semakin teratur. Alhasil, para anggota DKP tinggal menerima dan memeriksa kelengkapan jumlah surat kabar. Bung Karno akan selalu bertanya kalau ada yang kurang, seperti dari kantor berita Antara, surat kabar Merdeka, Suluh Indonesia, Duta Masyarakat, Pedoman, Indonesia Raya, Sinpo, dan lain-lain.
Jadi, baik pagi maupun sore hari, Bung Karno selalu membaca surat kabar, termasuk Kompas dan Sinar Harapan. Bahkan, ke kamar kecil pun tiap pagi, Bung Karno selalu membaca surat kabar atau majalah.
Pagi-pagi, menurut Mangil, surat-surat kabar itu harus sudah ada di meja Bung Karno. ”Jadi, baik pagi maupun sore hari, Bung Karno selalu membaca surat kabar, termasuk Kompas dan Sinar Harapan. Bahkan, ke kamar kecil pun tiap pagi, Bung Karno selalu membaca surat kabar atau majalah,” tulis Mangil di bukunya tersebut.
Berkenaan dengan karya jurnalistik yang diproduksi media televisi, Presiden kedua RI, Soeharto, dalam buku biografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menuliskan tata kerjanya sehari-hari, termasuk menonton siaran berita yang kala itu dipancarkan oleh Televisi Republik Indonesia setiap pukul 21.00. Presiden Soeharto terbiasa bangun pukul 05.00. ”Segera saya sujud kepada Tuhan, kemudian terus membaca dan menyelesaikan surat-surat. Begitu saya bekerja sampai pukul 07.30-08.00,” katanya.
Menonton televisi, selain juga media massal lainnya, memang menjadi keperluan penting Presiden Soeharto. Terhadap media cetak, para jurnalis punya pengalaman buruk ketika Presiden Soeharto lewat Menteri Penerangan kerap membredel sejumlah media massa. Tentu publik masih mengingat ketika sejumlah koran, seperti Kompas dan Sinar Harapan, dan lainnya dilarang terbit sebelum diizinkan terbit lagi dengan persyaratan tertentu, seperti dilarang memberitakan keluarga Cendana dan mempersoalkan dwifungsi ABRI selain memberitakan soal SARA (suku agama, ras, dan antar-golongan). Juga ketika menjelang krisis 1998, majalah Tempo dibredel oleh pemerintahan Orde Baru.
Pers dan demokrasi
Menurut Presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie, pengembangan demokrasi harus mengandalkan aturan hukum yang bersifat formal dan memerlukan komitmen etik bagi terbangunnya budaya politik yang sehat serta bermoral. ”(Oleh) Karena itu, kita membutuhkan kehidupan pers nasional yang merdeka, bermoral, dan profesional,” kata Habibie dalam bukunya yang berjudul Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006).
Sekalipun pemerintah merupakan pihak yang paling banyak dikritik oleh pers yang bebas, Habibie bersyukur karena hal ini justru menunjukkan bahwa keterbukaan dan demokrasi telah berjalan baik di Indonesia. ”Bagi saya, kritikan melalui media massa merupakan masukan yang sangat berharga dalam mengambil setiap keputusan yang menyangkut kepentingan umum,” ujarnya. Belakangan, Habibie dinilai sosok yang demokratis.
Bagi saya, kritikan melalui media massa merupakan masukan yang sangat berharga dalam mengambil setiap keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Habibie menuturkan bahwa pers yang merdeka, bermoral, dan profesional diharapkan dapat memelihara dinamika masyarakat. Hal ini tecermin pada keseimbangan pemberitaan informasi antara pelaku pembuat kebijakan dan pembentuk pendapat publik, baik perorangan maupun organisasi.
Baca juga: Proteksi Pers Nasional
Kemerdekaan pers yang profesional merupakan salah satu pilar penting demokrasi. ”Untuk menjamin kemerdekaan pers, kita telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 40 (Tahun 1999) tentang Pers, yang selain memberikan jaminan hukum terhadap wartawan dalam menjalankan profesinya, termasuk kemerdekaan membentuk organisasi wartawan lebih dari satu,” kata Habibie.
Presiden berikutnya, mulai Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur; Presiden kelima R,I Megawati Soekarnoputri; hingga Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY); pun memiliki perhatian terhadap dunia pers di Tanah Air.
Presiden Abdurrahman juga punya perhatian besar pada pers. Saat menjabat, jumlah wartawan yang mendaftar dan meiput di Istana membeludak. ”Pokoknya ada organisasinya, boleh masuk Istana. Asal penuhi persyaratan administrasi. Berita apa saja silakan ditulis asal ada faktanya dan pernyataan dari Presiden,” ungkap staf di Biro Pers dan Media Massa di era Presiden Abdurrahman yang kemudian dipercaya menjadi Kepala Biro Pers dan Media Massa di era Presiden Megawati Soekanoputri, Garibaldi Sudjatmiko.
Gusdur, demikian ia dipanggil, juga rajin menulis untuk kolom opini di media massa. Pada Senin, 14 Oktober 1991, Presiden Abdurrahman yang kala itu masih menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menuangkan buah pikirannya tentang media dalam tulisan opini di harian Kompas bertajuk ”Kisah Tiga Berita”.
Berita adalah fakta, dalam arti kejadian yang dilaporkan secara apa adanya oleh sang pelapor. Sebaliknya, kisah adalah sesuatu yang tidak terjadi dalam kenyataan. Namun, sering juga terjadi bahwa pemberitaan dilakukan begitu rupa sehingga yang dimengerti oleh pendengar atau pembaca berita menjadi sangat jauh dari yang terjadi sebenarnya.
”Berita adalah fakta, dalam arti kejadian yang dilaporkan secara apa adanya oleh sang pelapor. Sebaliknya, kisah adalah sesuatu yang tidak terjadi dalam kenyataan. Namun, sering juga terjadi bahwa pemberitaan dilakukan begitu rupa sehingga yang dimengerti oleh pendengar atau pembaca berita menjadi sangat jauh dari yang terjadi sebenarnya,” tulisnya dalam alinea pertama tulisannya.
Menurut dia, medium penyampai berita memikul tanggung jawab besar agar jangan sampai pemberitaan yang dilakukannya menyimpang dari kenyataan. Jika terlalu banyak hal itu dilakukan, baik karena kelalaian maupun kesengajaan, kredibilitas medium itu sendirilah yang akan menjadi taruhan.
Selanjutnya, Presiden Abdurrahman menegaskan bahwa pers kita masih memerlukan perbaikan cukup mendasar, minimal dalam pengembangan kemampuan menangkap masalah secara esensial. Betapa pun hebatnya seorang wartawan, lanjutnya, kalau tidak memiliki kemampuan seperti itu, tidak akan dapat mendewasakan kehidupan masyarakat.
”Padahal, itulah salah satu sasaran yang harus dicapai oleh pers yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya. Demikian pula, sebuah medium pers harus mampu menjadikan penangkapan esensi masalah sebagai bagian inheren dari kehidupan sehari-hari para wartawannya, kalau sasaran di atas ingin dicapai,” ujarnya.
Selain ada apresiasi terhadap jurnalis, Megawati tercatat Presiden yang kerap mengkritik dan mengingatkan pers terhadap pemberitaannya. Sebaliknya, media massa sendiri saat itu juga kerap mengkritiknya. Kritikan terhadap pemberitaan media massa sempat beberapa kali dilontarkan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dalam pemberitaan di harian Kompas, misalnya pada 16 Januari 2004, Presiden Megawati meminta agar wartawan lebih beretika dalam menjalankan profesinya. Hal itu antara lain dengan tidak ”memelintir” berita yang ditulisnya dan menggunakan bahasa yang sarkas dan menghina martabat seseorang.
Catatan Kompas, Presiden Megawati saat itu sangat tersinggung dan merasa dihina dengan pemberitaan koran Merdeka yang insinuatif, antara lain ”Mulut Mega Bau Solar” dan ”Mega Lintah Darat”. ”Ibu sangat marah dengan bahasa koran Merdeka waktu itu, Kritik silakan saja, persoalkan kenaikan BBM silakan, tetapi gunakan bahasa yang santun dan tidak menghina. Itu bukan kebebasan pers, tetapi menghancurkan pers,” cerita staf seorang petinggi PDI-P, yang kini membantu politisi tersebut menjadi menteri. Editor koran yang kemudian diadukan ke polisi itu kemudian diadili dan terbukti menghina dan mencemarkan nama baik Presiden serta divonis bersalah. Namun, editor itu tak ditahan.
Terkait hal itu, ada kesan hubungan antara pers dan presiden dinilai tak selalu mesra meskipun sebenarnya hal itu wajar dalam negara demokrasi agar ada kontrol dan saling mengingatkan pemerintah dan pers. Saat bertemu dengan fungsionaris PWI di Istana Negara, 15 Januari 2004, Ketua Umum Tarman Azzam membenarkan adanya kritik dari Presiden Megawati yang disampaikan langsung. ”Wartawan itu lebih beretikalah. Presiden memiliki pengalaman pribadi menghadapi ulah wartawan di lapangan yang kadang-kadang kok memelintir berita dan lain-lain,” ungkap Tarman mengutip pesan Presiden itu.
Kritikan terhadap media massa juga dilontarkan Presiden Megawati kepada pengurus Dewan Pers dalam pertemuan di Istana Negara Jakarta, Jumat (28/12/2001). Presiden Megawati mempertanyakan tanggung jawab pelaksanaan kebebasan pers sekaligus melontarkan kritik terhadap sejumlah pemberitaan media massa yang tidak proporsional, kadang-kadang kurang mendalam, serta kurang cek dan ricek. Namun, Presiden Megawati mengharapkan media massa tetap menjadi pengontrol sekaligus sebagai pemersatu di negara ini. Pers diharapkan juga jangan menghakimi atau memberikan penilaian yang apriori. Seraya mengontrol, jurnalis seharusnya juga memperdalam atau meningkatkan dedikasi terhadap profesi dan bisa meningkatkan standar profesi.
Media massa tetap menjadi pengontrol sekaligus sebagai pemersatu di negara ini. Pers diharapkan juga jangan menghakimi atau memberikan penilaian yang apriori. Seraya mengontrol, jurnalis seharusnya juga memperdalam atau meningkatkan dedikasi terhadap profesi dan bisa meningkatkan standar profesi.
Dalam pertemuan dengan Dewan Pers itu, Megawati mengeluhkan sejumlah pemberitaan media massa sejak dia memimpin parpol hingga menjadi presiden. Menurut catatan Kompas kala itu, selama Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden sejak Agustus 2001 hingga Desember 2001, para wartawan yang biasa meliput kegiatan di Istana Kepresidenan belum pernah mengadakan dialog terbuka yang bersifat lebih santai apalagi bertukar pikiran. Walaupun demikian, relasi Presiden Megawati dengan jurnalis boleh dibilang baik-baik saja.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga banyak membahas peran pers. Pada buku berjudul SBY, Selalu Ada Pilihan, UntukPencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang, misalnya, indeks mengenai kata ”pers” tercatat sebanyak 65 item alias tersebar di 65 halaman. Ihwal lain yang tercatat banyak di indeks adalah ”demokrasi”, yakni sebanyak 71 item atau tersebar di 71 halaman.
Pada buku berjudul SBY, Selalu Ada Pilihan, Untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang, misalnya, indeks mengenai kata ’pers’ tercatat sebanyak 65 item alias tersebar di 65 halaman. Ihwal lain yang tercatat banyak di indeks adalah ’demokrasi’, yakni sebanyak 71 item atau tersebar di 71 halaman.
Dalam setiap ada doortop atau wawancara dadakan dan tak direncanakan yang dilakukan wartawan dengan mencegat Presiden di lingkungan Istana, adakalanya artifisial atau sudah diatur sebelumnya.
Kompas masih ingat dan mencatat bahwa wawancara itu adakalanya sudah direncanakan sebelumnya. Demikian juga pertanyaanya sudah dibahas terlebih dahulu bersama staf Khusus Presiden. Pasalnya, setiap penanya yang bertanya, seperti yang dialami Kompas beberapa kali, tak digubris pertanyaannya oleh Presiden. Presiden SBY justru menjawab pertanyaan wartawan yang sebelumnya sudah ditetapkan dari media mana dan apa isi pertanyaannya.
Baca juga: Pahlawan Pers Nasional Menjadi Nama Jalan di Hari Pahlawan
Namun, apa pun relasi Presiden SBY dengan pers, dapat dikatakan cukup baik selama dua periode kepemimpinannya itu. Terbukti, Presiden SBY kerap kali mengundang pimpinan redaksi media massa ke Istana. Bahkan, jika ada sesuatu yang dirasakan perlu dan mendesak, Presiden lewat Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi ingin langsung berbicara dengan pimred Kompas, Jakob Oetama. ”Presiden ingin bicara dengan Pak Jakob, apa beliau ada di kantor?” kata Sudi, seperti yang dicatat Kompas suatu kali pada pertengahan 2014.
Surat kabar tanpa pemerintah
Seandainya dirinya diminta memilih antara pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, dia akan tanpa sungkan memilih dengan tegas yang terakhir: surat kabar tanpa pemerintah.
Seorang bapak bangsa yang kemudian juga menjabat Presiden ketiga Amerika Serikat, Thomas Jefferson (1743-1826), pernah menyatakan bahwa seandainya dirinya diminta memilih antara pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, dia akan tanpa sungkan memilih dengan tegas yang terakhir: surat kabar tanpa pemerintah.
Maknanya, yang dimaksudkan Jefferson adalah bahwa tiap orang mesti dapat menerima dan mampu membaca surat kabar tersebut sekalipun tidak ada pemerintah. Pernyataan ini dilekatkan pada konteks bahwa basis Pemerintah AS adalah opini atau pendapat rakyat dan hal paling utama adalah mempertahankan hak (rakyat) tersebut. Hal yang sama juga terjadi Indonesia dan di negeri mana pun: pendapat publik apalagi lewat media massa adalah hal yang utama dan menjadi sebuah keniscayaan.
Pers erat berkait dengan demokrasi. Bahkan-bersanding konsep trias politica yang membagi kekuasaan menjadi tiga; yakni yudikatif, legislatif, dan eksekutif–pers pun kerap digagas atau disebut sebagai pilar keempat dari sebuah demokrasi. Sebuah tugas paling penting dan utama, menjaga kepentingan publik yang diemban di tengah kiprahnya dalam mewartakan beragam kabar dari berbagai narasumber dan peristiwa. Gimana rasanya ya jika tidak ada pers atau pers mati? Masyarakat pun tentu akan mati.